Satya Widya Yudha : Ini Upaya DEN Membantu Pembangunan Rendah Karbon Industri Hulu Migas

Reporter : Sri Wiyono

blokTuban.com -  Pemerintah dinilai telah memiliki strategi unuk melakukan transisi energi untuk mengurang emisi karbon seperti yang tertuang dalam ratifikasi Paris Agreement.

Penilaian itu disampaikan anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Satya Widya Yudha. 

Jika melihat dari Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia memiliki kontribusi penurunan emisi di sektor energi dengan batas waktu 2030 hanya 38 persen. Karena sektor yang lain mulai dari waste, industri, agriculture, dan juga forest jika dijumlahkan mencapai 62 persen.

“Target penurunan emisi di sektor energi dalam NDC hanya sekitar 38 persen. Meliputi berbagai sektor, di antaranya, transportasi; pembangkit listrik; industri migas,” ujar Satya dalam sebunar bertajuk “Upaya KKKS Mengurangi Emisi Karbon” yang diselenggarakan oleh Ruang Energi, yang disiarkan melalui channel YouTube Ruang Energi, (16/07/2021).

Target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebagaimana komitmen sektor energi yakni sebesar 314 – 398 Juta Ton Co2 pada tahun 2030. Melalui pengembangan energi baru terbarukan (EBT), pelaksanaan efisiensi energi, dan konservasi energi, serta penerapan teknologi energi bersih.

Ia merinci target penurunan emisi GRK di sektor energi melalui pengembangan EBT sebesar 170.42 Juta Ton CO2. Kemudian untuk energi efisiensi target penurunan emisi mencapai 96.33 Juta Ton CO2.

Selanjutnya, Clean Power (energi bersih) sebesar 31.80 Juta Ton CO2; fuel switching sebesar 10.02 Juta Ton CO2, dan post mining reclamation (perubahan lahan) sebesar 5.46 Juta Ton CO2. Sehingga jika dikalkulasikan sebesar 314 Juta Ton CO2.

“Kalau ini kita jalani berarti target 29 persen tahun 2039 bisa dicapai tentunya, tetapi Renewable kalau kita lihat hari ini di 2020 EBT kita 11,2 persen itu primer, kalau jadi energi final sebesar 14 persen, dari target 28 persen di tahun 2030,” jelas Satya.

Satya mengatakan, di 2020 Indonesia berhasil memberikan kontribusi penurunan emisi GRK sebesar 64.36 Juta Ton CO2 dari target 314 Juta Ton CO2 di 2030. Rencana aksinya adalah mulai dari meningkatkan Pembangkit Listrik yang bersumber dari EBT.

Juga efisiensi energi, menggunakan Bahan Bakar Nabati (BBN), PLTU Cofiring Biomassa (subtitusi dari batubara), pemanfaatan kendaraan listrik, transisi ke green fuel dan teknologi energi bersih, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen – 5.5 persen per tahun.

“Ini menjadi faktor yang utama karena Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) di design dengan pertumbuhan ekonomi 7 – 8 persen per tahun. Otomatis demand akan bertambah jika dibanding pertumbuhan ekonominya dibawah 5 – 5.5 persen pertahun,” tambahnya.

Ia mengungkapkan, realisasi penurunan emisi GRK di 2020 melebihi target yang ditetapkan. Di mana Pemerintah menarget di 2020 penurunan emisi GRK sebesar 58 Juta Ton CO2, sementara realisasinya sekitar 64 Juta Ton CO2.

Akan tetapi, dalam waktu 10 tahun ke depan Indonesia harus mengurangi emisi sebesar 230 Juta Ton CO2, untuk mencapai target 314 Juta Ton CO2 di tahun 2030.

“Ini menjadi PR ke depan (mengurangi emisi karbon sebesar 230 Juta Ton CO2),” urai dia.

Terkait dengan RUEN, jelas Satya, terdapat peraturan-peraturan yang ikut melengkapi untuk tercapainya target RUEN. 

