Film Ivanna adalah film yang tidak saya antisipasi sejak kemunculannya sebab saya bukan penggila film horror.
Penulis : Hikho Wasa
blokTuban.com - Apalagi melihat posternya, membuat saya semakin memantapkan diri untuk tidak melirik film ini karena sudah bisa saya tebak bahwa film ini
akan menyeramkan. Namun, pandangan itu seketika hilang saat saya melihat trailernya yang bermunculan di beranda sosial media yang saya buka.
Dibuka dengan adegan masa lalu bersetting masa kolonial membuat saya memberanikan diri melihat sampai akhir trailer. Berawal dari melihat trailer yang tidak sengaja itulah lantas membuat saya tertarik dengan film ini. Ya, saya memang penyuka film-film berlatar masa lalu atau bertema historical.
Melihat adegan masa kolonial dengan pewarnaan yang cukup meyakinkan bahwa film itu berlatar masa penjajahan Jepang-Belanda, lantas membuat diri saya mencari sinopsis dari novel ‘Ivanna’ karya Risa Saraswati yang menjadi dasar dibuatnya film Ivanna.
Beberapa kali membaca kisah novel ‘Ivanna’ benar-benar membuat saya takjub sekaligus membayangkan peristiwa yang dialami Ivanna pada masa itu terlepas dari benar/tidaknya kisah itu cukup memberikan gambaran tokoh yang kuat menyamai Nyai Ontosoroh di Bumi Manusia.
Sekali lagi memberikan saya alasan untuk tertarik pada kisah Ivanna di masa lalu. Seorang perempuan Belanda yang mencintai pribumi juga Hindia- Belanda—Negeri jajahannya. Ia tidak membedakan status antara Belanda dengan inlander. Kecintaan ia terhadap pribumi akhirnya membawanya menuju kehancuran. Ia membela inlander semampunya meski harus mendengar caci-makian Belanda totok lain yang menganggap ia dan keluarganya rendah dan hina karena dekat dengan inlander.
Hingga peristiwa kedatangan Nippon (Jepang) membuat ia harus terkhianati oleh inlander yang ia cintai karena hasutan Nippon. Hal inilah yang membuat ia dan keluarganya akhirnya terbuang dari masyarakat. Tidak diterima oleh siapapun. Tidak sesama Belanda, tidak pribumi Hindia Belanda, apalagi Nippon. Ivanna adalah tokoh inspiratif yang mencintai tanah ini dan karenanya ia terbunuh oleh Nippon.
Setelah sedikit banyak memahami masa lalu Ivanna lewat novelnya akhirnya saya memberanikan diri menonton filmnnya, dan beginilah hasilnya.
1. Alur Terbangun Rapi
Film dibuka dengan adegan flashback kisah keluarga Ivanna yang dibantai Nippon dengan pimpinan Matsuya (Hiroaki Kato)—tentara Nippon yang dekat dengan Ivanna (Sonia Alyssa). Penyerangan itu kemudian menjalar ke Ivanna yang mencoba lari dari serangan Nippon dibantu sahabatnya—Saiful (Muhammad Khan).
Alur beralih ke setting 1993 yang menampilkan Ambar (Caitlin Haldermen) yang naik bis dengan adiknya—Dika (Jovarel Callum) menuju Panti Jompo Werdha yang ditinggali tiga orang tua dengan dua pengurus panti yakni Agus (Shandy William) dan Rina (Taskya Namya).
Hari pertama tinggal di Panti Werdha, Dika bermain dengan kakek Farid yang tinggal di Panti Werdha. Permainan tersebut tanpa sengaja masuk ke dalamruang kosong samping panti yang tak pernah dijamah sebelumnya. Dika kemudian pergi mengambil permainan tersebut yang membuat Ambar mencarinya lalu jatuh ke ruang bawah tanah yang gelap.
Dari ruangan itu mereka menemukan sebuah patung tanpa kepala. Dari sinilah teror dimulai. Kimo sebagai sutradara mengemas alur Ivanna dengan santai dan tidak terkesan cepat. Di awal adegan pun penonton tidak disuguhi banyak penampakan hantu dan jumpscare yang sering terjadi di film-film horror dan hanya menjual jumpscare tanpa memperhatikan alur.
Selain itu, Kimo bisa meramu alur yang berkaitan sehingga alur dapat terjaga dan tidak mengurangi esensi cerita. Kimo membawa penonton mengikuti kilasan peristiwa Ivanna lebih dulu kemudian diajak ke setting waktu dimana Ivanna membalaskan dendam kepada semua orang atas kematiannya yang tragis.
