Sastra Tuban: Membaca Sejarah Kesadaran Kehidupan

Reporter: Edy Purnomo

blokTuban.com - Pameran sastra oleh Komunitas Langit Tuban (KLT) di Aula Graha Pradya Suara, Jalan Mastrip 5 Tuban, resmi dibuka hari ini, Sabtu (7/5/2016). Sedikitnya ada 47 karya sastra berupa puisi dan cerpen yang terpajang di ruang pamer. Berikut catatan lengkap Dr Sariban, Kurator Sastra Tuban.

Sastra Tuban: Membaca Sejarah Kesadaran Kehidupan  

Cak Sariban *

Gerak  pelokalan atas bergesernya kemampuan sentralistik mendorong kekuatan proses kreatif pengarang-pengarng yang tinggal di daerah juga  menggeliat. Kesadaran bahwa sentralistik sastra nasional tumbuh kembang dari sastra lokal kedaerahan menjadi kesadaran kolektif dengan pertanda keberanian organisasi-organisasi kebudayaan pinggir secara tempat menunjukkan perannnya sebagai pelaku kebudayaan di daerahnya. Fakta ini memberi kesanggupan energi kreatif, penerbitan, sikap berani berbicara melalui karya sastra, serta kesanggupan kritik untuk kemudian terbaca di publik-publik yang pada masa sebelum tahun dua ribuan terasa niscaya dalam wilayah prifaci publik selevel daerah kabupaten.

Tuban sebagai kabupaten pesisir dalam gerakan sastra pantura agaknya boleh dibilang berlari estafet dalam takdir urutan belum terdepan. Ini jika dibandingkan dengan Gresik, Lamongan, dan Bojonegoro. Komunitas Gresik mudah saja terbaca dalam skala Jakarta lantaran pujangga Mardi Luhung yang kerap puisinya di Kompas. Lamongan dalam horisan berkebudayaan nyaris sama dengan Tuban tetapi Lamongan begitu saja lari cepat gerakan sastra lokalnya yang dimotori kawan Hery Lamongan, Bambang Kempling, Javed, Pringgo, akademisi Sutardi Cempit, serta Mas Huri yang jauh lebih melesat menuju sastra nasional. Bahkan ada pula sastrawan kelahiran Lamongan yang telah tidak lagi dikenal sebagai pengarang desa lantaran sudah berhasil membikin novel, memfilmkan, dan bergiat pada rumah-rumah kebudayaan di Yogyakarta dan Jakarta, semisal Aguk Irawan. Lamongan juga diuntungkan oleh variabel  penerbitan yang disponsori oleh mantan mahasiswa Unisda, sebuat PTS di Lamongan, yang kini lebih bertindak sebagai maesenas penerbitan karya-karya pengarang Lamongan. Memang Lamongan dalam sejarah sastra Indonesia diuntungkan oleh nasib pengarang-pengarangnya yang selalu saja lolos hingga Jakarta, semisal generasi Satya Graha Hoerip, dalam dekade delapan puluhan.

Bojonegoro sebagai daerah yang lebih menjorok ke selatan dari pesisir juga memiliki daya khas sastra Jawanya. Komunitas penulis sastra berbahasa Jawa subur di daerah ini. Fakta pernah diselenggarakannya Kongres Sastra Jawa di Bojonegoro dalam masa sepuluh tahun terakhir menguatkan Bojonegoro kuat sastra jawanya. Ekspresi sastra Bojonegoro pada lima tahun terakhir semakin memasuki wilayah anak-anak di sana dengan terbitnya buku Basa Jonegoro  sebagai buku teks bacaan siswa.

Sastra Tuban tumbuh dalam  gerilya. Para pengarang bekerja secara individual atas desakan kreativitasnya. Sebagai seniman, para pengarang Tuban begitu saja ikhlas berkarya meski tidak ada jaringan organisasi serapi Gresik, Lamongan, dan Bojonegoro yang sejak dulu secara formal ada organisasi formal yang menggunakan uang pajak rakyat serupa Dewan Kesenian Gresik, Dewan Kesenian Lamongan, dan Dewan Kesenian Bojonegoro. Seniman-seniman Tuban rela serela-relanya tidak diperlakukan sebagaimana kawannya di tiga daerah itu  karena kerja seni adalah kerja nurani, kerja personal, kerja panggilan jiwa, kerja bukan untuk modal hidup, sehingga seniman harus bekerja dalam format berpenghasilan untuk energi kesenimannya. Siiring terbentuknya Dewan Kesenian Tuban (DKT) yang bersarasehan 26 April 2016 lalu memberi kabar gembira dalam harap memberi ruang, membangun atmosfir, dan memungkinkan energi kreativitas sastrawan Tuban tumbuh mengecambah.

