Anak-Anak Sepatu

Pengirim: Aizatul Khusnia

blokTuban.com - Serbuan cahaya pagi yang semula terhalang kain hijau, kini mengundang cairan yang ada dalam tubuhku untuk keluar. Ini bukan kali pertama untukku merasakannya. Kubiarkan mereka mengalir dengan sendirinya tanpa jemariku. Kulangkahkan kaki merapat ke jendela kaca, tanpa mengalihkan fokus pandangan. Kulihat mentari yang makin beranjak dari tempat persembunyiannya. Tampak semangat dari bungkukkan punggung kakek tua di tengah-tengah ladang hijau. Burung-burung kecil yang berlalu lalang menggambarkan keceriaan menyambut sang mentari. Tarian dedaunan di pucuk-pucuk ranting, menambah semaraknya suasana pagi.

"Hemm… Alhamdulillah! Tuhan masih berkehendak untukku merasa dan menikmati semua ini," gumamku di hati yang teramat dalam.

Di sisi lain, beberapa insan sebayaku berebutan untuk mendapatkan tempat perteduhan kendaraannya. Seseorang yang berpawakan tinggi kurus, berdiri di tengah-tengahnya sambil mengarahkan mereka. Sesekali orang itu setengah mengangkat lengan dan telunjuknya. Mereka lalu menuruti.

Ya, itu Pak Heri. Aku mengangkat ujung-ujung bibirku ketika salah seorang dari mereka yang memakai helm merah jatuh ditarik oleh motornya.  “What a shamed you are”, kata dalam hatiku. Ternyata cowok itu adalah Bintar, teman sekelasku.

Aku yang tak kuasa menahan senyumku lalu mendorong jendela kaca di depan wajahku. Kuluapkan semua. Pagi ini sungguh mengesankan dengan cerita-cerita di dalamnya.

*****
Bunyi yang sudah tak asing lagi di telingaku, akhirnya terdengar. Tapi aku masih sangat malas untuk beranjak dari posisiku semula. Teman-teman yang lain pun masih sibuk dengan urusannya masing-masing. Tapi hati tak tega membiarkan lantunan ayat suci dari kotak hitam yang tertempel di dinding antara AC. Dengan sedikit terpaksa, kakiku membawa tubuh ini menuju ke tempat duduk yang biasa kutempati.

Suara hentakan kaki yang tak berirama dari luar kelas seolah-olah memerintahkan teman-temanku untuk menduduki bangkunya masing-masing. Tapi itu hanya berlaku selama kurang dari satu menit. Setelah hentakan itu menjauh, mereka kembali membincangkan sesuatu yang kurang kuketahui. Ketika suara tarikan pintu dari luar terdengar, bergegas mereka kembali lagi duduk di bangkunya. Kali ini kami serentak menundukkan kepala menghadap lipatan tangan di atas meja.

Fisika. Itu adalah sarapan pagi kami di hari Kamis. Masih untung, Fisika kelas X telah berlalu beserta dengan pengajarnya. Karena, bisa-bisa semua materi terlewat tanpa disadari. Suara pak guru kami yang satu ini memang selembut sutra. Sampai-sampai otot-otot mata kami melemas tak berdaya bila mendengar aura suaranya. Apa karena suara Pak Budi, begitu siswa memanggil, mengandung dosis yang tinggi ya? He..he..he..

Kok jadi Pak Budi sih yang dibahas? Kembali ke laptop! Di kelas sebelas ini, kami sudah tak bertatap muka lagi dengan Pak Budi. Kami kini diajar oleh antonimnya Pak Budi. Dia adalah Bu Yani. Kenapa aku menyebut Bu Yani dengan antonimnya Pak Budi? Kasih tahu nggak ya??? Ya udah deh aku kasih tahu, karena ini kan ceritanya anak XI-IPA 1, jadi termasuk guru-guru pengajarnya.

Ini dalah perbedaan antara Pak Budi dengan Bu Yani. Kalau Pak Budi itu laki-laki, sedang Bu Yani perempuan. Itu yang pertama. Kalau Pak Budi itu bersuara lembut dan rupawan, sementara Bu Yani suaranya cetar membahana. Hust... Jangan dibilang ke orangnya lho ya! Next. Kalau Pak Budi itu orangnya Superman. Eits salah, bukan itu maksudnya, tapi superserius alias jarang bercanda dengan muridnya. Kalau Bu Yani, Bu Yani? Kalau Bu Yani, itu orangnya sih emang tegas, tapi aku suka dengan caranya membuat kelas kami bersuara.

Ya begitulah..! Sebenarnya masih banyak lagi perbedaan antara Pak Budi dengan Bu Yani, tapi aku takut dosa ngomongin guru terus.

*****
Jarum merah di dalam jam dinding terus berputar tanpa ada kompromi. Jika saja bisa kuajak kompromi, dia akan kusuruh untuk berjalan lebih cepat. Tapi kudapatkan pelajaran yang berharga darinya. Dari jam aku tahu, bahwa sesuatu yang dikerjakan dengan ikhlas pasti akan membuahkan sesuatu yang baik pula. Apa kamu pernah mendapati jam yang masih berfungsi diletakkan di atas lantai atau di pergelangan kaki? pastinya nggak kan. Kecuali mereka yang tak memiliki tangan, sehingga memakai jamnya di kaki. Itu pertanda bahwa jam tersebut mendapatkan penghargaan atas apa yang dia lakukan. Cie..cie..! Sok bijak aja.

