Oleh: Nanang Fahrudin
Siang belum penuh, tapi mendung sudah meenggelayut di langit. Musim hujan menjadikan jalan berlubang dipenuhi air. Di sejumlah tempat, jalan rusak itu dinamainya “jeglongan sewu”. Masak jumlahnya seribu ya. Tapi ada benarnya juga karena jalan rusak memang parah.
Kampung pun becek dan tidak karuan. Padahal, kampung ini dikenal cukup maju maju. Lha wong banyak penghargaan yang diperoleh. Seperti sebutan Kampung Ramah Anak, Kampung Bersih, dan Kampung Teladan. Kampung sini juga kaya raya, karena menghasilkan minyak dan gas bumi. Jos to?
“Mas Guru kok belum kelihatan?” tanya Kang Tolib kepada Pak Tedi yang mengaso sebentar dari kesibukannya. Siang itu, rumah Pak Tedi cukup ramai dengan tamu yang terus berdatangan. Pegawai negara ini sedang merayakan kenaikan pangkatnya. Ia pun berjalan kesana kemari menerima tamu.
“Mungkin sebentar lagi,” jawab Pak Tedi. “Dia mengabarkan akan datang kok,” sambungnya.
Para tamu makin banyak berdatangan. Ada ustadz Rozaq yang datang dengan mobil Pajero Sport terbarunya. Juga ada ustadz Noval, tetangga kampung yang memiliki mobil Fortuner silver. Sementara Pak Dani, pengusaha tahu bulat itu baru saja datang bersama istri mudanya. Mereka bertemu lantas tertawa-tawa dan sesekali bertukar cerita. Pak Camat datang membawa mobil Honda terbaru. Sedang pak dewan datang dikawal mobil polisi.
Kang Tolib terlihat kurang nyaman berada di antara mereka. Sesekali ia melihat ke jalan, mengamati ponselnya lantas ikut sebentar dalam obrolan. Maklum, dia adalah sosok orang kampung tulen. Tidak modern dan “sudah kadaluarsa”. Begitulah kira-kira.
“Apakah tamu-tamu Pak Tedi ini sama dengan mereka-mereka yang ada di tivi yang suka sekali memamerkan kekayaannya? Kenapa mereka tidak hidup dalam kesederhanaan sebagaimana yang mereka petuahkan kepada umat? Apakah hidup sederhana hanyalah milik umat, dan bukan untuk para ustadz yang pencemarah, eh keliru ding, penceramah itu?”
Pikiran itu ditenggelamkan lagi oleh Kang Tolib. Di antara mereka, ia sadar tak mampu bertanya tentang hal itu. Ingin rasanya ia segera beranjak pulang, atau setidaknya keluar dari rumah itu. Ia ingin mencari Mas Guru saja dan ngobrol-ngobrol santai. Tapi, entah kemana Mas Guru malah ndak datang-datang.
Kang Tolib sebenarnya bukan orang sembarangan. Di Kampung, ia adalah orang kaya. Bahkan boleh dibilang sangat kaya. Dia memiliki toko beras di pasar. Tapi, kemana-kemana, ya itu, ia tetap saja ngontel. Seperti saat ke rumah Pak Tedi ini, dia mengayuh ontel tuanya. Bukannya ia sok hidup zuhud atau bagaimana, ya karena dia merasa harus hidup sederhana. Kanjeng Rosul mengajarkan demikian. Begitu keyakinannya.
“Pak Tedy, waduh celaka,” kata Kang Tolib tiba-tiba.
“Kenapa kang. Ada apa?” tanya Pak Tedy kaget.
“Nganu Pak. Perut saya mules. Saya harus minum obat. Lha ini malah obatnya ketinggalan di rumah. Saya pulang dulu ya Pak. Aduh, maaf ya Pak,” kata Kang Tolib sambil menunjukkan wajah kesakitan.
Setelah bersalaman, ia pun menggenjot ontelnya. Tapi ia tak langsung pulang, melainkan berputar-putar mencari Mas Guru. Dan ternyata setelah lama mencari dilihatnya temannya itu sedang jandom di pinggir jalan, sambil nyruput es cao kesukaannya. Kang Tolib langsung saja menggenjot pedal mendekatinya.
“Mas Guru, oalah maalah di sini. Katanya mau ke rumah Pak Tedy. Saya sudah kadung disana, malah sampean di sini.”
“Oh ya saya lupa diundang Pak Tedy. Ini baru saja ada rapat di sekolah. Jadi saya ke sekolah dulu. Lha sampean sendiri kok malah sudah balik?” tanya Mas Guru.
“Saya tidak kuat Mas Guru. Para tamunya pamer kekayaan semua. Males pol wes,” kata Kang Tolib.
“Mbok dibiarkan saja Kang. Mereka kan ya manusia, pasti menyukai duniawi ini. Kita sendiri kan ya kadang tetap serakah kan di dunia ini.”
“Tapi mereka kan pejabat, pemimpin umat. Kok malah ngumbar kekayaan. Kalau gaya hidup mereka demikian, bagaimana meminta rakyat dan umat ini untuk bisa hidup sederhana. Orang kecil kan melihat mereka-mereka itu sebagai cermin,” protes Kang Tolib.
“Ya bisa saja mereka meyakini apa yang mereka lakukan adalah hidup zuhud,” kata Mas Guru.
“Hidup zuhud bagaimana wong mereka serakah dengan kekayaan duniawi ini. Mereka membeli mobil terbaru dan sebagainya.”
“Ya, mungkin mereka kan ukuran zuhudnya berbeda dengan kita. Mereka melihat ke atas soal duniawi, sehingga berkeyakinan bahwa apa yang dilakukan sekarang itu ya sudah zuhud. Karena kalau tidak zuhud, bisa saja mereka kemana-mana membawa pesawat, membangun rumah dari emas, dan sebagainya. Itu kan tidak dilakukan kan? Nah berarti mereka zuhud.”
“Ah sampean ini. Saya ndak ngerti.”
“Sudah sudah. Nih, minum es cao saja. Biar hatimu adem. Tidak semua harus ditanggapi dengan emosi. Tuhan Maha Mengetahui. Yang penting sampean kan tetap berlaku wajar saja. InsyaAllah kampung kita tetap aman.”
“Kok bisa?” tanya Kang Tolib.
“Soalnya sampean mau dijadikan Kepala Dusun. Lak dadi pejabat nanti sampean. Coba, kalau sudah punya jabatan, gaya hidup sampean tetap sederhana atau seperti tamu-tamunya Pak Tedy tadi.”
“Asssyem...”.
Sumber foto: merdeka.com