Qadha Puasa Ramadan: Memahami Kewajiban, Fidyah, dan Penundaannya

Reporter : Ali Imron 

blokTuban.com - Dalam konteks ilmu fiqih, qadha mengacu pada penyelesaian ibadah di luar jangka waktu yang telah ditetapkan dalam hukum Islam.

Contohnya adalah qadha puasa Ramadhan yang dilakukan setelah bulan Ramadhan berakhir.

Namun, para ahli bahasa Arab mengatakan bahwa penggunaan istilah "qadha" untuk makna seperti itu (dalam konteks ilmu fiqih) tidaklah benar. Kata "qadha" pada dasarnya berarti "ada," yang mengacu pada pelaksanaan ibadah pada waktu yang telah ditentukan oleh syariat Islam.

Karena itu, tidaklah tepat jika qadha' diartikan sebagai hal yang berlawanan dengan ada'. Namun, dalam praktiknya, istilah qadha' telah menjadi lazim dalam ilmu fiqih untuk membedakannya dari ada', yang merujuk pada pelaksanaan ibadah pada waktu yang telah ditetapkan.

 

Wajibkah Qadha Puasa Dilaksanakan Secara Berurutan?

Melaksanakan qadha puasa Ramadhan adalah kewajiban yang harus dipenuhi untuk setiap hari yang telah ditinggalkan, sesuai dengan yang disebutkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 184. Tidak ada pedoman lain mengenai tata cara qadha selain yang tertera dalam ayat tersebut.

Terkait apakah qadha puasa harus dilakukan secara berurutan atau tidak, terdapat dua pandangan.

Pendapat pertama mengatakan bahwa jika seseorang melewatkan puasa berturut-turut, maka qadha harus dilakukan secara berurutan karena qadha adalah pengganti puasa yang ditinggalkan, sementara pendapat kedua menyatakan bahwa qadha puasa tidak perlu dilakukan secara berurutan karena tidak ada dalil yang menyatakan hal tersebut.

Al-Baqarah ayat 184 menekankan bahwa puasa qadha harus dilaksanakan sesuai dengan jumlah hari yang ditinggalkan. Pendapat ini dikuatkan oleh hadits yang jelas dan tegas.

Sabda Rasulullah SAW:

 

قَضَاءُ رَمَضَانَ إنْ شَاءَ فَرَّقَ وَإنْ شَاءَ تَابَعَ

 

Artinya : "Penyelesaian puasa Ramadhan, jika diinginkan, dapat dilakukan secara terpisah atau secara berurutan." (HR. Daruquthni, dari Ibnu 'Umar).

Dari kedua pendapat tersebut di atas, kami lebih condong kepada pendapat terakhir, lantaran didukung oleh hadits yang sharih (jelas). 

Pendapat pertama, yang hanya berdasarkan logika dan bertentangan dengan nash hadits yang sharih, menyatakan bahwa qadha puasa tidak harus dilakukan secara berurutan, melainkan dapat dilakukan kapan saja sesuai keinginan.

Boleh secara berurutan, boleh juga secara terpisah.

 

Bagaimana Jika Qadha Tertunda Sampai Ramadhan Berikutnya?

Waktu dan peluang untuk melaksanakan qadha puasa Ramadhan adalah lebih dari cukup, yaitu sampai bulan Ramadhan berikutnya. 

Tetapi, tidak mustahil bagi seseorang untuk belum melaksanakan qadha puasa Ramadhan karena alasan tertentu hingga tiba bulan Ramadhan berikutnya.

Berbagai faktor, baik positif maupun negatif, seperti halangan, sakit, apatis, atau sikap gegabah, dapat menyebabkan penundaan pelaksanaan qadha' puasa hingga Ramadhan berikutnya. 

Penangguhan tanpa alasan yang sah dianggap haram dan berdosa, sementara jika disebabkan oleh halangan yang sah, tidaklah berdosa.

Adapun tentang kewajiban fidyah yang dikaitkan dengan penangguhan qadha puasa Ramadhan, terdapat dua pendapat di kalangan para fuqaha. 

Pendapat pertama menyatakan bahwa penangguhan qadha puasa Ramadhan sampai tiba bulan Ramadhan berikutnya tidak menjadi sebab diwajibkannya fidyah, baik penangguhannya disebabkan oleh udzur atau tidak.

Pendapat kedua menyatakan bahwa penundaan qadha puasa Ramadhan hingga bulan Ramadhan berikutnya memiliki rincian hukumnya. 

Jika penundaan tersebut disebabkan oleh halangan, maka tidak memerlukan fidyah. Namun, jika penundaan tersebut dilakukan tanpa alasan, maka memerlukan fidyah. 