Salah satunya yakni Rancangan Peraturan Presiden (R Perpres) Harga EBT, karena disinyalir saat ini EBT tidak bisa berkompetisi dengan energi fosil, terlebih saat harga minyak di bawah US$ 40 per barel, untuk itu perlu ada satu stimulus untuk terkait harga EBT.

“Sampai hari ini Perpres mengenai Harga EBT belum keluar dan lagi ada Rancangan Perpres tentang Nilai Ekonomi Karbon. Jadi nanti kawan-kawan di Upstream juga harus mempelajari tentang Perpres Nilai Ekonomi Karbon tersebut, karena kita bisa tahu bagaimana mengeluarkan emisi dan risikonya, apakah emisi tersebut bisa kita trade (perdagangkan) di dalam industri migas nasional,” paparnya.

Selain itu, saat ini juga ada Undang-Undang yang baru mengenai KUP Tata Cara Perpajakan Nasional yang tengah didiskusikan. Di mana dalam UU tersebut memasukkan carbon pricing di dalamnya.

“Saya beberapa kali sampaikan bahwa carbon pricing itu seperti “plouters pay”, kalau kita mengeluarkan emisi karbon pada batas tertentu, dan kalau dia diatas dari ambang batas maka pajaknya. Dengan demikian industri dapat menekan sedemikian rupa sehingga tidak keluar pada ambang batas, tentunya ini akan menjadi permasalahan sendiri di dalam industri migas kita,” tuturnya.

Dalam PP nomor 79 tahun 2014, DEN bertujuan untuk terwujudnya pengelolaan energi yang berkeadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan dalam rangka mewujudkan kemandirian energi nasional dan ketahanan energi nasional yang berlandaskan kedaulatan energi dan nilai ekonomi yang berkeadilan.

Ketahanan Nasional Nasional, lanjut dia,  adalah kondisi yang menjamin ketersediaan energi dengan memanfaatkan dan memiliki akses masyarakat terhadap energi dengan harga yang terjangkau dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan perlindungan lingkungan hidup.

Kemudian, kemandirian energi nasional merupakan jaminan ketersediaan energi dengan memanfaatkan sumber-sumber potensial dalam negeri dengan sebaik-baiknya.

Selanjutnya, Kedaulatan energi merupakan hak negara dan bangsa untuk secara mendiri menentukan kebijakan pengelolaan energi guna mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi.

Serta, nilai ekonomi yang berkeadilan adalah nilai atau biaya yang mencerminkan biaya produksi energi, termasuk biaya lingkungan dan biaya konservasi serta manfaat yang dinilai berdasarkan kapasitas masyarakat dan ditentukan oleh pemerintah.

“Terdapat perubahan paradigma baru, saat ini energi bukan lagi sebagai komoditas melainkan sebagai agen daripada perubahan (modal pembangunan),” ungkapnya.

Satya menegaskan kembali, pemanfaatan CO2 di dalam industri migas sangat penting. Jika dilihat emisi gas buang CO2 dari hasil produksi migas sangat tinggi, maka dengan pengelolaan emisi tersebut dapat dijadikan alat produksi minyak melalui mekanisme Enhanced Oil Recovery (EOR).

Proyek CCUS (Carbon, Capture, Ulitization and Storage) menurut dia, bisa diintegrasikan dengan teknologi EOR di beberapa lapangan Migas seperi Lapangan Sukowati, Lapangan Limau Biru, dan Blok Tangguh. Teknologi CCUS yang meng-absorb carbon tadi bisa di monetisasi.

‘’Teknologi CCUS ini merupakan solusi untuk mengurangi emisi karbon sesuai target NDC sektor energi sebesar 38 persen hingga 2030, dan dengan teknologi CCUS ini juga dapat meningkatkan produksi migas nasional melalui teknologi EOR,’’ tandasnya.[ono]

Â