Maka, ikhtiar kawan-kawan Langit Biru memberikan ruang baca masyarakat Tuban melalui publikasi puisi dan cerpen para pengarang Tuban yang hendak kita bincangkan ini menjadi signifikan dalam mendorong kejut-kejut bersastra  di Bumi Wali.

Membaca karya pengarang Tuban dalam ruang baca sembilan belas pengarang ini serupa becermin dalam air keruh pada kenyataan zaman dulu, kini, dan esok yang hendak diimpikan dalam keasadaran masal orang-orang Tuban dan simbol subjek kolektif pengarangangnya. Energi kesendirian ini jika ditelisik lebih jauh telah dilakoni Mas Suhariyadi yang kesehariannya mengajar di Unirow Tuban dengan label Teater Institutnya, Mas Heri di Rengel yang banyak menjelajah sastra kesejarahan, Mas Darju di Jatirogo yang banyak memublikasikan karya-karyanya, Mas Suantoko di Semanding yang membawa harap energi seniman muda Tuban, dan Mas Umar Affiq yang karyanya memiliki kekuatan tersendiri.

Senang rasanya mengapresiasi karya-karya sastrawan Tuban yang karya-karyanya dihimpun oleh Komunitas Langit Tuban (KLT). KLT berupaya memberi ruang pendokumentasi  karya sastra Tuban pada ruang publik yang mungkin dalam perjalanannya nanti sebagai embrio penerbitan sastra Tuban.  Melakukan pembacaan apresiastif sebelas penyair dan sembilan cerpenis Tuban, terdapat varian filososi kerja kreatif para pengarang. Kesebelas penyair itu adalah Heri Kustomo, Nastain Ahmad, Yulia Citra, Nur Hiday, Kang Naryo, Yuliani, Sri Wiyono, Nanang Syafi’i, Kumaidi, Nining N.H., dan Chubaibillah. Sembilan cerpenis tersebut adalah Suhariyadi, Umar Affiq, Suantoko, Darju Prasetya, Dharmampu, Sifah Nur, Yoru Akira, Thoni Mukharrom, dan Lilik Istianah.  Masing-masing pengarang memiliki cara pandang dalam karya-karyanya. Tuban sebagai tempat ruang kreatif para pengarang dapat dipandang sebagai ruang subjek kolektif para pengarang dalam melihat dunia yang lebih luas. Karena itu, Tuban sebagai habitat manusia sebagaimana komunitas lebih luas, bagi beberapa pengarang, dijadikan landasan berkarya untuk memberi kontribusi kemanusiaan.   

Tuban: Dari Sejarah hingga Nurani Religi

Beberapa pengarang lebih juah menelusuri jejak Tuban masa sejarah. Ada kebanggaan dalam menelaah masa lalu Tuban. Adalah Heri Kustomo, penyair yang tinggal di Rengel ini, membangun kreativitasnya dengan mendasarkan realitas historis masa-masa dimana Tuban awal mula dikenal sebagai sebuah wilayah dengan sebutan bukit kapur putih yang tampak mengapung jika dilihat dari laut Jawa. Heri melukiskan masa ditemukan, keemasan, hingga silih berganti tumbang-bangkit alih kekuasaan di Tuban pada masa Kahuripan dalam  Balada Kambang Putih yang terdiri atas Kambang Putih 1 hingga Kambang Putih 10. Betapa Tuban digambarkan sebagai sebuah tempat baru sebagai magnet siapa pun yang melaut di Pantai Jawa. Larik-larik dalam Kambang Putih 3:  Secuil dusun Kambang Putih/ Tertimang dalam alunan ombak/ Datang dan pergi melukis hari/Secuil dusun Kambang Putih/Bersalin rupa menjadi puspa/Nan elok merekah/ Nan cantik sumringah/ Maka letupan aromanya/ Digendong angin melintas samudra/ Maka dentum wanginya/ Melekat di layar-layar niaga menandai dimulainya dinamika Tuban sebagai kota niaga yang dalam alur sejarah panjang menjadi palang pintu kekuasaan Majapahit sebelah utara. Di sana pula arus ekonomi, kekuasaan, politik, dan agama menjadi diskursus menarik dalam peradaban kadipaten-kadipaten pesisir utara.

