Mata yang Menyimpan Rindu

Apabila rindu merengkuhmu, biarkanlah ia mencurimu.
Biarkan ia menemukan caranya sendiri untuk berlabuh.
Sebab tak perlu struktur ataupun rumus untuk mempertemukan rindu.

Penulis: Yoru Akira*

Gelombang laut Jawa begitu tenang. Tidak seperti biasa – selalu membawa riak-riak ombak hingga ke tepi. Ombak hanya menyentuh bibir pantai. Bocah-bocah nelayan memanfaatkannya untuk bermain bola. Sementara beberapa perahu terlihat bersiap-siap melaut. Ada pula beberapa kembali dari rutinitas mereka. Mencari ikan.

Aroma hio berasal dari klenteng tepi pantai, menguar pekat. Berbaur dengan aroma asin air laut. Beberapa wisatawan yang mengunjungi klenteng, menyempatkan berfoto di halaman. Sebelum akhirnya pergi membawa kenangan.

Kenangan, selalu punya caranya sendiri untuk memasungmu agar tidak lari. Begitu pula tentangmu. Kau yang kusebut lelaki bermata redup. Ada pula tentang kau yang tetap singgah meski wajah tak lagi bertatap.

Sepanjang aku mempunyai cara untuk mengenang, maka kau jelmaan kenangan. Menempel di setiap jengkal dinding otak, hati, hidung, mungkin juga darahku.

Angin sore membawa aromamu. Sudah kubilang kenangan bisa menempel dimana pun dia mau. Kini, entah berapa lama aku membisu. Membiarkan kau mengacau saraf otak juga hidungku untuk mengenangmu.

Sedangkan lelaki itu sibuk memotret laut. Sesekali memotret rombongannya melalui kamera poket warna ungu. Mungkin pula dia memotret kenangan tanpa kutahu. Manusia selalu punya cara untuk menyembunyikan yang dia inginkan.

Kau ada dalam kenangan mataku. Tempat ini selalu menyisakan ruang untuk mengenang. Persinggahan, kekecewaan, kebisuan, juga mengeja setiap raut wajah yang berlalu-lalang. Sementara senja, merupakan waktu yang ingin kulepass bersamamu. Ahh... kenangan, entah mengapa selalu menyisakan cara berlarian dalam kepala. Menjelma dalam mata. Menyesakkan rongga dada. Bahkan mengusik telinga.

“Apa yang paling kau inginkan?”

Itu pertanyaan khayalan ketika kita duduk di tepi pantai ini, kenangan. Mana mungkin kau bertanya, sementara hal yang paling menyenangkan bagimu hanyalah diam. Membisu pada kelabu atau entah apa yang menggantung di redup matamu.

“Menyaksikan kau melukis senja,” jawabku pada khayal. Sebab pertanyaan itu tak pernah keluar dari mulutmu. Kau selalu sibuk dengan keramaian yang hanya ada dalam kepalamu.

“Kenapa senyum?” tanyamu bukan dari khayalku.

“Tidak, aku hanya membayangkanmu melukis senja.”

Raut wajah yang berbeda. Entah mengapa kau selalu terlihat pesimis tentang mimpimu. Padahal kau memiliki bakat. Membuat sesuatu menjadi hidup di ujung kuas maupun pensilmu. Hanya saja sifat pesimis selalu membuatmu berhenti di tempat.

“Tidak adakah hal lain untuk kita bicarakan?”

“Kebisuan.”

“Maksudmu?”

“Ya, kita bicara pada bisu. Atau membisu. Tanpa ada kata yang memng perlu untuk dibicarakan.”

“Aku tak memahami maksudmu, Ratri.”

Itulah kau. Sosok yang hanya tertarik untuk membisu. Padahal ada makhluk bernyawa di sampingmu. Kau tak pernah mencoba bertanya. Kau tak pernah mencoba untuk ingin tahu. Kau tak pernah mencari cara untuk berbagi. Toh kalaupun harus mengeluarkan semua kosa kata yang kumiliki, kau balas dengan jawaban singkatmu, “ya” atau “tidak”. Tak ada yang kurang suatu apapun.

“Ratri.”

“Matahari hampir tenggelam. Baiknya kita pulang.”

Kenangan selalu mencari caranya sendiri untuk memasungmu agar tak bisa lari. Membiarkanmu untuk tetap tinggal, meski kau ingin menghilang dalam kepenatan. Sedangkan kau selalu memasungku untuk tetap tinggal dalam ruang bernama kenangan.


* * *

“Bisa kau bantu membuat sketsa untuk cerpenku Dis?”

Kenangan selalu punya cara membuatku mengingatmu. Lelaki yang memiliki sepasang mata redup. Bagian yang pernah mengisi perjalanan waktuku.

“Tentang apa?”

“Melukis wajah. Rencananya akan kubuat untuk cover buku. Bagaimana menurutmu?”

