
Oleh : Sri Wiyono
‘’Ayo Jogo Tuban Bebarengan Lur…’’ Jujur saya mbrebes mili (berkaca-kaca) membaca poster ajakan ini. Poster ini beberapa hari belakangan hadir di media-media sosial, dan marak menjadi story di akun media sosial banyak kawan.
Entah siapa yang membuatnya, namun pesannya pasti, bahwa inilah yang harus kita lakukan sebagai warga Kabupaten Tuban.
Dan, story WA saya dengan poster inipun ramai ditanggapi kawan-kawan saya. Bahkan sebagian dari luar kota.
‘’Ada suasana menegangkan pa adem ayem tenan Kang...? Tuban...., isi pesan salah satu kawan dari luar kota, luar provinsi. Saya pun membalas, lalu obrolan dalam WA pun melebar pada diskusi banyak hal, fokusnya pada keadaan sekarang ini.
Lalu kawan lain yang juga dari luar kota mengirim pesan singkat : ‘’Bismillahirrahmanirrahim,’’ tulisnya. Mendukung bahwa penduduk kota atau satu wilayah harus ikut menjaga keamanan di wilayahnya sendiri.
Kondisi negeri kita saat ini mengingatkan kita pada masa awal reformasi yang ditandai dengan tragedi kemanusiaan pada 1998 silam. Situasinya kurang lebih mirip saat ini, ada kerusuhan dan berujung pada aksi anarkis dan penjarahan. Kabut hitam itu kemudian tercipta saat aksi ( di Jakarta) tersebut kemudian meluas menjadi sentimen etnis.
Lalu tragedi kemunusiaan pun terjadi, ketika saudara-saudara kita etnis Tionghoa diburu, diintimidasi bahkan dijarah harta dan kehormatannya. Juga berkembang menjadi sentimen dengan isu agama dan ras. Maka kala itu marak toko-toko atau properti milik warga ditulisi dengan huruf-huruf besar ‘’MILIK PRIBUMI” harapannya toko atau propertinya tidak dirusak massa.
Ketegangan itu juga meluas ke mana-mana. Merembet ke berbagai daerah, perusakan dan pembakaran terjadi di banyak kota di negeri ini, ya mirip kondisi sekarang ini. Maka upaya menyelamatkan daerah itulah yang menjalar di sebagian aktivis di Tuban.
Pemuda dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) dari berbagai perguruan tinggi punya komitmen yang sama, yakni membentengi Kota Tuban agar tidak terjadi kerusuhan seperti di kota-kota lainnya. Toh itupun masih sempat terjadi peristiwa kebakaran (atau dibakar?) di pasar Tambakboyo, pasar itu hangus dilalap api. Generani 90 an pasti ingat peristiwa ini.
Upaya lahir batin dilakukan untuk menjaga Kota Tuban tetap aman dan damai. Kondisi tegang menjadikan masyarakat saling curiga, penuh kewaspadaan. Ini menjadi tantangan bagi para aktivis untuk bisa meyakinkan masyarakat Tuban untuk bersatu bergandengan tangan dan bersama-sama ‘jogo Tuban’.
Harus bergerilya untuk mendekati para tokoh agama dan meyakinkannya bahwa hanya bersatu di bawah semangat kemanusiaanlah yang bisa meredam ketegangan itu. Tak lagi ngomong agama, tapi kemanusiaan. Seperti pasan Gus Dur : ‘’kalau tidak saudara seiman, setidaknya kita bersaudara dalam kemanusiaan’’
Kata-kata itulah yang dipegang aktivis muda Tuban kala itu yang ingin kotanya damai. Pendekatan pada tokoh-tokoh agama terus dilakukan. Ini soal kemanusiaan ; bukan agama, etnis atau golongan.
Alhamdulillah suasana mulai cair. Para tokoh agama mulai terbuka dan mau berkumpul, diskusi dan ngomong kemanusiaan dalam satu meja. Kala itu, sebuah ruangan di Klenteng Kwan Sing Bio /Tjoe Ling Kiong Tuban, yang saat ini sedang dilanda konflik internal menjadi saksi, bincang-bincang kemanusiaan itu.