Mencermarti stilistika sajak Balada Kambang Putih  serupa menikmati alur ritmis bahasa Jawa kuna dalam lintasan pergantian antarraja di Tuban. Eksotisme  bahasa dalam pengisahan riuh-riahnya rakyat Tuban menyambut pemimpin baru mengingatkan kita pada pesta rakyat. Rakyat Tuban selalu saja bahagia menyambut pemimpim  baru karena dalam balada ini potret gembira senaniasa mewarna wajah wang cilik Tuban seperti larik akhir Kambang Putih 10: Tak ayal rakyat Kambang Putih/ Turun menari-nari sepanjang jalan/ Bersorak-sorai di tanah-tanah lapang/ Menyambut sima Mapanji Garasakan.

Sajak Heri dalam episode Balada Suratni yang terdiri atas Suratni I hingga Suratni 7 terlihat konsisten  mendasarkan genetis sejarah sebagai pijakan proses kreatifnya. Pada sajak Suratni III: Guratan tinta sejarah/ terpercik di Prambon Wetan Rengel Tuban/ kala itu terpahat pada titian masa/ 1949, Pembaca diajak kembali melihat peristiwa historis yang penuh darah nasionalisme, dan tentu saja ada rasa tragis karena sang hero harus mati oleh takdir khusnul khatimah oleh ledak granatnya sendiri dalam berperang melawan penjajah. Suratni adalah prototipe jiwa pemberani orang Tuban dalam mengusir penjajah. Keberanian Suratni, Sang Lurah di Prambon Wetan, Rengel, dan perang gigih berani raktyat Prambon mengingatkan kita pada kisah-kisah nasionalisme rakyat seperti perang Sikep di Klungkung Bali yang filosofinya adalah perang rakyat bermodalkan keberanian dan jiwa kebangsaan. Sajak Heri mengobarkan jihad rakyat Tuban dalam melawan kebatilan dengan harga nyawa sekalipun. Rakyat Prambon Wetan bermandi suka/ Setiap peluh yang jatuh berbuah asa/ Setiap tekad yang bulat berbuah cita/ Maka dengarlah/ Suaranya gemuruh/ Membahana/ Menggelegar/ Menggetarkan angkasa raya Indonesia/ Sekali merdeka/ Tetap merdeka!

Balada  panjang Heri berhimpit kelindan dengan puisi Nur Hiday yang salah satunya berjudul Kambang Putih . Penyair Nur Hiday melihat Tuban sebagai tempat yang penuh pesona memberi damai sejahtera rakyatnya berbaur berkah jejak wali di kota ini.  Larik Debur kambang putih, hingga kini/ setia menyunggi petuah wali/ deburmu menaungi/ kecipakmu mengobati/ gelombangmu menghidupi/ hatta dunia kikir melempar puji. Pesona kota yang elok itu dalam perjalanannya mengalami kerusakan oleh kerakusan. Hal ini terlihat dalam puisi Kotaku tak seperti dulu  dalam larik: Pepohon gagap kebanjiran asap/ Tersedu mengais romantika masa lalu/ Kotaku tak seperti dulu.

Yang menarik penyair Nur Hiday banyak bermain angka dalam sajak-sajaknya. Diksi angka dalam sajak 30 menit  dan 30 tahun lagi  merujuk pada esensi waktu. Melalui pemahaman waktu, kita diajak berkaca pada diri sendiri. Bahwa esensi hidup adalah sesaat dan kita tidak tahu apa yang aka terjadi: 30 tahun nanti/ Kau mungkin makin tua/ Dan aku, entah masih atau tiada.

Jika Nur Hiday membangun citra kepenyairannya melalui diksi waktu dan entah menggunakan angka 30, Chubaibillah yang juga aktif dalam dunia teater ini menguatkan sajak-sajaknya dalam imaji seting tempat kota. Tiga puisinya masing-masing Waktu Senja di jantung Kota, Kota Lama, dan Kampung Halaman mengesankan penyair muda ini memiliki kepekaan pada dimensi tempat. Puisi pertama menunjuk kesadaran hening lingkungan masjid, alun-alun, dan sakral zikir makam Mah Bonang. Pada puisi kedua ada kesan mendalam kota lama yang pernah memberi banyak kenangan. Sementara pada puisi ketiga, sebuah kota menyeret pada rindu kampung halaman. Jikapun harus bertesis, maka label puisi pengembara agak cocok untuk menyebut sajak-sajak kawan Chubaibillah.

