Mempunyai fisik berbeda dengan yang lain, tak membuat Dasmadi (64) berputus asa. Meski tidak mempunyai dua kaki (tuna daksa), kakek ini pantang meminta-minta dan memilih bekerja dengan kemampuan yang dia miliki. Luar biasa.
Reporter: Edy Purnomo
blokTuban.com - Kakek Dasmadi, begitu dia akrab dipanggil, ramah menyambut reporter blokTuban.com di tempat sederhananya di Desa Temayang, Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban. Dinding rumah yang berasal dari anyaman bambu, ternyata sebagian besar juga hasil karyanya.
“Saking pundi? (Dari mana?)” katanya ramah menanyakan asal blokTuban.com.
Ketika dikunjungi, Dasmadi tengah asyik menganyam bambu. Sesekali dia berjalan menggunakan tangan, ketika membutuhkan peralatan menganyam. Ya, sejak lahir Dasmadi memang ditakdirkan tidak mempunyai kedua kaki.
Puas basa-basi, Dasmadi mulai menceritakan pekerjaan sebagai penganyam bambu. Lengkap dengan pahit getir kehidupan yang dia alami sebagai orang yang terlahir tanpa kaki. Bungsu dari pasangan Dasimin dan Kamsinah ini mengaku pernah berputus asa ketika kecil. Menyadari dia berbeda dengan orang kebanyakan, terlebih seluruh hidupnya nyaris bergantung dengan keberadaan dua orang tuanya dan ketiga kakak yang menyayanginya.
“Sejak lahir hidup bergantung dengan orang tua dan ketiga kakak saya, karena tidak mempunyai ini (sambil menunjuk kaki penulis),” kenang Dasmadi sambil tersenyum.
Hatinya semakin getir, melihat teman sebayanya bisa bermain dan membantu orang tua dengan leluasa. Ingin dia bisa membantu kedua orang tuanya bekerja di ladang, tapi apa daya keluarga tidak pernah mengizinkan karena keterbatasan yang dimiliki.
Menginjak usia remaja, Dasmadi seolah dibuat tak berdaya. Semua temannya bisa bekerja dengan menggarap tanah di ladang, menjadi tukang, ataupun berdagang, bahkan pekerjaan lain yang lazim dilakukan warga setempat. Perasaan putus asa membuat dia mengurung diri di rumah selama beberapa tahun.
“Saya? Mencangkul di ladang tidak pernah selesai. Jadi tukang tidak bisa manjat, atau mau berdagang juga tidak bisa jalan,” katanya dalam bahasa jawa sambil tertawa.
Tuhan tidak mungkin membiarkan hambanya terpuruk, kata Dasmadi. Hal ini dia rasakan pada suatu siang, ketika melihat potongan bambu tergeletak di belakang rumah. Entah kenapa, tangannya tergerak memegang bambu itu dan membelahnya. “Saya belah bambu itu, kemudian membuat keranjang tempat rumput,” kata Dasmadi.
Karya pertamanya ternyata cukup bagus. Terbilang dengan adanya salah satu tetangga yang tertarik dan langsung membeli. Bahkan meminta dia membuat satu anyaman lagi dengan bentuk yang sama. Pesanan demi pesanan keranjang rumput semakin banyak. Dasmadi merasa inilah jalan hidup yan disediakan Tuhan. Dia pun semakin rajin mempelajari aneka kerajinan lain dengan bahan dasar bambu. Selama ini dia belajar secara otodidak. Hanya dengan melihat suatu bentuk kerajinan, dia langsung bisa membuatnya menggunakan bahan bambu.
“Tidak ada yang mengajari, saya lihat saja bentuknya seperti apa, kemudian dibuat dengan bambu,” terang.
Produk kerajinan buatan Dasmadi semakin banyak. Bambu menjadi anyaman dan kerajinan menarik di tangan Dasmadi. Akhirnya dia bisa mandiri dan membiayai hidup. Ia semakin bersyukur, setelah berhasil menyunting seorang perempuan tetangganya, Wasi (55) di usia 20 tahunan. Wasilah yang menemani kehidupan Dasmadi sampai sekarang, bahkan membantu Dasmadi menjual bahan-bahan kerajinan yang ada.
Saat ini produk Dasmadi yang paling laku adalah tempat rumput yang dipatok dengan harga Rp30.000, Widhik atau tempat menjemur ikan dengan harga Rp25.000, dan juga gedheg atau dinding bambu dengan harga Rp20.000/meter. “Ada yang pesan, ada yang dijual istri di pasar. Lumayan bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari,” terang Dasmadi bangga.
Usaha berjalan tidak berarti tanpa hambatan. Dasmadi sekarang kesulitan mendapatkan bambu sebagai bahan baku anyaman. Rumpun bambu banyak yang ditebang karena tidak memiliki nilai ekonomis. Akrab dengan cobaan bukan perkara baru bagi Dasmadi. Sulitnya mendapat bahan baku bukan pikiran utama. Tetapi tidak mempunyai keturunan sampai sekarang, mengajarkan Dasmadi tentang keikhlasan di usia senja.
“Sudah tua, manut wae karo dalange urip, (ikut saja sama dalangnya kehidupan),” kata Dasmadi sabil tetap tersenyum ramah.
Sayup suara adzan terdengar di surau dekat rumah Dasmadi. Pria yang tertempa getir kehidupan sejak lahir ini mengajak salat Duhur bersama. Dibalik punggungnya, reporter blokTuban.com seperti melihat kesabaran, kegigihan, dan semangat menunaikan tugas sebagai makhluk ciptaan Tuhan. [pur/mad]