Tadarus Sosial Media

 

Oleh: Nanang Fahrudin

Sore menjelang maghrib. Angin yang berhembus dari persawahan yang ditanami padi.  Aroma tanah yang basah menyebar ke perkampungan. Anak-anak mulai bermain petasan menjelang waktu buka puasa. Entah sejak kapan, puasa identik dengan suara petasan atau percik kembang api.

Tapi begitulah kampung . Selalu ada keindahan alam. Tapi juga mengekor kemajuan kota.  Bahkan, sisi-sisi tertentu melebihi apa yang ada di kota. Kang Sabar sebenarnya tak enak dengan pemandangan tersebut. Anak-anak bermain petasan seenaknya.  Tapi mau protes kepada siapa coba.

Daripada bingung, Kang Sabar menuju langgar Kaji Tohir. Di teras langgar imam langgar itu duduk-duduk sambil membaca kitab. Kang Sabar tak tahu kitab apa yang dibacanya. Namun terlihat sangat serius sekali. Tapi saat melihat Kang Sabar datang, Kaji Tohir langsung menutup kitab dan mempersilakan Kang Sabar untuk duduk di dekatnya.

“Wajah kok ditekuk begitu. Ada apa Kang?” tanya Kaji Tohir.

“Ah, tidak ada ap-apa Kang.”

“Kang sampean ini orang beruntung lho. Sudah namanya Sabar. Orangnya sabar. Dan terpenting tidak punya akun Facebook.”

“Lho memangnya kenapa Kang dengan Facebook. Saya malah kepingin diajari. Agar saya bisa ber Faceebook ria. Biar seperti orang-orang terpelajar itu. Ya biar ndak kalah sama sampean lah Ji,” kata Kang Sabar.

“Saran saya, sampean tidak perlu punya akun Facebook. Toh tidak ada tuntunan agama yang mewajibkan seseorang punya akun Facebook. Kalau madhorotnya lebih besar daripada manfaatnya, ya mending tidak usah buat. Bersilaturrahim secara langsung akan lebih baik daripada lewat media sosial. Toh sampean juga punya hape kan?”

“Ya kang. Lha sebenarnya apa madhorot dari kita punya Facebook?”

“Memang tinggal orangnya Kang. Sekarang, banyak orang berdiskusi  atau bertukar pikiran tentang agama lewat Facebook. Diskusinya sih baik. Tapi seringkali diskusi itu sepotong-sepotong. Bahkan, sering tidak membaca sebuah artikel secara utuh, tapi langsung ikut komen, berdiskusi dan mengajukan dalil-dalil begitu.”

“Wah, terus bagaimana?”

“Jadinya. Di Facebook itu banyak orang yang berpolemik. Polemik itu mungkin awalnya berada pada konteks yang “benar”. Benar pakai tanda kutib ya. Misalkan seseorang melakukan itu kepada segelintir orang atau komunitasnya. Namun, ketika diunggah di Facebook dan dibaca oleh semua orang, maka akan menjadi berbeda. Bisa dimaknai berbeda. Bisa berdampak panjang.”

“Kalaau begitu saya bertanya apa-apa kepada sampean saja ya Ji.”

“Ya ndak begitu. Sampean bisa bertanya kepada siapapun. Tapi kepada orang yang benar-benar tepat agar bisa mendapatkan jawaban yang tepat pula. Di Facebook semua orang tampak berilmu semuanya. Saya bukan merendahkan orang-orang di Facebook. Sama sekali bukan. Tapi membedakan mana yang punya kompetensi dan mana yang abal-abal itu sangatlah sulit.”

“Dan satu lagi Ji. Sekarang banyak orang memilih dolanan Facebook daripada tadarus, i’tikaf, atau ibadah lainnya.”

“Betul kang. Makanya sampean sangat beruntung tidak punya akun Facebook. Media sosial itu baik, tapi ketika difungsikan untuk hal-hal yang jelek maka sayang jadinya. Media sosial bisa menjadi ajang belajar agama, tapi bisa juga menjerumuskan orang untuk menjauhi Tuhan. Coba sampean bayangkan, sekarang banyak istri yang bergaul dengan orang lain di media sosial tanpa sepengetahuan suaminya. Demikian sebaliknya. Padahal, pergaulan itu meskipun tidak di dunia nyata, tetaplah pergaulan yang mempunyai etika. Apalagi bagi kalangan orang yang sudah berumah tangga.”

“Sudah-sudah Ji. Saya tidak begitu paham. Mending ajak saya berbuka puasa saja. Tuh, adzan sudah berkumandang.”

“Oalah. Ayo kang kalau begitu.”