Nastain Ahmad melalui puisi Ibu, Dahwah Jalanan, Kidung Buku, Puntung Hasut, dan Secuil Kasih Hijau mericau kisah sepi dalam derita hidup penuh himpit dalam diksi punggungmu penuh beban/atas lakon yang diwariskan padaku. Membaca puisi-puisi kawan Nastain seperti melihat lukisan dalam lorong sepi dengan objek manusia murung yang hidup terasa sepi dan ironi kesia-siaan.  Memang tak mudah membaca larik dan diksi  dan mungkin penulisan secara episode gaya penyair ini menunjukkan etape hidup yang terus direnungi. Pada akhirnya ada kesadaran sungguh hidup tak berarti manakala tak memiliki kesadaran karena dalam realitasnya: selamanya/ meski kaya atau miskin juga/ dirawat atau dibuang begitu saja/ aku adalah mereka.

Lalu, ada dua penyair sebagai energi kreator muda Tuban yang menyadari bahwa memasuki wilayah kreativitas tak begitu mudah. Apa sebab? Jawabannya karena seniman harus  menghadapi atmosir sosial penyair. Yulia Citra dan Kumaidi merasakan betapa ruang prifaci mereka dalam berkesenian berhadapan dalam wilayah yang memiliki kepentingan yang tak searus dengan prinsipnya. Larik puisi Biarlah Sastra Bicara Yulia Citra: Ketika karya yang mampu mengungkapkan segalanya/ Namun harus terbungkam oleh  kekuasaan/ Terpenjara oleh peraturan dalam berkarya yang menusuk raga/ memiliki kesamaan gelisah yang dirasakan Kumaidi dalam puisi Tokoh Revolusi dan Kenapa kau, kami jarah. Larik Idealisme katamu!/ Idealisme hanyalah cacing-cacing yang kelaparan/ Yang mencari makan di antara/ Batang-batang pohon yang busuk serta Aku bertanya!/ Kenapa kau, kami jarah!/ Dalam hiruk-pikuk politikmu/ Kami adalah revolusi bagi diri kami sendiri. Sebagai penyair muda melalui karya-karya, dua penyair ini menunjukkan perjalanan menemukan identitas sebagai seniman dalam arus hidup yang penuh kepentingan.

Sajak-sajak yang juga senafas topik ke-Tuban-an sangat mencolok kita temukan pada karya-karya Nanang Syafi’i. Penyair santun yang jiwa keseniannya terbangun sejak berkuliah di Malang ini memilih judul-judul yang menggambarkan Kota Tuban sebagai Bumi Wali yang dekat dengan alam laut. Sajak Tuban Satu hingga Tuban Tiga, Peziarah, Nelayan, Lelaki di Bektiharjo, Aku dan Gua Akbar menggambarkan nuansa Tuban. Yang menarik tendensi pasrah hidup dan kebajikan menuju manusia mulia agaknya menguatkan puisi Nanang yang sungguh sejalan dalam maqola Kitab Al-Hikam karya Ibnu Ato’ilah. Hidup penerimaan terlihat pada larik: memasrahkan jiwa pada empunya/ tak tandas oleh beban/ baginya: semua sudah sepatutnya. Sungguh ajaran tinggi hidup sebagaimana larik pada puisi Sangu yang banyak menggunakan diksi bahasa Jawa:  nak,/ tak jaluk soko dirimu lagi/ ojo mung iso menerima dan memberi  tapi ugo berbagi/ kamu harus tahu siklus urip iku koyo gerigi, / Ojo lali selalu dengan puja puji, ngaji lagi dan lagi/ supaya kamu ora lali sopo jati diri, sangkan parane dumadi, soko Gusti ugi.

Sajak serupa lukisan abstrak dalam diksi yang lembut, tak terduga, dan terkadang diperlukan daya pikir penghubung antarlarik terlihat pada sajak-sajak Yuliani dan  Nining N.H. Yuliani menulis puisi Kakang Kawah Adi Ari-ari, Selila Kapuk Randu, Mata Anjing Mata Kucing Mata Kita Mata Cinta, Kasiwiang, Kencan Remang dan “Secangkir Jahe Lowo”. Sementara itu Nining N.H. menulis sajak Aroma Pagi, 29 hari yang kucari, Perempuan dan puisi, Kaki Tangan Tuhan, Kursi, Jeritan ke-70 Tahun, Romansa I, Romansa II. Jika kesan abstrak ada pada karya-karya Yuliani, kesan romantis ada pada karya-karya Nining. Selain itu, dari pengalaman Nining sebagai penyair, kawan-kawan penyair Tuban dapat belajar membangun jejaring untuk memublikasikan karya-karyanya. Nining telah banyak memublikasikan karya-karya dalam momen penerbitan. Tercatat karya penyair ini dimuat dalam antologi “Menyirat Cinta Haqiqi” (Lintas Negara Malaysia-Indonesia bersama sastrawan Indonesia dan manca negara, seperti: TaufiqIsmlail (Penyair Indonesia), Hazwan Ariff Hakimi (Penyair dari University of Nottingham Inggris), Khalil Zaini (Kuala Lumpur, Malaysia), Fazwan Hanafi (Kairo), Ahmir Ahmad (Singapura), dan beberapa penyair manca negara lainnya), “Antologi Dua Bahasa” (bahasa Indonesia dan bahasa Inggris), “Antologi  Mengeja Hujan”, dan “Antologi Lesbumi “Tasbih Hijau Bumi”.

