Ya Allah, Hilangkan Sifat Pemarah dari Hatiku

 

Oleh: Nanang Fahrudin

Seharian ini Kang Sabar tidak kemana-mana. Badannya terasa  pegal-pegal.  Tapi ia tetap berusaha berpuasa karena sakit beginian bukan sesuatu yang mengharuskan dia tidak berpuasa. Ia yakin banyak orang lebih menderita daripada dirinya. Jadi sakitnya yang cuma pegal dan demam sedikit bukan halangan untuk berpuasa.

Siang diwarnai mendung. Angin berhembus pelan, membawa kabar damai di hati Kang Sabar. Kampungnya yang berada di tepian bengawan solo selalu ramai oleh pedagang, anak-anak, dan pendatang yang menyeberangi bengawan dan melewati kampungnya.

Kang Tamin punya kesibukan sendiri. Ia menyiangi rumput di depan rumahnya. Maklum mendekati lebaran, rumah harus kelihatan bersih untuk menghormati tamu yang datang. Kebetulan rumah Kang Tamin berhadap-hadapan dengan rumah Kang Sabar. Jadi, ketika Kang Sabar geluntungan di bale-bale rumahnya, Kang Tamin dengan mudah mengetahuinya.

Disapalah tetangganya itu. “Sana Kang, berbuka. Ndak usah puasa. Wong sakit begitu.”

Kang Sabar berusaha menyahut dan berjalan pelan keluar rumah, lalu duduk di teras. “Alhamdulillah masih kuat kok.”

“Bagaimana menurutmu Piala Eropa kang? Siapa yang akan menjadi juara.”

“Ah, saya ndak begitu paham bola Kang. Mungkin Persibo yang akan juara. Haha.”

Mereka tertawa bareng dan terus ngobrol. Kang Sabar duduk di teras rumahnya. Sedang Kang Tamin di halaman rumahnya sambil membersihkan rumput. Begitulah keakraban bertetangga di kampung. Kata Kaji Tohir, tetangga yang baik adalah rejeki besar dari Allah.

Dari obrolan bola beralih ke politik. Kang Sabar bertanya soal Bupati Bojonegoro yang hendak ikut berebut menjadi Gubernur DKI Jakarta. “Kira-kira siapa yang menang di pemilihan gubernur Jakarta nanti kang ya?”

“Ah, saya ndak begitu paham politik kang. Mungkin Persija yang akan menang. Haha.” Mereka tertawa bareng.

Setelah halaman rumahnya sudah bersih Kang Sabar ikut duduk-duduk di teras rumah Kang Sabar. Obrolan menjadi agak serius.

“Kang, sampean setuju ndak jika politik itu selalu membawa caci maki dan amarah,” kata Kang Sabar.

“Ah, ndak bisa disamaratakan begitu. Politik tetap sesuatu yang netral. Politik adalah sebuah alat saja. Dan manusia yang menggerakkannya,” kata Kang Tamin yang pernah ikut parpol tingkat ranting. Namun lantas memilih keluar dan menjadi golput.

“Saya barusan dikasih lihat video orang-orang Islam yang hendak bertarung di pilgub Jakarta. Mereka marah-marah semuanya. Seakan-akan ini adalah sebuah perang.”

“Saya tidak tahu konteks kemarahan mereka kang. Tapi memang sekarang orang sangat mudah marah. Tak hanya urusan politik saja orang saling marah. Urusan agama juga banyak orang yang marah. Lihat saja Facebook. Ah, sampean sih gaptek, ndak kenal Facebook. Di sosial media itu, banyak sekali orang marah. Tak sepaham, orang akan mudah mencaci. Bahkan, orang-orang terpelajar itu juga orang-orang pemarah semua. Bedanya kata-kata yang keluar dari mulut mereka berbeda dengan ketika kita marah.”

“Kira-kira kenapa kang ya kok bisa begitu. Ramadan seharusnya tidak saling mencaci.”

“Entahlah kang. Dunia ini mungkin sudah panas. Sedikit orang yang menanggapi sesuatu dengan tenang dan adem. Pasti mendahulukan marah. Sedikit-sedikit akan bilang: laknatullah. Ngeri kang!”

“Lha kalau sampean tidak tahu jawabannya, terus saya tanya ke siapa kang?”

“Haha...tanya ke rumput yang bergoyang kang”

“Gundulmu kuwi.”

“Kemarahan itu wajar kang. Asalkan tidak berlebihan. Dan Rosul juga mengajarkan agar kita selalu berdoa agar dijauhkan dari sifat pemarah. Artinya pemarah harus dijauhi. Kita berdoa saja kang:  Ya Allah, hilangkan dariku hati yang suka marah dan ampunilah dosa-dosaku dan jauhkanlah aku dari fitnah yang menyesatkan.”

“Amin.”