Surau Legendaris

Oleh: Muhammad A. Qohhar

blokTuban.com - Sepi. Padahal jam telah menunjukkan pukul 17.15 WIB. Waktu berbuka kurang 10-an menit. Biasanya, saat pukul 17.00 surau atau musala di tepi bengawan itu selalu telah ramai orang untuk sekadar membincang keagamaan. Terutama soal fiqih-fiqih ringan. Tetapi kenapa sekarang sepi?

Dimana Kang Samin? Jebolan pondok pesantren yang dipakai rujukan warga ucapannya. Terus dimana warga lain? Apakah nanti tidak ada takjil untuk berbuka?

Kang Sabar mulai gelisah. Ia tak henti-hentinya memandangi jam dinding surau yang kusam. Harusnya belakang jarum jam kertas tempat angka tertulis warnanya putih, namun telah berubah kekuning-kuningan. Sedangka angka telah terhapus sebagian bentuk tubuh tulisannya.

"Kang Sabar, kamu harus lebih sabar. Namamu saja sudah Sabar." Kang Sabar termenung sejak.

Dari arah depan gang sebelah, Kang Samin tampak mempercepat langkah dengan tergopoh-gopoh. Tidak ingin terbelit sarung, Kang Samin melipat sedikit ujung kain tersebut untuk dipegang. Baju koko abu-abu kusam tersampir di pundak, dengan ia hanya memakai singklet putih dan kopiah warna serupa.

"Kok lama dimana saja kang. Saya tunggu sudah 15 menitan kok tidak datang-datang," tanya Kang Sabar sambil menggerutu.

"Lha dalahh, orang kok tidak sabaran. Ada masalah dengan perut ini, kelihatannya saat sahur kebanyakan sambal," jawab Kang Samin sambil langsung menuju ke tempat wudlu.

Namanya saja surau legedaris, jadi sudah sangat tua. Bentuk surau posisinya tidak tegak berdiri lagi. Empat tiang penyangga terbuat dari kayu glugu mulai berlubang dan keropos. Dinding terbuat dari anyaman bambu atau gedek juga bolong-bolong. Sedangkan lantai geladak terbuat dari kayu papan hasil swadaya umat Muslim zaman dulu juga telah banyak yang pecah dan patah.

"Ayo, salat sunah dulu Sabar. Entar baru kita berdiskusi keagamaan."

"Saya sudah Kang tadi, kamu saja segera. Karena, ada enam orang yang sudah menunggu untuk diberi pencerahan. Kang Sabar menjawab dengan muka masam dan menunu teras surau.

Sekitar lima menit Kang Samin berada di dalam surau berukuran 5x5 meter tersebut. Sedangkan teras surau kurang lebih 5x2,5 meter ukurannya. Gelak tawa terkadang terdengar riuh rendah dari teras surau, ketika ada seorang jemaah yang bergurau dan mumbully temannya.

"Kang, ingat masa kecil kita ketika Ramadan sepert ini. Lantai musala yang merupakan gladak ini pasti penuh dengan coretan arang atau batu kapur tulis," ucap Kang Sabar.

Sebab, saat itu anak-anak bisa dipastikan ngabuburit dengan bermaian macanan, ceng-cengan, dakon, ular tangga, dan lain-lain. Arena dibuat dengan memanfaatkan lantai surau dengan cara digaris dan bahkan sampai dilubangi. Ketika sore hari, terkadang sampai ada belasan anak yang bermain sampai buka puasa tiba.

"Gimana, sudah siap kah? Apakah ada yang ditanyakan? Atau gita bersiap-siap buka puasa?" celetuk Kang Samin dari balik pintu surau dengan suara khas, derit pentu saat dibuka.

"Ngak ada Kang kelihatannya, sudah akan Magrib juga, nanggung. Besok pagi saja setelah salat Subuh di tepi Bengawan Solo seperti biasanya," jelas Kang Sabar.

Kang Samin tersenyum lega. Namun, sebelum mengajak persiapan berbuka puasa dengan teh hangat dan takjil ketela rebus, Kang Samin mewanti-wanti kepada jemaah agar tetap bisa meramaikan surau. Apapun kegiatan positif bisa dilakukan di surau legendaris tersebut. Karena, semakin lama generasi muda sudah melupakan surau untuk tempat beribadah lima waktu. Anak-anak sekarang lebih banyak bermain di tempat-tempat hiburan dan keramaian, semisal alun-alun.

"Kalau dulu main kita kan di musala, jadi ketika memasuki adzan langsung berebut memegang pengeras pertama. Selain itu juga tidak pernah meninggalkan jamaah salat di surau," lanjut Kang Samin mengingatkan.

Mendengar perkataan Kang Samin, sontak semua berucar, "Iya Kang, benar." [mad]

*Penulis: reporter blokMedia Group (blokBojonegoro.com dan blokTuban.com)