Sementara itu sajak-sajak Sri Wiyono mendedah pertanyaan retoris yang mengajak kita memahami paradoksal hakikat kemerdekaan. Ada satu adagium kebebasan yang diimpikan dalam sajak-sajak Sri Wiyono. Lihatlah puisi Semua tentang Kemerdekaan, Merdeka itu, Apakah. Gaya bertanya yang jawabannya pastilah dipahami pembaca menjadi kekuatan sajak Wiyono, meski muaranya adalah perjuangan menjadi manusia paripurna yang bebas atas nilai di luar nilai kemanusiaan. Jawaban ini ditemukan pada larik pada janjimu kala itu, bahwa kau akan/ membaguskan lakumu dalam sajak Hendak ke mana Kau Palingkan Muka.

Ada rasa menikmati pada diri penyair saat proses penciptaan ketika membaca sajak-sajak Kang Naryo. Sajak Terkapar Di Lincak, Derit Lori Yang Menggunung, Megatruh, Jejak Katuridan, Lara Pada Dinding Kepalsuan tergolong puisi dengan larik dan bait panjang. Ada proses yang barangkalai secara pribadi tidak bisa diterangkan dengan bahasa pembaca. Meski demikian, metafora-metafora yang dibangun Kang Naryo sangat menakjubkan, indah, sangat mudah dibayangkan, karena citra rasa visual yang dibangunnya. Misalnya dalam puisi Megatruh kita bisa membayangkan indah tetes bening embun pada ujung dedaunan. …Duhai sang dewi, malammu adalah malam sarat penantian/ malamku adalah malam penuh pengharapan/ berharap pada resapan kasih dedaun kering/ menunggu tetes embun di ujung malam.

Kenikmatan membaca sajak Kang Naryo adalah pada rasa hikmat merasakan metafora bahasa yang dipadatkan dalam diksi-diksi ritmis. Simbol tumbuhan, binatang, dan Yang Kuasa memadu kelindan membangun rasa nikmat berselam dalam bait panjang. Terkadang penyair seakan berdialog intim asyik yang energi nikmat itu dapat dirasakan pembaca. Mudah kita rasakan metafora ini Gusti ijinkan aku mengurai senyapnya malam ini/menjalin rumpun gelagah dan buluh/ tuk jadi gelaran nan elok/songsong wangi mawar di pagi buta/teriring kicau gereja penuh damai/ sebagai pamungkas sajaknya.

Oposisi Kehidupan

Cerpen-cerpen Suhariyadi, Suantoko, Darju Prasetya, dan Lilik Istianah memili gaya penulisan yang berbeda tetapi memiliki ruh oposisi kehidupan. Oposisi kekayaan dan kemiskinan, kebahagiaan dan  penderitaan, serta kebaikan dan keburukan. Oposisi biner atau perlawanan dua objek sebagai teori merupakan teori klasik dalam menelusuri jejak pemikiran dalam karya sastra. Memang hidup dalam segala ironi dan paradoksal ini selalu berisi perlawanan-perlawanan dalam membentuk dinamisasi dan perjuangan. Nilai hidup sesungguhnya pada perjuangan. Dalam perjuangan selalu saja mengalamai hambatan. Hambatan-hambatan inilah yang kerap dalam posisi dunia hitam sementara keberhasilan perjuangan masuk wilayah posisi dunia putih.

Oposisi ini dibangun Suhariyadi melalui cerpen-cerpennya yang bergaya surialis. Dalam cerpen Para Iblis kepiawaian Suhariyadi yang telah lama malang melintang dalam dunia penulisan naskah drama mengembangkan dialog tokoh manusia dan tokoh iblis kera bersayap sebagai metafor betapa manusia negeri Nusanesia telah berperilaku seperti iblis yang tamak. Sifat tamak inilah yang mendorong praktik korupsi, permusuhan, dan hidup saling berebut.  “Di negeri ini korupsi dan seks sangat marak di lingkungan para pemimpinnya. Bahkan tak memandang, apakah itu dilakukan hamba hukum, pejabat, pengusaha, atau orang yang telah dipanggil ustad sekalipun. …Di negerimu orang-orang cenderung berisikap dan bertindak seperti dalam perang. Rakyat musuh rakyat, rakyat musuh aparat, aparat musuh aparat, pelajar musuh pelajar, mahasiswa musuh mahasiswa, guru musuh muridnya, pejabat musuh pejabat, dan akan berderet lagi pasangan peran itu. Persoalannya bisa apa saja, bahkan hal yang paling remeh pun bisa menjadi perang”.

