Bertahan di Tengah Badai Ekonomi: Catatan Anggaran Rumah Tangga Mei 2025

Oleh: Dahrul Mustaqim

blokTuban.com - Memasuki bulan Mei 2025, anggaran bulanan kembali disusun dengan hati-hati. Meski nominal penghasilan masih sama seperti bulan-bulan sebelumnya, yaitu Rp4 juta atau bahkan di bawahnya, ada banyak penyesuaian yang harus dilakukan. Pasalnya, kondisi ekonomi saat ini terasa jauh berbeda dibandingkan tahun-tahun lalu. Kenaikan harga barang dan jasa yang mencapai 15 persen menjadi tekanan nyata. Maka, tanggung jawab keuangan keluarga pun sementara harus ditopang lebih banyak dari penghasilan pribadi.

Mengutip pada akun Youtube @Dhamayantika, ia membagikan beberapa langkah untuk mengatasi hal itu. Untuk awal, dimulai dari mengatur kembali alokasi tabungan wajib. Jika sebelumnya sempat dinaikkan, kini dikembalikan lagi ke nominal awal, yakni 10% atau Rp400.000. Tujuannya agar kebutuhan lainnya tetap bisa tercukupi. Karena bagaimana pun juga, menyisihkan sebagian kecil dari penghasilan untuk tabungan tetap perlu, meski jumlahnya tak besar. Prinsipnya, yang penting tetap ada yang disimpan.

Selanjutnya, fokus pada pos anggaran kewajiban rumah tangga—hal-hal yang tidak bisa ditunda atau dikurangi. Di antaranya adalah KPR sebesar Rp850.000, kebersihan lingkungan Rp20.000, listrik Rp150.000 (yang sengaja dinaikkan karena tarif dasar listrik per Maret sudah meningkat), WiFi Rp370.000, kas danos Rp15.000, dan PDAM Rp40.000. Totalnya mencapai Rp1.450.000.

Kemudian masuk ke pos kebutuhan rumah tangga bulanan yang sifatnya lebih fleksibel. Belanja bulanan digabung dalam satu pos sebesar Rp600.000, mencakup sembako, sabun, gas, kebutuhan rumah tangga, hingga personal care. Lalu, belanja mingguan dinaikkan alokasinya menjadi Rp800.000, atau Rp200.000 per minggu. Kenaikan ini diambil sebagai respons dari melonjaknya harga bahan makanan pokok, terutama bumbu dapur dan buah-buahan. Jatah jajan tetap di angka Rp300.000, dana darurat Rp200.000, serta sedekah Rp150.000. Total untuk pos kebutuhan rumah tangga ini adalah Rp2.050.000.

Jika ditotal keseluruhan, mulai dari tabungan Rp400.000, kewajiban Rp1.450.000, dan kebutuhan Rp2.050.000, maka anggaran bulan Mei ini mencapai Rp3.900.000. Masih tersisa Rp100.000 sebagai uang pegangan, yang biasanya disimpan di dompet untuk kebutuhan kecil mendesak seperti rokok, bensin tambahan, atau uang jajan tambahan mendadak.

Meski sisa uangnya kecil, tetap disyukuri. Apalagi saat ini sedang berusaha lebih konsisten memasak di rumah agar pengeluaran makan bisa ditekan. Sesekali masih tetap jajan di luar, tapi tidak lagi sesering dulu.

Dalam kondisi seperti sekarang, satu hal yang selalu dipegang adalah: apapun yang terjadi, tetaplah bernapas dengan tenang. Kutipan ini terasa sangat relevan di tengah badai ekonomi yang makin lama makin berat. Turunnya penghasilan suami hanya satu contoh nyata. Namun bersyukur, masih ada pemasukan dari sumber lain, sehingga kebutuhan bulanan masih bisa tertutupi. Meski terasa berat, ini adalah tantangan yang harus dihadapi, karena hampir semua lapisan masyarakat pun turut merasakannya. Bahkan pengusaha besar sekalipun ikut terpukul, apalagi sektor UMKM yang harus bersaing dengan banjirnya barang-barang impor murah lewat e-commerce yang menawarkan harga miring dan gratis ongkir.

Dulu sempat berdagang. Namun setelah pandemi dan isu resesi 2023, kesadaran mulai tumbuh bahwa hanya mengandalkan satu sumber penghasilan sangatlah berisiko. Maka perlahan mulai mencari alternatif lain yang kini terbukti membantu menopang ekonomi rumah tangga.

Anggaran Rp4 juta bukan angka yang besar untuk hidup di tengah harga yang terus merangkak naik. Namun dengan pengaturan yang tepat dan prinsip hidup yang realistis, angka itu bisa cukup. Bukan tentang punya tabungan lebih, tetapi tentang cukup untuk hari ini dan tetap bisa menabung meski sedikit.

Kini mulai banyak orang yang sadar pentingnya perencanaan keuangan. Bahkan ada yang mengaku bisa menghemat pengeluaran Ramadan dan Lebaran karena terinspirasi dari video-video yang dibagikan. Uang THR pun masih tersisa hingga Syawal berakhir. Mendengar cerita itu saja sudah membuat hati terharu. Karena memang inilah tujuan utama berbagi: bukan untuk pamer atau menakut-nakuti, melainkan untuk saling menguatkan, saling mengingatkan, dan membantu agar kita semua bisa lebih siap menghadapi masa depan yang tidak pasti.

Apalagi sekarang sedang marak fenomena FOMO membeli emas batangan. Banyak yang latah membeli di harga puncak, padahal justru yang diuntungkan adalah mereka yang sudah menyimpan emas sejak lama. Kalau sekarang ingin mulai, tetap tidak masalah. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Setidaknya FOMO kali ini lebih sehat dibanding FOMO gaya hidup konsumtif.

Tapi satu hal yang perlu diwaspadai: lonjakan harga emas kadang menjadi pertanda akan datangnya krisis ekonomi. Belum lagi dampak dari perang dagang dan dibukanya keran impor seluas-luasnya yang semakin menghimpit UMKM lokal. Kalau krisis benar terjadi, mereka yang sudah kehilangan pekerjaan atau statusnya tidak tetap akan terkena dampak paling besar. Maka saat ini, berjaga-jaga dan bersiap adalah langkah terbaik.

Ke depan, tantangan ekonomi sepertinya tidak akan makin mudah. Tapi selama kita tetap waspada, menjaga pengeluaran, dan berusaha menyusun anggaran sebaik mungkin, insyaallah kita masih bisa bertahan. Yang penting, jangan sampai terlilit utang konsumtif. Karena di masa sulit seperti ini, menghindari utang bisa jadi adalah bentuk kekayaan tersendiri.[Rul/Rof]