Reporter : Savira Wahda Sofyana

blokTuban.com - Dalam rangka menyambut Hari Pergerakan Perempuan di tanggal 22 Desember mendatang, KP Ronggolawe Kabupaten Tuban didukung oleh FPL mengadakan dialog publik dengan tema gotong royong pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di wilayah Jawa Timur pada Selasa (14/12/2021) melalui zoom meeting.

Dialog publik tersebut mengundang empat narasumber yakni Kompol Yashinta Ma’u, Kanit Renakta Distreskrimun Polda Jatim, Dr. Ninik Rahayu, selaku tenaga profesional Lemhanas RI, Gus Riza Shalahudin H, pengasuh Ponpes As-shomadyyah Tuban, dan Budi Wulandari, S.Psi, Konselor Psikologi Rifka Annisa Yogyakarta serta dipantik oleh Ina Irawati, Konsultan WCC Dian Mutiara Malang.

Dalam kegiatan tersebut dihadiri oleh sekitar 38 peserta dari beberapa aktivis perempuan yang ada di Jawa Timur. Kegiatan yang berlangsung sekitar 2.5 jam tersebut membahas berbagai macam sisi kekerasan seksual mulai dari sisi penegak hukum, psikologi, maupun dari sisi pendidikan berbasis agama.

"Jenis kekerasan itu ada berbagai macam seperti kekerasan terhadap istri, kekerasan dalam pacaran, kekerasan dalam keluarga, trafficking, pelecehan seksual kemudian ada permerkosaan," ucap Budi Wulandari,  salah satu pemateri.

Budi melanjutkan jika pelaku dari tindak kekerasan tersebut ada dua yaitu intimate partner atau non intimite partner yang artinya mereka mempunyai relasi ataupun tidak. Karena biasanya kejahatan seksual bisa dilakukan oleh siapa saja.

Pada kekerasan seksual dikatakan Budi bahwa ada dinamika kontruksi gender dalam intimite partner. Biasanya dinamika pelaku memiliki beberapa keyakinan bahwa korban berhak membuktikan rasa cintanya dengan mau diajak untuk melakukan hubungan seksual tersebut.

"Itu biasanya dilakukan oleh pelaku ketika awal melakukan bujuk rayu. Kemudian bagi perempuan ia memiliki persepsi bahwa ketika dia tidak memberikan hak tersebut kepada pasangannya, maka dia merasa tidak dianggap sebagai pacar," tuturnya.

Pada kenyataannya banyak sekali kasus yang terjadi bahwa segala bujuk rayu yang dilakukan adalah janji palsu. Sebaliknya perempuan tersebut akan memiliki berbagai kekhawatiran kepada dirinya ketika hal tersebut diketahui oleh orang lain.

Selain dinamika kontruksi gender perempuan berhijab tersebut juga membeberkan dinamika psikologis korban kejahatan seksual yang disebabkan oleh beberapa hal yaitu adanya integritas tubuh. Sehingga mengalami kekerasan seksual maka korban merasa syok yang mengakibatkan mati rasa, marah, bingung, takut, kesal, dan pada akhirnya korban hanya bisa diam.

"Terjadi penurunan harga diri, konsep diri, dan percaya diri karena perasaan-perasaan tersebut merasa kalau itu tidak aman. Dia tidak bisa bercerita kesiapa pun karena takut tidak ada orang yang percaya akan sesuatu hal yang terjadi pada dirinya," ujar konselor psikologi Rifka Annisa tersebut.

Korban merasa tidak ada yang percaya dan mendengarnya. Akibatnya hal tersebut dapat menimbulkan kerentanan-kerentanan lagi pada korban. Maka terjadilah dampak-dampak yang dialami olehnya, seperti kesehatan reproduksi karena adanya pemaksaan, kehamilan tidak dikehendaki, aborsi, HIV AIDS dan lain sebagainya.

Selain itu dampak yang dialami oleh korban yang lainnya adalah gangguan psikologis yang membuat korban merasa stress, marah, takut, depresi, trauma sehingga lebih memilih untuk diam dan memendamnya seorang diri.

"Gangguan psikologis ini adalah dampak yang paling berat dirasakan oleh korban. Selain itu, mengganggu kehidupan sosialnya pasca peristiwa tidak hanya murung saja, tetapi bisa jadi makin hiperaktif karena setiap orang punya respon berbeda," ucapnya.

Tidak hanya itu saja dampak lainnya ada pada gangguan relasi personal atau fungsi seksual di waktu yang akan datang dan juga berpotensi menjadi korban atau pelaku dimasa selanjutnya. 

"Jika dia tidak menyelesaikan secara psikologis maka bisa jadi dia akan menjadi korban selanjutnya atau justru menjadi pelaku di waktu mendatang," katanya.

Dalam tindak kekerasan seksual setidaknya ada empat hak yang didapatkan oleh korban seperti kebenaran, keadilan, jaminan tidak berulang, dan juga pemulihan terhadap korban. "Secara keadilan adalah mengembalikan pada situasi semula yaitu beri dukungan dengan mempermudah akses hukum supaya dia bisa berproses hukum untuk mencari keadilan tersebut," tutupnya. [sav/ono]