Suhariyadi dengan gaya surialis pada tokoh Ibu Rumput dan tokoh Mimpi dalam cerpen Dongeng Anak Rerumputan yang mengingatkan kita pada cara Danarto memilih tokoh-tokoh dalam kumpulan cerpen Godlob menyiratkan esensi jiwa manusia yang semacam energi. Ia tak musnah melainkan bermetamorfosa bentuk lain. Esensi inilah yang diperjuangkan cerpenis yang fasih berbicara sejarah kota Tuban ini sebagaimana jawaban suara atas pertanyaan tokoh Mimpi “Ya. Tubuh bisa berubah, tapi jiwa dan mimpin-mimpinya mesti tetap adanya.”    

Kembali pada soal hidup yang culas dan rakus. Suhariyadi menunjukkan kepada public bahwa egois hidup bahagia secara sendirian  mendorong pelakunya berbuat apa pun demi hasrat egois. Rasa ingin cepat mencapai tujuan inilah yang kemudian memberikan ruang-ruang persekongkolan dalam hidup. Hidup semua dalam label transaksi. Aku akan memberimu jika engkau memberiku. Praktik-praktik curang dalam persekongkolan hidup demi sebuah kebahagiaan sendiri tanpa berpikir orang lain ini melahirkan budaya sogok, transaksional, dan pamrih. Cerpen Kota Kematian dalam kemasan alam surialis setelah kematian yang tokohnya melakukan apa pun demi diperolehnya Cincin Sulaiman sebagai tujuan hidupnya.

Representasi orang-orang kecil, orang desa, orang miskin banyak digarap Suantoko dalam cerpen-cerpennya. Melalui cerpen Kodok-kodok Ikut Pilkades, Musim Baratan, dan Gaman, pembaca diajak kembali pada kenyataan kotor pesta pemilihan kepala desa, kehidupan orang miskin di pesisir, dan drama kematian. Melalui tiga cerpennnya, Suantoko membangun ironi kepicikan pemimpin, kemiskinan, dan pesan spiritual. Dalam Kodok-kodok Ikut Pilkades, pembaca dihibur oleh hal ajaib kodok yang membuat geger pesta pemilihan kepala desa. Yang hendak disuguhkan melalui cerita konyol ini adalah betapa pemimpin kita masih mengedepankan takhayul atas keterbatasan pengetahuan yang dimilikinya sebagai seorang pemimpin.

Benang merah yang terlihat berkaitan dengan pesta pemilihan langsung para pemimpin oleh rakyat pemilih juga terlihat pada cerpen Dumbek Mbah Saenan karya Lilik Istianah. Cerpen yang berdiksi khas makanan Tuban ini menceritakan getir nasib orang kecil pembuat dan penjaja dumbek yang mengimajinasikan andai-andai oleh hipnotis calon pemimpin yang menjanjikan perbaikan nasib orang kecil. Kampanye persuasif dan politik uang sejatinya membentuk pemikiran bawah sadar pemilih kurang berpengetahuan menjadi subjek-subjek pelamun, sementara itu hidup tetap begini-begini saja.    

Pada cerpen Musim Baratan, kita tersentak oleh kesadaran kemiskinan kaum nelayan marginal sebagai bagian potret orang-orang pesisir Tuban yang sulit membangun kehidupannya pada musim angin. Orang-orang papa serupa tokoh suami isteri Sakiran dan Sutiyem menjadi bagian data kemelaratan negeri ini karena hidup lebih dikendalikan cuaca dan tidak memiliki kemampuan untuk keluar dari masalah itu. Inilah potret lingkungan miskin kaum nelayan di saat perahu-perahu mereka tidak melaut. “Ombak pindah ke daratan. Rumah-rumah di bibir pantai, temboknya habis dikikis. Ya, sampai habis, layaknya kotoran mengambang, dikerikiti ikan keting kelaparan…”

Meski demikian, satu hal yang membuat pembaca menikmati cerita lapar ini adalah bentuk penerimaan tokoh Sakiran yang memandang masa tidak bisa melaut lantaran musim barat. Bagi Sakiran kenyataan ini adalah kasunyatan rutin, maka tidak ada hal yang  perlu dirisaukan. Ketidakrisauan atas kenyataan pahit yang diterima dan menjadikan hidup biasa-biasa saja adalah loncatan kemapanan spiritual meski dipandang hina-dina orang lain. Searah ini pula, Suantoko menggunakan simbol gaman  pada cerpen ketiga pada drama kematian. Gaman atau ‘aja ninggal iman’ inilah cara kerja ruhani yang membawa seseorang senantiasa selamat dalam gempuran hidup yang bengis, tragis, dan memilukan.

