Membaca dan Membuat Catatan Pendek

 Oleh: Nanang Fahrudin

Sejak kapan menyukai corat coret usai membaca buku? Saya tak ingat betul. Namun yang jelas saya ketagihan. Coretan itu memang terkadang berbentuk “serius” macam resensi di koran. Namun, seringkali saya membuat catatan semau saya, yakni catatan bagaimana rasanya membaca sebuah buku. Jadi untuk yang “tak serius” lebih bebas, dan saya tak ambil pusing soal teori atau apapun. Saya hanya mengikuti rasa saja.

Biasanya, sekali lagi ini soal kebiasaan saya saja, coretan yang “serius” saya kirim ke media koran. Ada yang dimuat, ada yang tidak. Tapi yang ini sangat jarang sekali. Karena, saya menyukai coretan yang “tak serius” karena merasa lebih bebas. Saking senangnya membuat coretan yang “tak serius” itu, saya nekat membukukannya dalam sebuah buku berjudul “Buku yang Membaca Buku” tahun 2012 silam. Meski diterbitkan secara indie sih, tapi saya sangat senang dengan buku itu.

Memang membaca buku adalah bersifat personal banget. Pada saat membaca, tak ada siapapun orangnya yang bisa mempengaruhi kita. Yang ada hanya kita, teks, dan imajinasi kita. Pada saat membaca, dialog yang berlangsung adalah antara kita dan teks. Lalu, kita mengolahnya dalam diri kita. Apa yang kita baca merangsang imajinasi, merangsang pikiran-pikiran. Yakni setelah teks itu bertabrakan dengan apa yang sudah ada lebih dulu dalam diri kita.

Saya tidak tahu, apakah ada teori membaca yang menjelaskan hal demikian. Tapi itulah yang terjadi pada saya saat membaca buku. Ketika sebuah teks itu menemukan bentuknya dalam imajinasi saya, hmm...bagaimana ya. Pokoknya nyambung gitu, maka saya seperti tak ingin menghentikan membaca. Ingin terus dan terus. Saya sering merasakan itu. Diantaranya ketika membaca tetralogi Pramoedya Ananta Toer dan karya-karya lain. Atau ketika saya membaca Musashi karya Eiji Yoshikawa, atau membaca Senopati Pamungkas jilid 1 (karena saya tak pernah menyelesaikan jilid 2) karya Arswendo Atmowiloto, dan entah karya siapa lagi.

Hal paling menjengkelkan adalah ketika saya mandeg. Sulit sekali membaca. Seakan-akan semua karya yang hendak saya baca jelek semua. Minimal tidak sesuai dengan apa yang sedang saya inginkan. Pada saat demikian, saya gonta ganti buku. Mencari buku, menemukannya, lalu membaca beberapa halaman, digeletakkan. Mencari buku lagi, menemukannya, lalu membacanya beberapa halaman, tapi akhirnya dilempar lagi.

Dan saya baru bisa keluar dari kondisi yang menjengkelkan itu dengan cara benar-benar berhenti membaca. Lalu menata buku, membersihkan almari buku, mencari-cari buku yang terselip lalu mengembalikan ke “keluarganya”. Atau sesekali ngobrol dengan kawan tentang buku-buku apa saja. Saya pun menduga-duga, ketika kita usai membaca, kita memerlukan untuk berbagi. Menjadi si pencerita, bukan lagi si pembaca.

Begitulah.

Membaca lalu membuat catatan memang dua hal yang kadang saling terhubung. Sama-sama mengasyikkan. Meski sebagian besar buku-buku yang selesai saya baca lalu saya buat catatannya, sebagian besar adalah buku-buku sastra. Namun, ada juga yang bukan buku sastra, semisal buku Watonurip karya Shindunata, atau Buku Kakiku yang berisi pengalaman tokoh-tokoh tentang buku.

Mari membaca, lalu berbagi lewat catatan. Entah kau menyebutnya resensi, review buku, catatan buku, atau apalah. Karena sejatinya sama: membincang buku.