Perpaduan horror-historical inilah yang menarik sebab penonton benar-benar diaduk emosinya dan dibuat ikut merasakan kesedihan serta kemarahan Ivanna terhadap orang-orang yang mengkhianatinya, kemudian diputar kembali dengan horor-gore yang berhasil mengaduk perut penonton. Ya, Kimo tidak hanya mampu mengaduk emosi tetapi juga perut penonton.
Inilah yang menarik sebab kebanyakan film horor kurang pada penceritaan, tetapi Kimo mampu meracik penceritaan yang dalam tetapi juga tidak mengurangi suasana horor di dalamnya. Selain itu, perpindahan antara flashback dan kembali ke setting utama juga halus dan masuk akal.
Kimo memberikan flashback kisah Ivanna melalui mata Ambar serta penjelasan suara melalui intercom yang hanya bisa didengar oleh orang di sekitar Ambar. Kemasan flashback yang cerdas. 8/10 untuk alur dan penceritaan.
2. Kombinasi Pemain yang Tepat
Masing-masing aktor membawakan karakter dengan baik dan tepat di film ini. Caitlin dengan sosok Ambar yang memiliki penglihatan terbatas mampu dieksekusi dengan baik dan tidak terkesan berlebihan. Hiroaki Kato asal Jepang yang membawakan sosok Matsuya yang mampu memberikan kesan kejam seorang tentara Nippon, meski ini menjadi film pertamanya, Hiro mampu menyatu dengan karakter Matsuya.
Ada Muhammad Khan, aktor peraih Piala Citra sebagai Aktor Pemeran Utama Terbaik itu tidak perlu diragukan lagi kemampuan aktingnya sebagai Saiful. Pribumi yang menjadi sahabat Ivanna serta pejuang Hindia-Belanda kala itu.
Adegan yang membuat saya tertarik adalah adegan saat ia membawa tubuh Ivanna di ruang bawah tanah. Ia memutar lagu diiringi kesedihannya di depan mayat Ivanna yang didudukan di kursi. Adegan itu berhasil menancap di kepala saya. Epic.
Aktor veteran seperti Yayu Unru, Rina Hassim, Kenes Andari, dan Yati Surachman juga tak kalah menyenangkan dalam memerankan karakter masing-masing. Salah satu di antara mereka ada adegan yang epic juga, di mana Nenek Ani (Yati Surachman) yang bertemu hantu Ivanna hingga harus lari ke kamar mandi dan di sanalah terjadi sesuatu yang epic.
Ada Tata Ginting, sosok polisi yang bernama Pak Yudi. Awal kemunculannya saja sudah membuat saya ingin tertawa. Bahkan tanpa ia bicara, hanya melalui gesture, sudah terlihat sisi kelucuannya, tetapi bukan lucu yang dibuat-buat. Mengalir dengan sederhana tetapi mengena. Tentu saja, karena dia Tata Ginting.
Paling favorit tentu saja pemeran Ivanna yaitu Sonia Alyssa. Salah satu aktor muda yang ternyata memiliki kemampuan luar biasa. Ia mampu mengeksekusi karakter Ivanna dengan brilian. Ia mampu membawa Ivanna ke dalam dirinya.
Saya akui semua adegan Sonia di film ini berat. Tidak ada yang ringan atau sederhana. Ia harus diseret, disiksa, dan dikeroyok banyak orang. Sonia mampu membawakan sosok Ivanna yang penuh kebencian, ketakutan, dendam, meminta pengampunan, kesakitan, dan kemarahan melalui gesture, sorot mata, dan lainnya.
Adegan flashback memang yang paling saya tunggu dan ketika itu muncul, saya tidak kecewa. Saya ikut merasakan semua perasaan campur aduk Ivanna dalam satu adegan. Saya ikut marah, sedih, takut, bahkan dendam hanya dengan melihat adegan penyiksaan Ivanna yang dibawakan dengan apik oleh Sonia. Maka, untuk suguhan acting dari para pemain, saya memberi 8,3/10.
3. Sinematografi yang Ciamik
Hal yang paling saya sukai selain dari latar belakang kisah Ivanna adalah sinematografi yang disuguhkan Kimo. Penonton benar-benar diarahkan seakan- akan ikut ke dalam kisah itu dengan memberikan angle sebagai sudut mata orang pertama. Kamera di sini menggantikan mata penonton dan mampu memberikan efek besar untuk penonton mengikuti suasanan dan alur yang dibawa di film ini.
