Pernah Diremehkan, Bertahan dari Gempuran Krisis Moneter

Reporter: Edy Purnomo

blokTuban.com - Sarmidi, warga Dusun Ngemplak, Kelurahan Sidorejo, Kecamatan/Kabupaten Tuban, merupakan satu dari segelintir orang yang bertahan melaras gamelan dan alat-alat jawa di Kabupaten Tuban. Pria ini, mulai merintas usaha sebagai penglaras alat musik sejak tahun 1994 lalu. Setelah merasa cukup mendapatkan ilmu dan bekal dari kakek dan para tetua sebelumnya.

Pertama kali menjadi penglaras, ternyata bukan perkara mudah. Media tahun 1994, masih banyak orang yang lebih ahli dibandingkan dirinya. Selain itu, sebagai penglaras baru dia juga belum mendapatkan kepercayaan dari pelanggan.

"Penglaras yang lebih sukses itu banyak, sehingga pelanggan banyak yang tidak percaya dengan saya," kata Sarmidi.

Padahal, saat itu dia baru saja menjalani biduk rumah tangga. Ketidakpercayaan pelanggan, membuat dia cukup kesulitan mendapatkan nafkah keluarga. Tetapi, hatinya terlanjur berkeras hati kalau penglaras bukan sekadar mencari uang. Tetapi juga karena kecintaan pada kesenian jenis ini.

"Namanya juga cinta, ya dilakukan sebisanya," kata Sarmidi.

Beberapa tahun setelah 1994, dia mulai bisa menata hidup dengan menjadi penglaras. Tapi, itu tidak sebentar. Karena hantaman badai krisis moneter melanda Indonesia pada kisaran tahun 1997. Usaha yang mulai berjalan, kembali dibelit dengan beragam persoalan.

Perekonomian Indonesia berada di level terbawah saat tahun 1997. Berpengaruh juga pada dunia karawitan secara menyeluruh. Beberapa pengrajin dan penglaras banyak yang gulung tikar. Karena harga kulit, perunggu, kuningan, besi, serta beberapa bahan lain tidak lagi terjangkau oleh para pengrajin. Selain gulung tikar, para pengrajin juga banyak yang memilih pekerjaan lain. Menggantungkan penghidupan dengan menjadi buruh tani, kuli bangunan, serta pekerjaan baru yang lain. Agar asap dapur bisa tetap mengepul.

Kondisi terpuruk juga dialami Sarmidi. Sempat dia tergoda melakukan pekerjaan lain. Tapi karena rasa cinta dan tanggungjawab atas keberlangsungan dunia yang dia geluti, dia tetap memilih bertahan menjadi penglaras. Meski harus mengencangkan ikat pinggang sampai batas waktu yang dia tidak ketahui.

"Hanya saya dan beberapa orang saja yang bertahan. Penglaras dan pengrajin lain banyak yang mencari pekerjaan baru," kenangnya.

Saat itu, dukungan dari teman sejawat merupakan obat mujarab bagi dirinya. Terutama dalang, pengrawit, dan seniman yang lain. Karena dengan kehadiran mereka, bisa saling menguatkan dan bertukar ilmu untuk tetap mempertahankan kesenian dalam rangka menguri-uri kebudayaan leluhur ini. [pur/rom]