Kami melihat bahwa kewajiban fidyah karena penundaan qadha puasa Ramadhan hingga bulan Ramadhan berikutnya tidak didasarkan pada nash yang sah untuk dijadikan alasan.

Dengan demikian, pendapat tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya, sehingga secara mutlak tidak ada kewajiban fidyah, meskipun penangguhan tersebut tanpa alasan yang jelas.

 

Bagaimana jika Meninggal Dunia sebelum Qadha?

Pemenuhan kewajiban membayar utang, termasuk qadha puasa Ramadhan, merupakan suatu hal yang mutlak. 

Orang yang meninggal sebelum memenuhi kewajiban tersebut seakan-akan memiliki utang kepada Allah swt, yang harus dilunasi oleh pihak keluarga. 

Dalam hal ini, ada dua pendapat mengenai pelaksanaan qadha puasa Ramadhan bagi orang yang meninggal dunia. 

Pendapat pertama menyatakan bahwa pelaksanaannya dapat diganti dengan fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin untuk tiap hari puasa yang ditinggalkannya.

Sabda Rasulullah saw:

 

مَن مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيُامْ أُطْعِمَ عَنْهُ مَكَانَ يَوْمٍ مِسْكِيْنٌ

 

Artinya: "Orang yang meninggal dunia dan memiliki kewajiban berpuasa dapat digantikan dengan memberi makan kepada seorang miskin setiap hari yang belum dipenuhi." (HR Tirmidzi, dari Ibnu 'Umar).

Hadits tersebut di atas, yang mendukung pandangan pertama, telah dianggap sebagai hadits gharib oleh Imam Tirmidzi, perawinya sendiri. Beberapa ahli hadits bahkan menyatakan bahwa hadits ini sebagai hadits mauquf, atau ditangguhkan, yang artinya tidak dapat dijadikan hujjah. 

Meskipun demikian, para fuqaha yang mendukung pandangan ini menguatkan argumennya dengan menyebut beberapa peristiwa di Madinah di mana masyarakat memberi makan kepada orang miskin untuk setiap hari yang belum puasa oleh orang yang telah meninggal.

Pendapat kedua ini, kami kira lebih kuat lantaran hadits yang mendasarinya shahih. Sementara pendapat pertama dinilai lemah karena hadits yang mendasarinya marfu', gharib atau mauquf seperti dijelaskan di atas. 

Sedangkan peristiwa yang menguatkannya yakni, apa yang dilakukan oleh masyarakat Madinah ketika itu, sama sekali tak dapat dijadikan hujjah, lantaran bukan suatu hadits.

Kami percaya bahwa argumen kedua lebih kokoh karena didukung oleh hadits yang sahih, sedangkan argumen pertama dianggap lemah karena hadits yang mendukungnya memiliki status marfu', gharib, atau mauquf seperti yang dijelaskan sebelumnya. 

Sementara itu, kejadian yang memperkuat argumen tersebut, seperti tindakan masyarakat Madinah saat itu, tidak dapat dijadikan landasan argumen karena bukan merupakan hadits.

 

Bagaimana jika Jumlah Hari yang Ditinggalkan Tidak Diketahui?

Menunaikan puasa yang belum dikerjakan adalah suatu kewajiban. Baik qadha puasa untuk dirinya sendiri maupun untuk anggota keluarga yang telah meninggal dunia. 

Namun, dalam hal ini, tidak mustahil terjadi bahwa jumlah hari yang harus qadha puasa itu tidak diketahui lagi, misalnya karena sudah terlalu lama, atau memang sulit diketahui jumlah harinya.

Dalam situasi seperti ini, akan lebih bijaksana jika kita menetapkan batas maksimum jumlah hari yang harus dipenuhi. 

Mengganti hari puasa yang terlewat lebih baik daripada meninggalkannya. Hal itu akan menjadikan puasa yang terlewat sebagai ibadah sunnah yang bernilai.

 

Niat Qadha Puasa Ramadhan

Orang-orang yang tidak berpuasa selama bulan Ramadhan harus mengganti puasa yang terlewatkan itu di luar bulan tersebut.

Bagi yang mengqadha puasa Ramadhan, wajiblah meniatkan puasa qadha di malam hari, seperti yang diajarkan dalam Mazhab Syafi'i.

Berikut ini adalah lafal niat puasa qadha Ramadhan:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ قَضَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ لِلهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma ghadin ‘an qadhā’i fardhi syahri Ramadhāna lillâhi ta‘âlâ.

Artinya, “Aku berniat untuk mengqadha puasa Bulan Ramadhan esok hari karena Allah SWT.” 

 

Sumber : Kemenag RI