Adegan ketika Ivanna tiba-tiba dipukul di kepala bagian depan oleh Nippon dan kemudian black out, lantas pelan-pelan dibuat seperti mata terbuka dengan sedikit samar dari sisi pandangan mata Ivanna yang diseret Nippon. Saya terlarut dan seperti ikut merasakan apa yang dirasakan Ivanna saat adegan ini.
Hal yang epic lagi juga terjadi di bagian akhir saat Ambar, Dika, dan Ivanna berada di satu ruangan. Ambar yang tiba-tiba diserang Ivanna mampu membuat saya kaget sebab penempatan kamera sebagai sudut pandang Ambar. Saya ikut merasakan kekagetan Ambar saat itu. Permianan cahaya juga menjadi bagian yang turut mendukung pembangunan suasana dalam film ini.
Selain penempatan sudut kamera, warna yang dipilih juga tepat. Film ini berlatar 1940-an dan 1993 maka Kimo memberikan nuansa itu dengan pewarnaan yang seakan-akan kita dibawa ke latar tersebut. Pewarnaannya pas menurut saya. Apresiasi untuk sinematografi film ini adalah 8,8/10. Ciamik!
4. CGI Meyakinkan
Horor-gore seperti ini membuat filmmaker harus menggunakan CGI sehingga cerita dapat teraplikasikan dengan baik. Film ini cukup banyak menggunakan CGI karena cara Ivanna meneror orang-orang cukup menyeramkan dan mengharuskan menggunakan efek CGI. Dari sini kita sudah bisa melihat perkembangan CGI film Indonesia sudah cukup mumpuni.
Adegan tragis saat pembunuhan Ivanna dan epicnya adegan antara Nenek Ani dan Ivanna memberikan kita keyakinan bahwa CGI film Indonesia cukup meyakinkan. Hanya beberapa detail yang perlu diperhatikan sehingga dapat lebih meyakinkan. 7,6/10 untuk CGI di film ini. Tambahan, film ini juga memiliki lagu khusus berjudul Ivanna yang tentu saja sangat candu untuk didengar.
5. Gore yang Memuaskan
Pecinta film gore tak perlu berpikir panjang untuk menonton film ini. Kita tahu Kimo di balik film Ivanna ini, yang sudah sering menggarap film-film bergenre gore dan meyakinkan serta menyenangkan untuk dinikmati. Adegan-adegan pembunuhan di film ini cukup brutal dan realistis sehingga bisa memberikan suntikan energi bagi penikmat film genre gore.
Tetap saja, lagi-lagi adegan Nenek Ani yang epic untuk visualisasi sisi gore di film ini. Itu tak bisa saya lupakan. Maknyus dan mantap. 8,6/10 untuk sisi gore di film ini. Masing-masing sudah saya rincikan bagimana pandangan saya setelah dua kali menonton film ini. Faktanya saya bukan pecinta film horor, dan tidak pernah melirik film horor di bioskop, tetapi ini film horor kedua yang saya tonton dan lebih dari sekali pula, dan saya ingin menonton lagi untuk menikmati sinematografi dan ceritanya.
Akhirnya bagi yang belum menonton, bagi pecinta film sejarah, gore, horor, kalian semua wajib nonton film ini. Harapan terakhir semoga film ini adaprekuelnya yang fokus mengangkat kisah Ivana mulai dari pertama kali ia ke Hindia Belanda sampai perjuangannya membantu keluarganya dan kisah epicnya yang lain yang tentu saja patut dinantikan.
Sebuah film yang bukan horor tetapi lebih pada bersifat historis, yang membuat kita menjadi lebih terbuka pada kehidupan masa kolonial dulu. Sisi kuat seorang Ivanna rasa-rasanya menarik untuk dibagikan sehingga kita bisa belajar banyak dari kisahnya, mencintai tanah ini salah satunya.
Apabila kita rangkum dan rata-ratakan dari penilaian masing-masing bagian, bisa kita simpulkan film ini mendapat 8,3/10 dari saya. Akhir kata, tabik untuk seluruh tim baik crew dan cast, untuk Risa penulis novel Ivanna yang telah membagikan kisah Ivanna yang epic ini kepada kita semua, juga jika kisah ini diambil dari kisah nyata, semoga Ivanna diberikan ketenangan di sisi-Nya. Ivanna adalah inspirasi bagi kita semua. Tabik. (*)