Reporter: Sri Wiyono
blokTuban.com – Selama dua hari, Sabtu-Minggu tanggal 10-11 Februari 2018, Syuriah Wilayah Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur menggelar bahtsul masail mengenai beberapa persoalan kekinian.
Kegiatan yang digelar di pondok pesantren (ponpes) Sunan Bejagung, Desa Bejagung, Kecamatan Semanding itu diikuti oleh 300 ulama dari utusan pengurus cabang (PC) NU dan tim dari pondok pesantren se Jawa Timur. Bahtsul masail dibuka Sabtu jam 14.30 WIB dan ditutup hari Minggu jam 13.00 WIB.
Ketua Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Tuban M.Arifuddin M.Pd.I mengatakan, ada beberapa hal yang dibahas dalam kegiatan itu dan sudah menghasilkan keputusan.
Dua hal yang berhasil dibahas dan menelurkan keputusan itu adalah persoalan maudhu’iyyah atau tematik yang dalam hal ini membahas soal jihad dalam konteks negara bangsa di era modern. Lalu bab waqiiyyah atau persoalan-persoalan faktual. Bab ini membahas soal uang virtual atau uang elektronik, bitcoin dan lain sebagainya.
Jihad dalam konteks negara bangsa di era modern, mengutip pendapat KH. Maimun Zubair, pengasuh ponpes Sarang, Rembang Jawa Tengah:
“Masa sekarang sudah tidak ada khilafah. Tidak ada negara Islam. Semuanya negara nasional. Pada masa sekarang kalau bangsanya tidak dijunjung maka akan runtuh,”
Karena itu, Islam tidak anti terhadap eksistensi negara bangsa sebagaimana yang berkembang dewasa kini. Islam menempatkan negara bangsa sebagai bagian penting sebagai wasilah untuk mencapai kemaslahatan. Berkaitan hal ini Syaikh Wahbah az-Zuhaili menyatakan:
فَإِنَّ الْإِسْلَامَ لَا يَأْبَى الْاِعْتِرَافَ بِالتَّنْظِيمِ الدَّوْلِيِّ الْقَائِمِ عَلَى أَسَاسِ الْحُدُودِ الْجُغْرَافِيَّةِ، لِأَنَّ ذَلِكَ مِنَ الْوَسَائِلِ التَّنْظِيمِيَّةِ.
“Maka sungguh Islam tidak enggan mengakui sistem kenegaraan yang eksis berdasarkan batas-batas geografis, sebab itu bagian dari sistem yang menjadi wasilah (untuk mencapai kemaslahatan manusia).”
Namun, prinsip ini tidak menafikan pembelaan terhadap kaum muslimin yang terzalimi di manapun berada. Akan tetapi perlu dipahami, bahwa komando perang militer hanya merupakan kewenangan pemimpin pemerintahan dan rakyat harus menaati kebijakannya. Al-Muwaffiq Ibn Qudamah al-Maqdisi (541-620 H/1146-1223 M) menegaskan:
وَأَمْرُ الْجِهَادِ مَوْكُولٌ إِلَى الْإِمَامِ وَاجْتِهَادِهِ وَيَلْزَمُ الرَّعِيَّةَ طَاعَتُهُ فِيمَا يَرَاهُ مِنْ ذَلِكَ.
“Urusan jihad dipasrahkan kepada pemimpin negara dan ijtihadnya, dan rakyat wajib menaati kebijakannya dalam urusan tersebut.”
Perang militer termasuk bagian dari hukum-hukum kenegaraan. Tidak ada perbedaan pendapat ulama bahwa siasat perang, deklarasi, gencatan senjata, analisis straregi dan dampaknya, semuanya masuk dalam hukum kenegaraan. Rakyat, siapapun itu tidak boleh secara ilegal tanpa izin dan persetujuan pemimpin negara ikut campur atas kebijakannya. Rakyat, siapapun itu, tidak boleh memerangi orang yang berbeda agama hanya berdasarkan menuruti hawa nafsu.
Kewajiban jihad dalam konteks negara bangsa juga sudah terpenuhi dengan kebijakan negara dalam menjaga kedaulatan, menjaga tapal-tapal perbatasan dan memperkuat struktur kekuatan militer dan semisalnya. Bahkan sebenarnya, kewajiban jihad militer adalah kewajiban yang bersifat sebagai perantara (wasilah), bukan sebagai tujuan senyatanya. Karena maksud utamanya adalah menyampaikan hidayah agama.
Dari sini menjadi jelas, pada hakikatnya karakter dasar Islam adalah agama damai dan selalu mengutamakan upaya-upaya kedamaian sebisa mungkin. Perang merupakan solusi terakhir (tindakan darurat) yang dilakukan untuk menjaga perdamaian dan kemaslahatan umat manusia.
Perang merupakan strategi taktis dan hanya dilakukan dalam kondisi darurat untuk menjaga kelestarian umat manusia, mencegah kejahatan dan menolak kezaliman di muka bumi. Demikianlah hakikat jihad sebenarnya dalam Islam yang sesuai dengan nash-nash fuqaha dan selaras dengan hadits Nabi Saw:
لاَ تَتَمَنَّوْا لِقَاءَ العَدُوِّ وَاسْأَلُوا اللهَ العَافِيَةَ، فَإذَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاصْبِرُوا (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
“Janganlah kalian mengharap bertemu musuh dan mintalah keselamatan kepada Allah. Namun demikian, bila kalian menemuinya maka bersabarlah.” (Muttafaq ‘Alaih). [ono]