Di satu ruangan di klenteng itu sering digelar diskusi. Dari diskusi itulah embrio forum kemanusiaan muncul. Maka kemudian lahir lembaga bernama Forum Komunikasi Kerukunan Kemanusiaan (FK3) yang pengurusnya lintasagama dan lintasgenerasi.
Karena di kemudian hari forum itu berkembang bukan hanya orang-orang tua yang diskusi, tapi para remaja dan pemuda lintasagama, lintasetnis pun punya forum.
Setiap minggu di markas FK3 itu para pemuda dan remaja berkumpul, diskusi dan membincang soal kemanusiaan. Barangkali mereka yang dulu terlibat dalam kerja-kerja kemanusiaan itu senyum-senyum atau bernostalgia membaca tulisan ini.
Para tokoh agama itu punya semangat yang sama, ingin menunjukkan pada umat dan masyarakat bahwa tidak ada ketegangan apapun di antara mereka. Tidak ada konflik agama, etnis atau golongan.
Buktinya mereka bisa rukun, bergandengan tangan bergerak bersama menjaga Kota Tuban tetap aman. Para tokoh agama memberikan teladan itu.
Puncaknya, pada tanggal 9, bulan 9 (September) tahun 1999 ada gawe besar yang digelar FK3, yakni doa bersama di Alun-alun Kota Tuban. Para tokoh agama datang ke alun-alun dengan membawa umatnya masing-masing.
Berbaur, bersatu dalam dibingkai semangat kemanusiaan. Maka malam itu, masing-masing agama yang dipimpin para tokohnya melangitkan doa sesuai tata cara agamanya masing-masing.
Ah, syahdu sekali malam itu. Kalau kala itu sudah ada medsos dan marak warga memiliki gadget seperti sekarang ini, aksi damai malam itu pasti viral. Bagaimana syahdunya setiap umat melangitkan doa dengan kesungguhan, dengan hati yang bersih, lapang dan ikhlas.
Bahkan tak sedikit yang meneteskan air mata.
Mereka ingin menunjukkan pada negeri ini, juga pada dunia, bahwa yang terjadi di negeri ini kala itu, bukan konflik antaragama, antaretnis atau konflik horizontal lainnya. Alhamdulillah lembaga semacam FK3 itu kemudian dilembagakan oleh pemerintah melalui Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) sekarang ini.
Dan, di lain waktu, para tokoh agama itu turun langsung, bareng-bareng bertemu dan berdialog langsung dengan masyarakat, saat FK3 turun membagikan besar di sejumlah titik di Kota Tuban. Indah dan rukun.
Saat ini, negeri kita juga sedang tidak baik-baik saja. Aksi massa di mana-mana. Mereka seolah menyuarakan kekesalan dan beban hidup yang kian menghimpit. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang kian mencekik rakyatnya. Pajak naik, iuran jaminan sosial naik, sementara pendapatan masyarakat yang sebagian besar terjun bebas.
Kebijakan efisiensi mampu menutup sebagian sumber pendapatan masyarakat, karena adanya efisiensi menjadikan pekerjaan intensitasnya turun, otomatis pendapatan warga turun, sedang kebutuhan tak mau kompromi.
Sementara luka akibat hantamam covid masih menganga. Nampaknya luka itu tak mungkin sembuh jika keadaan masih begini-begini saja. Emosi, tekanan hidup, stres oleh keadaan, membuat rentan. Maka disulut sedikit saja langsung berkobar.
Kondisinya mirip 1998 an silam. Kerusuhan, pembakaran dan penjarahan terjadi lagi. Hampir menyeluruh. Di berita kita bisa melihat berbagai di kota terjadi aksi massa yang disertai perusakan dan pembakaran, termasuk pada simbol-simbol pemerintahan. Di Jawa Timur, gedung negara Grahadi yang bersejarah itu juga terbakar.
Ingatanku pun melayang pada peristiwa Tuban Membara 2006. Saya ingat betul harinya Sabtu, tangal 29 April 2006. Saya ingat harinya Sabtu karena saat itu saya ada di rumah Tuban karena pas libur.
Saya saat itu masih menjadi wartawan di Jawa Pos Radar Bojonegoro yang bertugas di luar kota. Setiap Sabtu saya punya jatah libur, dan selalu saya manfaatkan untuk pulang kampung. Dan, saat pulang kampung Sabtu itu, Tuban Membara pecah.
