Pekerjaan Langka, di Ujung Kepunahan

Reporter: Edy Purnomo

blokTuban.com - Sejenis palu, terbuat dari bahan kayu, tergenggam erat di tangan lelaki tua. Setiap kali, palu itu diayunkan pelan mengenai wilah (bilah alat musik demung dan sejenisnya), setiap itu pula, terdengar bunyi mengalun mengisi salah satu ruang di Dusun Ngemplak, Kelurahan Sidorejo, Kecamatan/Kabupaten Tuban.

Tangan terampil milik Sarmidi (60), terlihat asyik memainkan palu kayu pemukul gamelan. Meski terkesan asal, telinga langsung mendengar musik jawa begitu palu dia menyentuh bilah gamelan. Mendadak, suara indah tersebut harus berhenti. Lantaran telinga tua Sarmidi menangkap ada satu pirantai berdawai fals.

"Ting, ting," ketuk dia berulang-ulang di salah satu bilah gamelan.

Dia menghentikan permainan, langsung mencopot satu bilah dari rangkaian demung. Bilah ini terdengar fals, sehingga dia merasa perlu untuk melarasnya. Ya. Sarmidi adalah pelaras gamelan. Pekerjaan yang di era sekarang sudah hampir tidak ada yang mau melakukan.

Tak lama, persinggungan dua benda berbahan logam itu terdengar. Dia menggesek bilah dengan besi keras. Kemudian mencoba memainkan kembali. Begitu seterusnya, sampai telinga dia menangkap suara yang pas dengan nada yang semestinya.

"Alat satu ini sudah selesai di laras, tinggal diambil orangnya," kata Sarmidi.

Sarmidi mengaku, sudah lama dia menjalani pekerjaan sebagai pelaras alat musik tradisional. Melaras, adalah pekerjaan mencocokan nada di alat musik, agar sesuai dengan pakem. Kakek ini, mengaku sudah melakukan pekerjaan sebagai penglaras sejak masih muda. Sekarang, bisa jadi dialah satu-satunya penglaras yang masih bertahan di Kabupaten Tuban.

Menjadi penglaras bukan pekerjaan mudah. Pelaku harus mengetahui betul jenis nada dari alat yang dilaras. Tentunya, dia juga harus bisa memainkan semua alat musik tradisional, dan mengenali nada-nadanya.

"Sebelum jadi penglaras, saya ikut main dulu menjadi pengrawit," kata Sarmidi, seraya mengumpulkan beberapa peralatan penglaras.

Kala itu, media tahun 1971, dia sering mengikuti salah satu kelompok karawitan di Tuban. Awalnya, sebagai buruh angkut alat. Meski bukan di posisi strategis, ternyata dia mempunyai darah seni yang diwarisi dari mendiang sang kakek. Dia kemudian cepat belajar dan acapkali menggantikan salah satu pemain yang berhalangan saat pentas berlangsung.

Dia terus belajar. Meski secara autodidak, sepuluh tahun kemudian dia bisa memainkan beberapa alat musik lain seperti Gender Baboh, Pelok Sindro, Demung, Saron, Peking, Bonang, dan peralatan karawitan yang lain. Ketrampilan itu memantik perhatian para seniornya, sehingga dia diangkat sebagai pemain utama karena ketrampilan yang dikuasai.
Kecintaannya pada musik tradisional jawa semakin dalam. Ketika dia diambil kakeknya untuk tinggal dan belajar menglaras. Pekerjaan baru yang kemudian dia lakukan sampai detik ini.

"Saya belajar dari kakek, saat itu saya langsung ikut tinggal beliau," kata Sarmidi, Sabtu (23/4/2016), menceritakan kali pertama dia belajar melaras. [pur/rom]