Guru di Desa Klotok Raup Cuan dari Merajut Kopiah

Reporter : Suci Dewi Setiani

blokTuban.com - Istilah waktu adalah uang nampaknya cocok disematkan kepada Muhadi Rusli. Guru di sebuah pondok pesatren yang tinggal di Dusun/Desa Klotok, Kecamatan Plumpang, Kabupaten Tuban ini mampu memanfaatkan waktu luangnya dengan merajut kopiah. 

Kerajinan tangan dengan pola simetris buatan Rusli banyak digemari masyarakat setempat. Tak heran, jika dia mampu meraup cuan dari ketrampilannya tersebut setiap bulannya. 

Rusli bercerita mulai belajar merajut sejak tahun 2019 lalu sebelum pandemi Covid-19 mewabah. Waktu itu, saat ia masih belajar di pesantren tak sengaja melihat temannya memiliki ketrampilan merajut yang akhirnya menarik dirinya untuk belajar. 

Awalnya merajut cukup sulit dan melatih kesabaran. Dengan kegigihan dan keuletannya, kopiah pertama hasil rajutannya jadi. Dari situlah ia terus merajut hingga tak terasa menjadi pekerjaan sampingannya. 

"Lebih prioritas kerja ke Guru, merajut kopiah hanya sampingan, karena jika merajut terlalu maka efeknya ke mata kan ndak terlalu baik jika terus menerus," Ungkap Rusli kepada blokTuban.com, Jumat (6/5/2022). 

Pekerjaan yang sudah ditekuni tiga tahunan itu, lanjut Rusli akan dikembangkannya. Untuk pemasaran kopiah buatannya melalui offline dan online. Sistem offline biasanya lewat mulut ke mulut masyarakat, dan akhirnya terkenal di masyarakat sekitar. Sedangkan pemasaran online biasanya lewat Facebook, whatsapp, maupun Instagram.

"Kadang asal posting sudah ada yang minat sendiri dan memesannya, karena merajut itu lama, biasanya saya menawarkan dulu ke konsumen apakah sabar untuk menunggu atau tidak. Jika ndak sabar ya ndak papa mungkin belum rezeki," Imbuhnya.

Harga kopiah buatannya tergantung ukuran, motif, dan jumlah warna. Untuk kopiah yang dua warna harga umumnya Rp60-80 ribu, dan Rp100 ribu untuk kopiah tiga warna. 

Untuk menyelesaikan satu kopiah, Rusli mengaku butuh waktu dua sampai tiga hari. Kendati demikian, jika ia tidak sedang mengajar sehari mampu menghasilkan satu kopiah. 

"Rata-rata 10 kopiah untuk per bulannya," katanya. 

Selama menggeluti dunia merajut, hambatan yang kerap dialami Rusli pada ukuran kopiah yang dipesaan konsumen. Resikonya jika salah hitungan untuk polanya, bisa gagal dan jelek hasilnya. Walaupun pola atasnya sudah sama, kadang kebawahnya berbeda karena hasil rajutan tangan tidak bisa disamakan dengan hasil ukuran mesin. 

"Omzet yang saya peroleh juga tergantung dari jumlah pesanan karena ini pekerjaan sampingan," jelasnya. 

Meskipun sampingan, Rusli mengaku menikmati pekerjannya sebagai perajut kopiah rumahan. Melalui aktifitasnya itulah, kegabutan yang sering dialaminya berkurang dan tetap produktif menghasilkan cuan.  

"Alhamdulillah, nilai jual dari rajutan kopiah bisa naik sedikit demi sedikit walaupun agak lama. Ya harus maklum juga, kita musuhnya masyarakat yang gimana kan ndak semua kelas menengah ke atas gitu," tutupnya. [Suci/Ali]