Oleh: Muhammad A. Qohhar*
blokTuban.com - Suara jangkrik dari kejauhan bersahutan. Bumi mungkin sedang hangat-hangatnya. Sebab, sejak beberapa hari belakangan ini hujan turun, walaupun tidak seberapa basah. Namun, air dari langit cukup untuk mengisi rongga tanah yang sejak beberapa bulan kerontang, walaupun di tepian bengawan tidak seberapa tampak. Sebab, tanah berpasir dan tercampur lempung.
Malam sudah beringsut ke pagi. Nada alunan ayat suci yang semula terdengar dari pengeras suara masjid dan surau (musala), telah pergi. Mungkin sudah aturan saat tengah malam harus dimatikan dan tanpa pengeras, jadi tidak mengganggu istirahat umat Muslim maupun non muslim. Kalaupun masih tadarus dan membaca Alquran, tidak harus menggunakan pengeras.
Kang Samin terjaga dari tidurnya. Ia segera mengambil air wudlu dan menuju ke surau terdekat yang jaraknya hanya 25 meter dari rumahnya. Surau kuno dengan bagian bawah masih geladak dari lembaran papan yang dipaku seadanya. Dindingnya juga sebagian besar anyaman bambu alias gedek.
Tuntas melaksanakan salat Tahajjud, Kang Samin menyempatkan berdzikir beberapa saat. Ia lalu berdiri dan berjalan keluar surau. Gelap. Jalan berbatu dan bercampur pasir menemani langkah malam Kang Samin. Seperti biasa, sambil tetap mengucapkan lafal Allah, ia menuju ke tepi Bengawan Solo. Rumah Kang Samin memang berada di tepian aliran sungai terpanjang di Pulau Jawa tersebut.
Tidak lama berjalan, ia telah sampai di bibir sungai yang banyak ditumbui tanaman jagung milik warga. Kang Samin juga salah satunya yang menggarap lahan Solo Valley tersebut. Ia duduk di gubuk yang terbuat dari bambu dan beratap jerami. Mulutnya masih komat-kamit menyebut nama sang Kholiq.
Kang Samin tampak termenung. Pandangannya jauh melihat cahaya di gelapnya malam. Bahkan bisa dibilang sudah pagi. Jam kemungkinan sudah berada diangka 02.00 WIB. Cahaya tersebut bertambah mendekat. Sepertinya dari perahu yang mencari ikan di sebelah pinggir bengawan. Perahu tersebut mengikuti aliran sungai.
"Woww! Manusia perahu."
Kang Samin langsung paham ketika perahu tersebut terisi pasangan suami istri (pasutri) berumur kira-kira 45-an tahun. Perahu kecil yang diberi atap persegi untuk berlindung dari hujan, panas dan juga dipakai istirahat di waktu malam. Biasanya, pasutri tersebut baru pulang satu minggu ke rumah dengan berangkat membawa sejumlah perbekalan hidup.
"Sudah dapat banyak ikan Pak," tanya Kang Samin kepada laki-laki di atas perahu bagian depan itu.
Kaget ada yang bertanya, laki-laki dengan caping di kepala dan sarung yang dipakai menyelimuti tubuh tambunnya itu menoleh ke atas. Kebetulan Kang Samin berada di tebing yang jarak dengan air sekitar tiga meteran. Sementara itu bagian mengemudikan perahu sang istri yang memakai jaget hitam, juga mendongak ke atas.
"Alhamdulillah Pak, lumayan. Bisa untuk dijual nanti saat matahari mulai bersinar," jawab nelayan sungai itu sambil memasukkan jaring berlubang kecil ke air.
Lebar jaring persegi tiga itu sekitar 1,5 meter, dengan pegangan terbuat dari bambu yang telah dihaluskan. Manusia perahu rata-rata berasal dari Dusun Kendal, Desa Kabalan, Kecamatan Kanor, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Mereka terkadang berangkat bersama antara lima sampai tujuh perahu kecil. Warga menyebut perahu kecil itu dengan nama tembo. Ada yang mencari ikan dengan cara manual, tetapi juga tidak sedikit yang menggunakan strum ikan.
Mereka akan berhenti tiap pagi dan sore untuk menepi dan menjual ikan di desa persinggahan. Bagian istri biasanya yang menjual dengan berjalan kaki. Tetapi terkadang juga suami membantu jika sang istri tengah mencuci pakaian atau memasak. Tergantung situasi senggang dibagian suami atau istri.
Pernak suatu ketika Kang Samin bertanya kepada manusia perahu terkait isi rumah kecil di perahu. Ternyata saat dilihat lebih dekat, ada perlengkapan masak, mulai kompor, wajan, tempat menanak nasi dan lain-lain. Juga ada tikar lipat, setumpuk pakaian, beras, sayur, ikan asin, dan perbek