Reporter: Edy Purnomo
blokTuban.com - Setelah tiga tahun dilanda krisis penurunan harga minyak dunia, industri hulu migas mulai menggeliat kembali. Investasi di sektor hulu tahun 2017 mulai naik. Di Timur Tengah investasi naik 4%, Rusia naik 6% dan di Amerika Serikat bahkan naik hingga 53 persen.
Tren kenaikan investasi itu belum diikuti di negara-negara Amerika Latin yang masih minus 4%, Afrika minus 9%. Di Indonesia nilai Investasi turun lebih buruk lagi. Jika tahun 2014 nilai Investassi mencapai Rp 275,4 triliun, tahun 2015 tinggal Rp 206,6 tiliun (minus 25%) dan tahun 2016 menjadi Rp 151 triliun (turun 26,8%).
Penurunan yang lebih parah pada sisi eksplorasi. Pada tahun 2014 masih bisa mencapai Rp 14,85 triliun, tetapi tahun 2015 tinggal Rp 6,75 triliun (turun 54,5%) dan 2016 tinggal Rp 1,35 trilun (turun 80%).
Pada tahun 2017 ini, nilai investasi termasuk di sisi eksplorasi diperkirakan akan kembali turun. Terlebih karena beberapa investor bahkan mengembalikan blok migas yang mereka kelola.
Menyikapi hal itu, pemerintah diminta membenahi iklim investasi di lewat menawarkan bagi hasil pengembalian investasi yang bersaing bagi investor, menjaga komitmen untuk menghargai kontrak yang sudah disepakati, persetujuan pemerintah yang tepat waktu dan menyelaraskan kebijakan antarinstansi pemerintah serta antara pemerintah pusat dan daerah.
Itulah antara lain pemikiran yang berkembang dalam Rapat Berkala Kehumasan SKK Migas – KKKS Jabanusa yang dihadiri Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Satya Widya Yudha, Kepala Divisi Teknologi dan Pengembangan Lapangan SKK Migas Benny Lubiantara, Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) Marjolijn Wajong.
Dalam acara yang dibuka Kepala Perwakilan SKK Migas Jabanusa ini juga tampil memberikan materi, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto dan dan Kepala Pelayanan Perizinan Terpadu Provinsi Jawa Timur, Ahmad Basofi. Dalam kegiatan yang berlangsung sejak 1 Agustus itu juga dihadiri Bupati Sidoarjo Saiful Illah, Bupati Rembang Abdul Hafidz dan Wakil Bupati Sumenep Achmad Fauzi dan sekitar 150 undangan lainnya.
“Iklim investasi di Indonesia memang sudah mengalami perbaikan. Berdasar data Bank Dunia, pada tahun 2017 Indonesia berada di peringkat 91, naik dibanding 2016 di peringkat 106. Tetapi khusus di sektor Migas, Survey Fraser Institute Global Petroleum masih menempatkan Indonesia pada 2016 di peringkat 79 dari 96 negara pada tantangan investasi,” tegas Satya Widya Yudha ditemui seusai acara lokakarya yang berlangsung di Hotel Tentrem, Yogyakarta, Rabu (2/8/2017) petang.
Karena itu, lanjut Satya Yudha, draft RUU Migas yang tanggal terdiri dari 22 bab dan 97 pasal berupaya mempempertegas pembagian fungsi regulator, fungsi pelaksanaan pengawasan dan fungsi operator. Mengubah liberalisasi murni ke liberalisasi berwawasan kebangsaan sehingga dapat menuju kemandirian energi.
“Lebih dari itu harus memberikan kepastian hukum dan memperbaiki iklim investasi yang lebih baik,” katanya.
Sementara itu, Kepala Divisi Teknologi dan Pengembangan Lapangan SKK Migas Benny Lubiantara melihat ada tiga isu utama di sektor migas Huklu Migas yakni, kepastian peratuan perundang undangan, meningkatnya ego sektoral dan sikap pola pikir (mindset yang belum berubah).
“Masih banyak yang berpikiran Indonesia masih kaya minyak. Padahal kita ini sekarang importir minyak. Cadangan dan produksi migas terus turun, sementara kebutuhan nasional terus meningkat. Kita perlu membuat kebijakan yang berorientasi pada program jangka panjang yang bisa meningkatkan produksi,” katanya.
Benny Lubiantara melihat Indonesia masih berpotensi untuk menarik dan mengundang investor. Solusinya, salah satunya adalah tata kelola hulu migas di Indonesia.
“Kita butuh tata kelola visioner yang mampu meningkatkan cadangan migas dan ketahanan energi,” tegasnya.
Butuh Sinergi
Kepala Perwakilan SKK Migas Jabanusa Ali Masyhar melihat perlunya sinergi antarpemangku kepentingan agar kegiatan industri hulu migas bisa berjalan lancar, khususnya yang ada di wilayah Jabanusa.
“Tantangan Industri Hulu Migas di Jabanusa merupakan gambaran yang dihadapi hulu migas secara nasional. Memerlukan kerja keras dan dukungan dari semua pihak guna mengatasi tantangan yang ada serta mendorong kelancaran dan percepatan kegiatan hulu migas. ” Tutur Ali Mashyar.
Dijelaskan, produksi minyak bumi di wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara mencapai 30 persen dari total produksi migas nasional yang sekitar 800 ribu barel minyak per hari.
“Peran wilayah ini cukup signifikan dalam kestabilan produksi minyak nasional, Ini tercapai karena kerja keras dan sinergi antara Pemerintah Pusat, Pemda, Masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya,” kata Ali Masyhar.
Salah satu kontraktor kontrak kerja sama dengan produksi terbesar di wilayah ini adalah Exxon Mobil Cepu Limited (EMCL). Per Juli 2017, rata-rata produksinya lebih dari 199 ribu barel per hari. Di wilayah ini juga baru beroperasi lapangan BD dengan operator HCML yang berlokasi di perairan Sampang dengan produksi sebesar 6.600 barel per hari dan 110 juta standar kaki kubik gas bumi per hari.
Di sisi lain, dia menjelaskan, tantangan kegiatan hulu migas di wilayah ini yang tidak mudah. Misalnya, rencana pengeboran pengembangan Lapindo Brantas yang belum berjalan dikarenakan kondisi non teknis. “Membangun sinergitas bersama semua pemangku kepentingan menjadi kunci untuk kelancaran operasional industri hulu migas,” kata Ali.
Dia menjelaskan, lapangan yang berproduksi di Indonesia, sebagian besar lapangan tua yang secara alamiah menurun produksinya. Sedangkan saat ini belum ditemukan cadangan migas yang besar, sehingga kegiatan eksplorasi yang masif atau pencarian cadangan migas baru mutlak harus dilakukan.
Tingginya tingkat resiko eksplorasi dari segi biaya, ketidakpastian dan lamanya waktu menyebabkan kegiatan ini belum terlihat ada peningkatan yang signifikan. Merosotnya harga minyak dunia berpengaruh terhadap menurunnya iklim investasi karena selisih biaya operasi dan harga jual minyak mentah tipis atau bahkan impas. Selain dipengaruhi faktor harga minyak dunia, kondisi ini disebabkan, aspek finansial investor serta aspek non teknis, seperti penyiapan lahan, permasalahan sosial serta regulasi pusat dan daerah.
“Perlu ada dorongan dari seluruh pihak agar investasi migas kembali membaik,” kata Ali Masyhar. [pur/ito]