Nafas desa juga terasa dalam cerpen-cerpen Darju Prasetya. Cerpen Sebuah Pesta Perkawinan mengingatkan betapa repotnya orang desa miskin untuk memersiapkan acara hajatan karena kemiskinannya. Pada cerpen  Jejak Salit di Bukit Salimar, pengarang terlihat hendak menghadirkan seorang hero bernama Salit, generasi baru, yang memerbaiki keadaan bangsa ini. Mengapa? Sebab, bangsa ini rapuh oleh pengelola negara yang rapuh, egois, licik, dan mencuri. Maka generasi ke depan haruslah seperti kata ayah Salit yang berpesan, “Kau harus menjadi penggengam masa depan yang lebik baik, ingatlah Nak pada masa depan pertarungan itu akan semakin sengit! Jika kau tak mempersiapkan bekal hidupmu, jangan-jangan kau hanya menjadi gelandangan! Dan jika kau pun menjadi pejabat, kau hanya akan menjadi tikus-tikus negara!”

Hero yang dihadirkan adalah sosok pelestari lingkungan dan berbuat kebajikan untuk sesama. Kesadaran kebajikan selalu  yang sanggup memerpanjang usia bumi atas eksploitasi kaum rakus. Genderang ekosastra yang melihat bagaimana sumbagan sastra dalam pelestarian lingkungan memang akhir-akhir ini menjadi isu nasional sastra Indonesia. Ini pula yang melatarbelakangi HISKI bakal menggelar Konferensi Internasional Kesusastraan XXV di UNY Yogyakarta dengan tema “ Dari Sastra untuk Bumi”. Hal serupa cerpen Jejak Salit di Bukit Salimar mengingatkan judul kumpulan cerpen yang diterbitkan Dewan Kesenian Lamongan akhir Desember 2015 dengan judul Bukit Kalam yang juga tokoh utamanya berjuang dalam keterasingan kerusakan alam.

Satu hal pesan mulia Jejak Salit di Bukit Salimar adalah bahwa hidup sebenarnya tidaklah sibuk menumpuk hasrat identitas. Tugas sederhana manusia adalah melakukan kebaikan, melakukan kebaikan, dan melakukan kebaikan. Perlakukan kebaikan secara konstan membawa energi balik baik.

Pesan religi itu pula terlihat pada cerpen Pantai Langit. Cerpen Darju yang ketiga ini mengingatkan geliat pelacuran sepanjang bibir pantai pesisir Tuban. Pemahaman dunia pelacur yan gelap dan binal dibalik oleh pengarang dalam dunia pertaubatan. Dalam gelap lakon nista, pelacur berdialog dengan alam, pelanggan, dan lakon diri dalam penutup cerpen begini: “ …. di Pantai Langit ini telah belajar seorang pelacur mengarungi samudera kehidupan dengan balutan luka-luka yang menorehkan luka-luka sejarah… Ya luka-luka yang memberi pelajaran berharga dalam sejarah hidupnya!” .

Nilai kearifan lokal menjadi perhatian banyak cerpenis. Cerpen-cerpen Dharmampu, Yoru Akira, Thoni Mukharom, dan Sifah Nur memiliki ruh yang nyaris searah. Dharmampu melalui cerpen Wiwit, Nglirip, dan Golek Banyu Prawita Suci mengajak pembaca menyelami tradisi masyarakat kaum pedesaan Tuban dan mitos-mitos. Yoru Akira melalui cerpen Mbok Laras, Melukis Wajah, Tresna Dhemit berbicara dunia pedalangan, masalah orang kampung, dan mitos-mitos legenda. Justru dari bahan mitos, Yoru berhasil membangun imaji yang mistis dan pembaca  terhimbit oleh rasa jauh melayang dalam alam baru. … Aku melihatnya. Seorang wanita, dengan tubuh ramping, tinggi semampai duduk di sebuah kursi bambu. Wajahnya bersinar tertimpa cahaya lampu minyak yang tergantung di dinding rumah…. Kutipan dari cerpen Tresna Dhemit tersebut misalnya menunjukkan bawa cerpenis ini memiliki kekuatan dalam pelukisan yang berbahan legenda.