Aksi demo memrotes dugaan penggelembungan suara untuk kontestan pilkada Tuban yang menang terjadi. Pihak yang kalah menduga mereka dicurangi dengan pengurangan perolehan suara yang didapat oleh calon yang mereka dukung. Maka kantor KPU Tuban adalah sasaran utama demo kala itu.
Namun, demo kemudian menjadi semakin besar dan meluas, bahkan entah bagaimana mulanya, demo itu menjadi anarkis. Kantor KPU yang mula-mula dibakar massa, lalu berlanjut menjadi sintemen pribadi, dengan bergeraknya massa menuju aset-aset pribadi milik Haeny Relawati Rini Widyastuti, calon bupati yang memperoleh suara terbanyak.
Massa bergerak mendatangi rumah, tempat usaha, bahkan ke pendapa kabupaten. Di tempat-tempat yang mereka datangi itu, massa merusak bahkan membakar. Maka Pendapa Kridha Manunggal Tuban yang megah itu pun terbakar dan hangus menjadi abu.
Siang hingga malam itu Kota Tuban tegang, membara dan gaduh. Sehingga diberlakukan jam malam. Warga dibatasi aktivitasnya di luar rumah untuk beberapa hari selama jam malam diberlakukan. Tuban Membara menjadi headline berita hampir di semua media.
Beberapa stadiun TV bahkan langsung mengirim kru dan peralatannya untuk bisa menayangkan liputan langsung peristiwa memilukan itu.
Tuban menjadi yang pertama, menjadi pioneer kerusuhan yang membakar simbol pemerintahan. Sebab, saat googling atau tanya di AI tidak ada peristiwa kerusuhan besar lain seperti yang terjadi di Kota Tuban pada masa-masa itu, atau sebelum tahun 2006.
Lalu ingatan saya berkelana pada puluhan tahun silam, pada 1990 an saat saya masih mengaji di salah satu guru yang menolak dipanggil kiai. Guru ngaji ini kemudian diketahui adalah seorang mursyid salah satu tarekat muktabaroh.
Karena di kemudian hari, teman-teman ngaji saya ikut baiat sebagai pengikut tarekat itu, mungkin saya saja yang saat itu tidak berani ikut dibaiat, dan sampai sekarang pun saya tidak berbaiat pada tarekat itu.
Guru ngaji itu adalah guru yang mengenalkan saya pada ilmu tauhid yang lebih intens. Guru yang mengenalkan saya pada aqaid 50, yang mengenalkan saya pada kitab ‘awwaluma’ yang nadhamnya dulu saya hafal dan sering saya lantunkan setiap perjalanan dari rumah ke tegal untuk mengirim bekal makanan atau minuman untuk orang tua saya yang di ladang.
Di sepanjang perjalanan sambil membawa makanan itu, saya lantunkan nadham-nadham awwaluma itu untuk hafalan.
Dalam suatu waktu di tengah penjelasan dalam materi ngajinya yang ditulis di papan tulis, dan para santri menulis di buku materi itu. Bakda magrib Sang Guru masuk ruang ngaji dan mulai mengajar. Guru bercerita dan memberikan pesan bahwa Kota Tuban bukanlah kota sembarangan. Tuban adalah kota yang sakral dan harus dijaga.
‘’Ingat-ingat ini dan perhatikanlah, jika sampai di Kota Tuban terjadi huru hara, atau sampai terjadi kerusakan, maka di daerah lain pasti akan mengalami hal serupa yang besar, dan kerusakannya lebih parah,’’ begitu kira-kira pesan guru ngaji saya kala itu.
Saya tidak ingat persis kata-kata yang disampaikan dalam Bahasa Jawa itu. Tapi, saya ingat persis maksud pesannya.
Maka setelah Tuban Membara pada 2006 pecah, bisa kita lihat huru-hara yang disertai pembakaran dan perusakan sering terjadi di mana-mana. Bahkan, sampai hari ini huru-hara itu masih terjadi, dan kerusakannya juga besar.
Apakah peristiwa hari ini masih termasuk dalam pesan guru ngaji saya dulu itu? Yang pasti mari kita menjaga Tuban. Ayo Jogo Tuban Bebarengan. Wallahua’lam.