Tak ada jawaban. Kau membisu. Menekuni setiap coretan yang hanya kau tahu maknanya. Katamu setiap warna mewakili rasa. Kuning, hijau, merah, ungu. Tapi aku selalu melihat hitam. Muncul di setiap goresan tanganmu. Kiraku itu adalah wujud sedih yang kau pintal bertahun-tahun lampau. Tentang masa yang tak boleh kusentuh seujung pun. Bahkan sampai semua ini berakhir. Akhir tentang aku dan kamu yang tak pernah sekali pun menjadi kita.

“Akan kucoba,” katamu setelah aku putus asa. Hampir menyerah sebab tak bisa meruntuhkan dinding-dinding salju di hatimu.

Cinta selalu bisa menyembuhkan luka katanya. Mungkin, aku belum merasakannya. Maka kubiarkan kenangan menguasai tubuhku. Biar kau lebur bersamanya. Meski tak pernah ada harapan yang menjadi kenyataan.

Kau tahu, hal menyeramkan yang pernah kurasakan adalah harapan. Kau tak akan pernah tahu, bagaimana harapan menghancurkanmu. Setiap keping demi keping sisi dalam diriku. Terlibas habis. Dan kau selalu menawarkan itu tanpa sadarmu. Entahlah.

“Terima kasih. Aku akan giat menuliskan beberapa pelengkap melukis wajah. Mohon bantuannya ya.”

“Bukankah itu memang kewajibanku, Rat? Aku harus mendukung inginmu.”

Kau berusaha menurutku. Berusaha menjadikan hal-hal kelabu berubah merah jambu. Namun ada hal yang diam-diam menyusup dalam hatiku. Melepaskanmu.

Aku dan kamu yang tak pernah menjadi kita, sudah terlalu lama tenggelam dalam dunia yang tak sama muramnya. Hal buruk selalu meghantui di setiap langkah. Ketakutan dan keraguan mencengkram erat kaki dan tangan. Tak bisa berlari. Memati.

Diam-diam ada sebait do’a. Tentang aku yang harus melepaskanmu. Kau terima atau pun tidak. Sebab aku sudah berada di puncak lelah. Lelah memperjuangkan hal semu di mataku.

Menyimpan rindu yang tak terungkap. Aku tahu. Kau selalu bisu. Menyimpan semua masa dalam sekat-sekat kotak buatanmu. Dalam hati, dalam darah, juga dalam otakmu.

* * *

“Aku ingin bertemu.”

Sapamu melalui pesan singkat. Memang sangat singkat. Kau hanya menuliskan banyak hal jika memang itu perlu. Sejauh ini lebih banyak tak perlu. Biarlah.

“Kuusahakan. Aku tak punya banyak waktu luang.”

“Aku hanya ingin memberikan “melukis wajah” pada orang yang seharusnya.”

“Akan kuusahakan. Kenapa kau mengelak. Aku tahu kamu rindu.”

“Maka biarlah aku bertemu.”

Kuputuskan. Menyusuri kenangan adalah caraku dekat denganmu. Kau kenangan, sedang aku mengenang. Begitulah kubu yang kubangun dalam sap otakku. Aku tak mau kau mengendalikan seluruhnya. Cukup sudah. Terlalu lama aku terjebak dalam kisah semu. Makin menyemu.

Maka biarlah aku menemuimu. Sekali lalu. Tak mengapa untuk membayar kenangan mewujud di depan mataku. Ada rindu. Di bias mataku. Juga dalam bias matamu. Aku tahu. Bisu.

Sebab aku tak mau melukaimu. Harapan hanya akan menghancurkanmu. Maka aku tak akan melakukannya padamu. Biar saja tangan-tangan tuhan mengeja cerita kita. Toh itu semua atas izin dariNya bukan. Aku dan kamu yang tak pernah menjadi kita hanya menjadi aktor dalam dongeng. Mencoba mencari alur yang sudah terpetakan.
“Terima kasih sudah mau menemuiku,” katamu.

Matamu kian meredup. Air mata menggenang. Tak tertahankan. Mungkin akan jatuh jika aku berpaling. Kubiarkan aku larut dalam matamu. Sebab aku membutuhkannya untuk mengenang, karena kau kenangan.

Bukankah aku ataupun kamu perlu kenangan untuk menjadikan jarak cukup sejengkal?

Tuban, 10 Maret 2016

 

Biodata Penulis:

Yoru Akira nama pena dari Sumartik. Lahir di kota Tuak pada tanggal 17 Juli 1992. Beberapa karyanya berupa puisi dan cerpen pernah menghiasi majalah, dan koran daerah setempat. Selain itu beberapa cerpennya pernah diantologikan bersama. Penulis bisa disapa melalui e-mail sumartik92@gmail.com atau melalui nomor HP 085784473848.