Kisah Perjalanan Wali Punjul, Santri Sunan Bonang

Reporter: Mochamad Nur Rofiq
 
blokTuban.com - Kabupaten Tuban memang tepat bila mendapat sebutan Bumi Wali, sebab hampir di setiap pelosok Kecamatan di kabupaten Tuban ada peninggalan sejarah penyebaran agama Islam yang dilakukan kekasih Allah (Wali). Salah satu objek peninggalan sejarah perkembangan Islam di bumi wali,  yang cukup pontensial adalah makam Wali Punjul. Makam terletak di Desa Ngepon, Kecamatan Jatirogo, Kabupaten Tuban. Sebuah peninggalan bersejarah yang perlu dilestarikan eksistensinya sehubungan dengan awal masuknya agama Islam ke tanah Jawa dengan Wali Songo-nya.
 
Menurut keterangan yang diberikan juru kunci makam, Darsilan, yang didapat dari masyarakat terdahulu, bahwa sejarah makam Wali Punjul dimulai pada abad XV Masehi. Yang mana di Jawa Tengah berdiri kerajaan Demak dengan rajanya yang pertama adalah Raden Patah. Pada suatu ketika, Raden Patah ingin mendirikan sebuah masjid sebagai tempat peribadatan umat muslim Demak.

wali-panjul-1
 
Agar keinginannya dikabulkan oleh Allah, beliau menyelenggarakan upacara besar-besaran dengan mengumpulkan Wali Songo, untuk berunding bagi tugas demi kelancaran pembangunan. Namun ada satu wali yang tidak hadir dalam rapat tersebut yaitu Sunan Ampel. Oleh karena Sunan Bonang yang bertugas sebagai penyelenggara, maka beliau berencana meminta bantuan dari Sunan Ampel yang berupa kebutuhan pangan.
 
Sunan Bonang mengutus seorang santri yang bernama Abdul Rakhim, yang mana beliau diutus untuk menghadap Sunan Ampel di Surabaya. Berhari-hari Abdul Rakhim berjalan menyusuri hutan belantara yang masih rimbun dan sangat tidak aman, karena suasana saat itu masih mencekam, banyak terjadi perampokan dan pembunuhan yang dilakukan oleh sekelompok pemberontak Majapahit.
 
Setalah Abdul Rakhim tiba di Surabaya dengan selamat, saat berada di depan pintu gerbang padepokan Sunan Ampel, ia ditemui oleh santrinya. Ia mengutarakan maksud dan tujuan kedatangannya kepada Sunan Ampel, saat santri Sunan Ampel mau matur (lapor) kepada Sunan Ampel, beliau sudah tahu siapa yang datang untuk menghadapnya. Tak lama kemudian, Sunan Ampel mengulurkan Bumbung (seruas bambu) yang mana salah satu ujung tersebut tersumbat daun lontar, Sunan Ampel berpesan agar Abdul Rakhim tidak membuka benda ini di tengah perjalanan.

***

Dalam perjalanan, Abdul Rakhim heran atas sumbangan yang diberikan Sunan Ampel. Setelah berhari-hari menempuh perjalanan yang penuh mara bahaya, bumbung tersebut semakin berat saja. Abdul rakhim memutuskan untuk beristirahat di sebuah hutan yang bernama 'Alas Nggelo' yang berada di Desa Ngepon, Jatirogo. Ia memilih beristirahat untuk melepas lelah. Ia beristirahat di bawah pohon rindang yang berada di atas bukit.
 
Di hutan tersebut ia bertemu dengan kakak iparnya yang bernama Mbah Jenggot/Godek, suami dari kakaknya yang bernama Mbah Seblok. Segala hal atau kebutuhan Abdul Rakhim dicukupi oleh Mbah Godek dan Mbah Seblok, saat berada di bukit punjul.
 
Di saat abdul Rakhim mulai menaiki bukit tersebut, hatinya bertanya-tanya dan semakin penasaran dengan isi bumbung pemberian Sunan Ampel. Lantaran rasa penasaran yang bertubi-tubi itu, akhirnya ia membuka tutup bambu. Ternyata daun lontar yang digunakan tutup bumbungnya bisa berubah, tumbuh menjadi Bogor  (pohon siwalan). Anehnya, ketika daun pohon siwalan sudah tua, ketika jatuh bekasnya pun tidak ada, langsung menghilang.
 
Ketika bumbung dari bambu itu terbuka, keluarlah beberapa hewan yang beraneka ragam, berbagai macam serangga, harimau, babi hutan, monyet, dan ular. Ada pula berupa hewan peliharaan berupa seekor sapi yang masih terikat dengan Dadung (tali). Di saat sapi tersebut mau keluar, Abdul rakhim berusaha menahannya agar tetap berada di dalam bumbung. Rupaya usaha Abdul Rakhim sia-sia, seekor sapi tesebut keluar dan berlarian ke sana kemari.
 
Ketika itu, Abdul Rakhim amat gugup, takut bercampur menyesal, karena telah melanggar pesan kanjeng Sunan Ampel. Untuk mengobati perasaan itu, ia mencoba untuk menangkap hewan-hewan itu. Saat ia kuwalahan menangkap hewan tersebut, akhirnya dengan karomahnya sebagai seorang wali, hewan tersebut di sabda (kutuk) berubah menjadi batu, begitu seterusnya.

Setelah semua isi bumbung keluar, Abdul Rakhim memutuskan untuk menancapkan bumbung tersebut di atas bukit punjul dan tumbuh menjadi pohon bambu yang rindang.

Menurut ceritanya, dahulu bambu tersebut tumbuh di sebelah utara makam, dan masyarakat meyakini bahwa itu adalah bambu keramat. Namun saat ini bambu tersebut sudah habis dan tiada. "Habisnya bambu tersebut karena ulah segelintir manusia yang tidak bertanggung jawab, padahal itu merupakan bukti sejarah," jelas Darsilan, kepada blokTuban.com, saat ditemui di makam.

wali-panjul


***

Abdul Rakhim amat menyesal dan berdosa lalu ia bersimpuh di tanah untuk bertobat. Nah, tanah yang di tempati itu amat berdebu sehingga seluruh badannya menjadi penuh debu, bahasa jawanya adalah 'Kepon atau Ngepon' yang berarti duduk atau tidur-tiduran di atas tanah. "Itu sebabnya sampai sakarang desa itu dinamakan Desa Ngepon, bahkan sampai sekarang di Desa Ngepon tersebut masih dapat dijumpai adanya bongkahan batu-batu yang amat besar menyerupai sapi, yang mana salah satu batu tersebut diberi nama 'Dadungawuk'," imbuh Darsilan.

Sedangkan nasib Abdul Rakhim amat takut, ia tidak berani ke Demak karena takut mendapat murka dari Sunan Bonang, ia memutuskan bersembunyi di tempat itu sambil menyiarkan agama islam di daerah sekitarnya agar kesalahannya diampuni oleh Allah.

Dari situ masyarakat Ngepon semakin yakin bahwasannya Abdul Rakhim adalah seorang wali. Hingga kini makamnya pun masih tetap dirawat dengan maksimal, tampak bangunan dan tangganya sekarang makin kokoh terbuat dari beton.
 
"Telah cukup lama Abdul Rakhim menempati  kawasan itu, orang-orang di sekitarnya mulai berdatangan untuk berziarah, mereka meyakini Abdul Rakhim sebagai wali kekasih Allah, sehingga ketika beliau telah wafat beliau lebih sering disebut sebagai Mbah Punjul," pungkas Darsilan. [rof/rom]