Satya WY Paparkan Soal Transisi Energi di Indonesia pada Pacific Energy Summit

Reporter: Khoirul Huda

blokTuban.com - Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Satya Widya Yudha turut berpartisipasi dalam NBR’s 2021 Pacific Energy Summit. Dalam acara ini, Satya memaparkan tentang teknologi rendah karbon pada energi fosil diperlukan dalam transisi energi di Indonesia.  

Menurut dia, dalam keterangannya di Jakarta, Jumat, dalam proses transisi energi ke energi baru dan terbarukan (EBT), Indonesia tidak bisa sepenuhnya meninggalkan penggunaan energi fosil.

"Indonesia masih tetap memakai energi fosil, namun secara perlahan penggunaannya dikurangi. Penggunaan energi fosil itu pun dengan catatan harus memakai teknologi untuk mengurangi emisi karbonnya. Dengan demikian, Indonesia tetap memenuhi komitmen Paris Agreement," katanya saat menjadi pembicara NBR’s 2021 Pacific Energy Summit.

Dialog dengan tema "US-Indonesia Cooperation: Meeting Energy and Sustainability Goals" diselenggarakan The National Bureau of Asian Research (NBR) secara virual, Kamis (17/6/2021).

Menurut Satya, saat ini, Indonesia memang belum dapat melepaskan ketergantungan terhadap energi fosil dan sebagian dari energi tersebut harus diimpor dari negara lain.

"Untuk itu, ketergantungan terhadap energi fosil harus dikurangi dengan upaya mengoptimalkan pemanfaatan sumber energi lainnya, khususnya energi baru terbarukan, serta dengan meningkatkan kemampuan untuk penggunaan teknologi energi yang efisien," katanya

Dalam dialog itu, Satya menyampaikan visi pengelolaan energi nasional ialah terwujudnya pengelolaan energi yang berkeadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan dengan memprioritaskan pengembangan energi terbarukan dan konservasi energi dalam rangka mewujudkan kemandirian dan ketahanan energi nasional.

Serta, merubah paradigma bahwa energi bukan sebagai sumber devisa negara, melainkan sebagai modal pembangunan. 

Satya juga mengatakan saat ini Pemerintah Indonesia telah memiliki Peraturan Pemerintah No 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Peraturan Presiden No.22 Tahun 2017 tentang RUEN.

​​​​​​​Dalam KEN dan RUEN itu terdapat program dan strategi pengembangan energi baru terbarukan sampai dengan 2050.

Beberapa strategi Pemerintah Indonesia dalam transisi energi, lanjutnya, ialah memaksimalkan pemanfaatan energi baru terbarukan sebesar 23 persen pada 2025 dan 31 persen pada 2050 serta mendorong pemakaian kendaraan listrik.

Selain itu, komitmen Indonesia untuk menjaga target Paris Agreement tidak melebihi dua derajat Celsius serta mengupayakan menjadi 1,5 derajat Celsius.

Pemerintah Indonesia telah menerbitkan UU No 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement yang menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sesuai Nationally Determined Contributions/NDC pada 2030, yaitu 29 persen dari business as usual (BaU) dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dari BaU dengan bantuan internasional.

Satya juga mengatakan beberapa kerja sama yang dapat dilakukan antara AS dan Indonesia antara lain mempromosikan energi baru dan terbarukan melalui kerja sama penelitian, pilot project, dan pengembangan project energi laut, hidrogen, fuel ammonia, dan teknologi CCS/CCUS, memperbaiki dan menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi melalui beberapa kebijakan baru dan karbon pricing, serta mempromosikan konservasi energi dan efisiensi energi di semua sektor melalui transfer teknologi.

Sementara itu, saat membuka acara, Roy D Kamphausen, President The National Bureau of Asian Research, menggarisbawahi perlunya kerja sama erat yang selama ini telah terjalin antara AS dan Indonesia di bidang energi.

Dalam kerja sama itu, AS bisa berperan untuk menyukseskan transisi energi yang akan dijalani Indonesia, terutama implementasi teknologi rendah karbon untuk energi fosil di Indonesia seperti carbon capture utilization and storage (CCUS).

Selain dihadiri para praktisi, dialog juga dihadiri perwakilan pemerintah, parlemen dari AS dan akedemisi dari Lembaga Kajian Energi Stanford University. [lis]