Selalu Jadi Anak Kecil di Depan Ibu

Oleh: Nanang Fahrudin

Hari ini bukan Hari Ibu, juga bukan hari perempuan. Tapi, entah kenapa saya sangat ingin menulis tentang ibu. Juga bukan lantaran Ani Yudhoyono, istri Susilo Bambang Yudhoyono akan maju sebagai capres pada 2019 mendatang. Bukan. Sama sekali bukan urusan politik. Saya hanya hendak bernostalgia dengan sosok ibu. Ya, ibu saya.

Ibu, siapapun itu, selalu menganggap anaknya masih kecil. Meski dia sudah makan bangku kuliah, atau bahkan sudah bekerja dan punya keluarga sendiri. Begitulah. Pada waktu sekolah aliyah, ketika banyak tuntutan hafalan dari guru, saya sering dibangunkan pukul tiga pagi. Bukan untuk tahajud sih, tapi untuk menghafal pelajaran. Saya bagian menghafal, sedang ibu dengan menahan kantuk menyimak memegang buku. Begitulah malam-malam ketika hari ujian tiba.

Ketika kuliah, ibu juga menganggap saya tetap seorang anak kecil. Ketika berangkat, saya diminta membawa satu toples peyek kacang dan adonan sambal pecel. Bekal itu untuk mengirit ongkos hidup di perantauan. Maklum, kuliah bukan pilihan utama. Saya sebenarnya malu. Tapi saya wajib menghormati dan menaatinya. Bekal itu pun selalu saya bawa.

Dan…cukuplah untuk sementara bernostalgia.

Ketika seorang ibu selalu menganggap kita anak kecil, maka sudah sewajarnya kita juga selalu menganggapnya sebagai orang tua. Menganggapnya sebagai seorang guru. Persis ketika anak kecil yang belum tahu apa-apa, diajari ibu huruf a sampai z. Diajari huruf alif hingga ya’. Sedewasa-dewasanya seseorang, dia harus menempatkan diri sebagai seorang anak kecil di hadapan ibu. Begitulah keyakinan saya.

Apa yang saya obrolkan mungkin sesuatu yang biasa-biasa saja. Namun, ketika pendidikan dari ibu sudah diambil alih oleh lembaga-lembaga pendidikan untuk menggantikan sosok ibu, maka ibu tak lagi dipandang sebagai madrasah pertama. Al-ummu madrasatul ‘ula. Ibu adalah madrasah pertama. Jika kau mempersiapkannya maka kau telah mempersiapkan generasi terbaik. Dan ketika kita menyepelekan ibu sebagai madrasah pertama, artinya kita sudah menyepelekan masa depan negeri ini. 

Kini, jangan heran ketika ibu bukan siapa-siapa lagi. KH Anwar Zahid, kyai kondang dengan “kulhu ae lek” itu pernah menyindir dalam salah satu ceramahnya, bahwa kini ibu tak lagi dihormati. Jika seorang anak sukses maka ibu adalah babu. Tapi ketika ibu sukses, anak menjadi raja. Belum lagi ketika generasi sekarang selalu menganggap selalu lebih hebat dari ibunya.

Gus Mus yang begitu berilmu dan bersahaja sangat menghormati ibunya. Bahkan, ketika hendak dicalonkan sebagai Ketum PB NU, beliau memilih berkonsultasi dulu kepada ibunya. Bukan kepada kyai sepuh atau siapapun. Melainkan pada ibunya. JIka tidak diizinkan maka beliau tidak akan maju.

Konon, Albert Einstein sang penemu teori relativitas menangis ketika membaca surat yang disimpan oleh ibunya. Alkisah, Einstein kecil dikeluarkan dari sekolah. Sang ibu mengatakan pada Einstein bahwa ia terlalu pintar sehingga tidak perlu bersekolah di sekolah tersebut. Namun, ketika sang ibu sudah meninggal dan Einstein dewasa, ia membuka almari dan mendapati surat dari sekolah. Isinya sungguh mengejutkannya, bahwa ia dikeluarkan dari sekolah karena dia nakal dan bodoh. Dia menangis karena mengagumi sosok ibunya yang tak mengatakannya dan memilih kata-kata yang membuatnya tetap semangat belajar.

Kini posisi ibu sudah tergantikan oleh banyak hal. Modernitas menganggap bahwa takut dan hormat pada ibu adalah saru, yang pada akhirnya ibu ditempatkan sebagai seorang teman. Teman yang benar-benar teman. Kita sering menganggap diri terlalu dewasa, dan menganggap ibu terlalu kekanak-kanakan. Bukan sebaliknya, bahwa kita adalah anak kecil di hadapan seorang ibu. Selalu anak kecil yang tak tahu apa-apa.

Ah, cukuplah saya bernostalgia. Jika Anda sepikiran dengan saya, dan sedang jauh dari ibu, sempatkanlah menelponnya. Sekadar saran sih, bukan sebuah tausiyah atau semacamnya. Tapi jika Anda yakin bahwa ibu adalah benar-benar seorang teman, ya tak keliru juga kan menyapanya, untuk bersilaturrahim.

Saya tutup saja tulisan ini dengan paragraf terakhir puisi Gus Mus berjudul Ibu.

Tuhan, aku bersaksi
ibuku telah melaksanakan amanatMu
menyampaikan kasihsayangMu
maka kasihilah ibuku
seperti Kau mengasihi kekasih-kekasihMu.
Amin

----------------------------------------

*) Penulis beralamat di kakisepasang@gmail.com