Jumat (27/12/2019), saya dilantik menjadi Kepala Pusat Data Statistik Kriminal dan Teknologi Informasi di Kejaksaan Agung (Kejagung). Sengaja saya menantang diri saya sendiri, mampukah saya membuat gebrakan dan lompatan IT di Kejagung?
Oleh: Didik Farkhan Alisyahdi, SH, MH*
Kejaksaan sebenarnya sudah lama sadar IT. Sudah lama berusaha melakukan digitalisasi data. Sudah lama membangun sistem manajemen informasi.
Bahkan konon, Kejaksaan tergolong instansi gelombang pertama yang sudah berpikir ke depan. Menyongsong era digitalisasi data.
Tengok saja, sejak tahun 1993, Kejaksaan sudah "duluan" meluncurkan Sistem Manajemen Informasi Kejaksaan RI (Simkari). Saat itu instansi penegak hukum lain, seperti Mahkamah Agung atau Kepolisian belum meluncurkan sistem manajemen informasi sejenis.
Perjalanan Simkari memang belum sempurna 100%. Terutama entri data penanganan perkara belum maksimal. Penyebabnya, bisnis proses di Simkari masih memungkinkan entri data "menyusul".
Artinya, di Simkari, penanganan perkara oleh Jaksa sudah selesai, entri data bisa belakangan. Akibatnya banyak Jaksa "nggampangno (bahasa Jawa)" alias menunda-nunda.
Ujungnya banyak yang telat entri. Bahkan banyak yang akhirnya tidak entri. Atau malas entri. Hasilnya data penanganan perkara di Simkari belum maksimal.
Padahal dengan Simkari, Kejaksaan diharapkan dapat menampilkan data perkara yang lengkap dan komprehensif. Sehingga perencanaan kerja dan proses pengambilan keputusan para pimpinan dapat dilakukan dengan cepat dan efektif.
Harapan lain Simkari agar bisa online. Sehingga masyarakat juga dapat memantau perkembangan perkara dengan lebih mudah.
Pembenahan dan peningkatkan sistem dalam Simkari terus dilakukan. Maka dalam perkembangan ada proyek Simkari jilid 1, Simkari jilid 2 dan seterusnya.
Ada yang sukses dalam Simkari. Terutama untuk data informasi kepegawaian. Saat ini di Simkari-lah yang jadi acuan pegawai untuk melihat data pegawai.
Mulai dari prestasi, hukuman disiplin, riwayat kerja pegawai ada. Lengkap termasuk foto terkini. Lama pegawai di suatu tempat tugas termonitor. Satu lagi dalam Simkari, berita mutasi, Simkarilah jadi acuannya.
Hanya sedikit kurang berhasilnya Simkari adalah dalam informasi penanganan perkara. Ini mendorong kebijakan baru. Khusus untuk data penanganan perkara dibuat sistem tersendiri. Maka diluncurkan Case Management System (CMS) di tahun 2018.
CMS inilah yang digadang-gadang dipakai Kejaksaan untuk proyek integrasi data antar penegak hukum. Lewat Sistem Penanganan Perkara Terpadu berbasis Teknologi Informasi (SPPT TI) yang dibuat Menko Polhukam. Mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lapas.
Memang sampai akhir 2019 nasib CMS belum 100% sempurna. Prosentase entri data belum maksimal. Maklum distribusi perangkatnya baru tuntas menjelang akhir 2019. Ada 465 unit kerja se-Indonesia yang sudah terpasang "perkakas" CMS. Mulai Kejari hingga Kejati sudah terpasang.
Kini, di setiap Kejari sudah mendapat 5 (lima) unit komputer. Di Kejati ada 7 (tujuh) komputer. Di semua unit kerja itu juga sudah mendapat server lokal. Jadi sudah sangat mudah bila melakukan entri data.
Lalu untuk tenaga operator Daskrimti juga sudah "mendidik" 1.200 pegawai selama tahun 2019. Seluruh Kejari dan Kejati sudah ada utusannya.
Itu semua yang sudah diperjuangan Kapus Daskrimti sebelum saya, Bang Andi Herman. Melengkapi alat dan jaringannya serta menyiapkan dan mendidik tenaga operator.
Memang diujung 2019, setelah alat terpasang data yang masuk belum juga membaik. Cenderung stagnan. Istilah Bang Andi Herman, ada trend entri kenceng di depan, loyo di tengah dan di akhir memble.
"Artinya saat tahap SPDP banyak entri data. Termasuk P-16 penunjukkan Jaksa Peneliti. Namun mulai tahap 2, penyerahan tersangka dan barang bukti menurun entrinya. Bahkan tahap eksekusi banyak yang nol alias nihil entri," ujar Bang Andi Herman.
Ironisnya, entri CMS loyo, ada beberapa Kejari yang membuat aplikasi sendiri. Entry data di aplikasi lain. Kejari Sidoarjo misalnya. Pernah Plt. Kajari Ambarwati mengaku bingung karena petugasnya harus entri penanganan perkara di empat sistem.
Pertama entri ke Simkari, lalu kedua entri ke CMS, dan ketiga aplikasi mandiri mereka. Lalu keempat entri di aplikasi buatan Aspidum. Kelihatan ribet ya. Lalu apakah ada solusinya?
Harus Dipaksa
Sehari sebelum dilantik, Kamis (26/12/2019), saya diajak Bang Andi Herman dan tim IT Kejagung ke Mahkamah Agung (MA). Untuk benchmarking tentang sistem IT di MA yang disebut-sebut sukses itu.
Di MA nama sistem informasinya adalah SIPP. Kepanjangan dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara. Dalam SIPP ini entri data hampir 100%.
Lalu, bicara masalah sistem sebenarnya tidak beda jauh dengan Kejaksaan. Hanya beda di MA basis Website, di Kejaksaan pakai Virtual Privat Network (VPN). Selebihnya hampir sama. Lalu apa bedanya?
Ternyata di MA berhasil karena ada pemaksaan. Kata Kepala Biro Hukum, Humas dan Teknologi Informasi Mahkamah Agung Dr. Abdullah, Ketua MA selalu warning, Hakim yang tidak mau belajar IT silahkan pensiun dini.
"Pemaksaan berlanjut, pimpinan unit yang entri data perkaranya kurang dari 80% direposisi. Berarti dia dianggap tidak bisa memimpin," jelas Abdullah sambil menerangkan sudah ada beberapa Ketua PN yang dicopot karena kurang entri data.
Belajar dari MA, sebenarnya di Kejaksaan bila ingin entri data 100% tampaknya juga harus dilakukan pemaksaan. Ada pemikiran untuk kenaikan pangkat Jaksa, agar angka kredit diambil dari data CMS. Sehingga bila Jaksa tidak entri, tidak bisa naik pangkat.
Lalu ada usul juga sebagaimana di MA, pimpinan unit di Kejaksaan yang cuek, sehingga entri datanya kurang juga perlu dievaluasi.
Apakah pimpinan kita setuju dengan usul-usul itu? Tunggu tulisan selanjutnya. Salam "Entri...Entri...Entri.. Asyik". [Kang DF]
*Kapus Daskrimti Kejaksaan Agung