Thoni Mukharom melalui cerpen Tarian Naga, Bulan Kecut, dan Senja di Kwan Sing Bio menjelajah latar Tuban dalam rajutan cinta, seni tayub, pantai Boom, dan eksotisme klenteng umat Konghucu di Tuban. Narasi pencarian sang kekasih pada seseorang yang merindu pada gadis pujaan atau sebaliknya dalam rajutan bahasa cinta menjadi ruh cerpen-cerpen Thoni Mukharom.

Pada akhirnya sastrawan Tuban agaknya tak mudah untuk melepaskan topik kewalian Mbah Bonang. Sebuah cerpen Sifah Nur berjudul Cari Makan  hendak mendiskusikan konsep barokah wali. Dalam persinggungan dikotomi persepsi tentang konsep berkah orang-orang yang sudah mati serta konflik kerasnya kehidupan jalanan tukang becak menyiratkan cerpen ini merupakan studi riset para penarik becak sepanjang jalan dari Lapangan Kebonsari hingga makam Mbah Sunang Bonang.

Satu genre penulisan cerpen yang sangat menarik karya Umar Affiq kiranya membawa angin penuh harapan besar pada sastrawan Tuban untuk melepaskan diri dan menjeburkan dalam kancah menjadi sastra nasional. Membaca cerpen Kota Tua  karya cerpenis yang saya kira memiliki masa depan menjanjikan ini menemukan banyak kekayaan bahan cerita, gaya bercerita, relevansi cerita, dan tentu saja menempatkan segala bentuk keindahan dengan konsisten memberi pesan kuat nilai kritik sosial yang dalam. Bagian awal cerita, kisah-kisah penceritaan dalam tubuh cerpen, dan penutup cerita menjelma menjadi kesatuan bentuk yang  indah dan sulit menemukan cacat dalam pandangan dulce and utile. Misteri, katarsis, dan terkadang cerita libidinal membentuk sebuah simpul kritik sosial dan tragis penghuni kota karena mendapati kotanya yang demikian: Kota itu teramat tua untuk diukur angka-angka. Tak ada yang lebih tua dari kota itu selain mitos yang menghuninya. Tapi kini, mitos itu hanyalah mitos yang bahkan tak menyisakan petilasan. Sebab di kota tua, kini, pabrik-pabrik telah berdiri. Hutan menjadi hutan beton, sungai kering kerontang, pantai petilasan batu katak berubah menjadi pelabuhan. Mungkin, hanya kuda sembrani yang masih tersisa, yang akan menculik pemuda-pemudi untuk berkhianat, menumbangkan pabrik yang merampas senyum jelata.

Epilog Pembacaan

Pembacaan terhadap karya-karya sastrawan Tuban menggelindingkan imaji format sastra pesisir, sastra wali, sastra mitos, sastra potret keadaan, sastra memertanyakan kembali hakikat hidup, atau simpulnya sastra kesadaran. Dalam kenang bangga dan gelisah kotanya, kawan-kawan penyair mengajak kembali membaca sejarah masa lalu, bercermin luka kota masa industrialisasi, dan mengajak kembali merenungi hakikat hidup pada kesia-siaan jika orientasi hidup tak tertata dalam  niat kemanusiaan.

Kemanusian sebagai bentuk ritus religi sosial menempatkan kehidupan selalu dipertanyakan dalam singgung kehidupan antarindividu. Adalah tak mustahil dalam kehidupan penuh warna baik-buruk, kuasa-terkuasa, kuat-lemah, menganiaya-teraniaya, serta hubungan-hubungan subjek meng- dan ter- tersebut sungguh merupakan garapan penting para pengarang.

Dalam sisi keindahan sebagai instrumen bahasa sastra, sastrawan Tuban memiliki kekuatan, apalagi proses kreatif ini sebagai sebuah proses. Pada rentetan proses ini, tentu dapat diduga dalam bayang imaji nanti setiap pengarang menemukan gaya artistik bermain kata, membangun jejaring kalimat, serta menemukan tema. Surialis ala Hariyadi, gaya menarik Umar Affiq, tema-tema wong cilik Suantoko, kekuatan data sejarah ala Heri Kustomo, ironi Sri Wiyono, kearifan lokal jawa sufi Nanang Safi’i membawa angin segar dalam stilistika sastra Tuban ke depan.

Selamat datang sastra Tuban…. *   

*Cak Sariban adalah kurator sastra Tuban. Menyiapkan buku yang kelima “Menemukan Keindonesiaan: Sastra Postkolonial”. Menikmati hari menunggu masa indah  dalam lorong damai di Jl. Pramuka 9/27 Tuban. Alamat surat elektronik caksarib@yahoo.co.id