Muncul senyuman yang tersembunyi di hatiku dan teman-teman ketika Pak Guru pengajar Kimia kami mengucapkan salam penutupan. Ayun, si cewek termuda di kelas ini selalu belaga kesengsem kalau sama Pak Maskur. Ups…! Kena loe Yun, panggilan akrabnya.  Dengan percaya dirinya, dia curi-curi pandang di depan Pak Maskur. Ada tapinya ini? The youngest girl itu selalu jadi korban cuek Pak Maskur. He..he..he. Tapi lagi lho ya, itu semua dia lakukan hanya untuk menghibur siswa lain. Ehmm, baik banget sih Yun.

Pak Maskur. Guru pengajar Kimia di kelas ini. Tadi kan sudah dikasih tahu sedikit tentang Bu Yani. Nah sekarang, gantian Pak Maskur ya. Biar adil dan nggak ada guru yang ngiri. According to me… Pak Maskur itu orangnya kaya reinkarnasinya Romeo. Karena ke-so-sweetannya dengan si Juliet, Bu Umamul. Sering banget beliau-beliau itu menunjukkan keromantisannya di depan murid-muridnya. Ehemm... Jadi ngiri. Next, Pak Maskur itu seperti es batu, yang selalu dingin. Tapi masih untung beliaunya nggak terlalu cuek dan garang.

Ucap syukur yuk! “Alhamdulillah……”

Setelah tak satupun anggota badannya Pak Maskur terlihat, para siswa mulai beraksi. Kelasku yang kurang 10% mirip SMEA ini punya aktivitas rutin setiap jam istirahat. Pandawa plus satu di kelasku (Shofa, Edi, Fauzi, Cahyo, Eyang Subur alias Bintar dan Adit yang kerap dipanggil Jupe) langsung memperebutkan sound system. Lagu yang diputar oleh mereka selalu mengikuti tren.

Nah untuk saat ini, lagu yang ngetren itu lagu Nyidam Pentol dan Goyang Caisar. So, lagu-lagu itu setiap harinya diputar sebagai pelengkap. Kehebohan mulai berlangsung setiap jam istirahat dan jam kosong. Ditambah dengan pertunjukan dari Ayun, Shofa dan Tutik, pasti sekelas menjadi geger.

Aroma khas nasi bungkus mulai tercium di lokasi kami. Apalagi AC-nya tidak pernah di-offkan saat dipakai makan. Merli, Elmi, Fita, Elin, Ulul, Qoni.

"Bentar ya, ambil napas dulu," lanjut Siska, dan Kamila. Mereka dengan khusyuk menyantap hidangannya masing-masing.

Nah beginilah wajah kelas XI-IPA 1 saat istirahat. Lima belas menit merupakan waktu yang singkat untuk istirahat. Bel tiga kali memberi isyarat kepada kami agar bersiap-siap untuk pelajaran selanjutnya. Tapi yang namanya anak XI-IPA 1 selalu tertib kalau sudah melihat guru pengajarnya sampai di tangga. He..he.. Itu sih bukan tertib namanya.

Mapel di jam V-VI adalah Bahasa Inggris. Pengajarnya wali kelasku sendiri, Mrs. Rukayah. Mrs. Rukayah itu wajahnya mirip Saskia Gotik lho kata anak-anak. Tapi kalo menurutku dan Fita lebih mirip Siti Badriyah. Aduuhh, parah banget sih, masa guru disama-samain dengan artis. Di jam ini ataupun jamnya Pak Qorib, si anak pondok (Niswatin) yang sarangnya di sebelahku, memulai tapanya dengan mata hampir tertutup. Aku tak kuasa untuk membangunkannya. Katanya, dia hanya dapat 2-3 jam untuk bermimpi kalau di pondok. Jadi dia melanjutkan mimpinya di sekolahan.

Bel dua kali akhirnya terdengar. Selang beberapa menit dari itu, Mrs. Rukayah lalu mengucap salam seraya menutup pembelajarannya. Aku dan teman-teman sangat menikmati sedikit waktu ini. Namun tak berapa lama, Bu Indah guru Bahasa Indonesia memasuki kelas. Semua penghuni kelas IPA 1 menghentikan obrolan Bahasa Jawanya. Seperti biasa, sebelum mulai pelajaran, serentak kami tundukkan kepala yang dipimpin oleh Jupe. Jupe atau Adit adalah Ketua Kelas XI-IPA 1 di periode ini, menggantikan Fauzi. Dia itu “CTE”. alias Cowok Tanpa Ekspresi. Sekian.

(Sebuah cerita dan catatan saat sekolah)

*Pengirim: Mahasiswa Semester II Kampus Ungu, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Insan Cendekia Husada (STIKes ICSADA) Bojonegoro. Asal Kecamatan Singgahan, Kabupaten Tuban yang juga Anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Kampus Ungu.