Santri, Sarung dan Kebangsaan

Oleh : H.M. Syafiq Sauqi

Catatan Ketua PW Gerakan Pemuda (GP) ansor Jatim dan kandidat Doktor dari Universitas IslamNegeri (UIN) Kiai Haji Achmad Siddiq Jember

blokTuban.com - Hari Santri 2023 mulai dilaksanakan di berbagai tempat dengan beragam acara yang menyimbolkan kegiatan syiar santri untuk negeri. Acara tahunan ini sejatinya sebagai bentuk syukur, sekaligus pengingat akal sehat kita sebagai santri untuk terus dan tidak boleh lelah untuk meng-asah pikiran, hati dan prilaku kita melalui proses internalisasi nilai luhur sebagaimana dicontohkan para santri-santri dulu, khususnya para santri yang telah ikut berjuang untuk merdeka tanggal 17 Agustus 1945, sekaligus mempertahankan kemerdekaan.

Sudah 8 tahun hari santri diperingati, sejak penetapannya oleh Presiden Joko Widodo tahun 2015. Karenanya, menjadi kurang elok bila kemudian hari santri hanya lewat begitu saja dengan beragam acara yang disuguhkan, tanpa menjadikannya sebagai pemantik kita untuk terus menanyakan _sekaligus melakukan intropeksi diri kaitan kualitas kesantrian kita dalam proses beragama dan berbangsa.

Untuk itu berdasar pada tema hari santri tahun ini; “Jihad Santri, Jayakan Negeri”, maka tidak ada daya tawar lagi, siapapun yang merasa menjadi santri harus sadar berada digarda terdepan untuk bergerak menuju pelibatan diri bagi kejayaan negeri. Kalaupun santri telah melakukan diaspora –dan ini menjadi keharusan, tetap saja nilai kecintaan pada negeri harus berada dalam sanubari, dengan tidak menghamba pada kepuasaan diri dan kelompok hingga menghalalkan segala cara.

 

Sarung Kebangsaan

Sarung adalah salah satu dari pakaian ala santri, bukan satu-satunya. Keberadaan sarung bukan saja jenis pakaian yang membedakan dengan pakaian lainnya. Tapi sarung juga menjadi petanda tentang intelektualitas dan spirit kebangsaan. Pertama, intelektualitas nampak dicontohkan oleh para santri-santri senior yang telah berjasa berjuang bagi bangsa ini. Sebut saja, misalnya Syaikhana Kholil Bangkalan, Hadratus Syekh Kiai Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH As’ad Syamsul Arifin dan lain-lain.

Para santri pemangku pesantren ini dipanggil Kiai __sekaligus kelompok bersarung- disebabkan karena intelektulitasnya yang tidak diragukan. Mereka-mereka adalah tokoh yang mumpuni dalam ilmu dan integritasnya yang tinggi sehingga keberadaannya selalu memberikan kontribusi bagi santri, masyarakat dan bangsa. Kedalaman ilmu, kesederhanaan, dan sikap zuhudnya memancarkan kemanfaat bagi umat. Tidak sedikit mereka selalu menjadi tempat bersua bagi masyarakat untuk sekedar sowan dan berharap keberkahan doa agar tenang dalam kehidupan.

Prinsip khairunnas anfau linnas, sebaik-baik manusia adalah orang yang lebih bermanfaat bagi yang lain, selalu menjadi pegangan. Karakter ini harus diperkuat melalui momentum hari santri 2023 sebab tantangan santri ke depan sangat kompleks. Keikhlasan dan kesederhanaan harus tetap menjadi mentalitas santri kali ini agar tidak mudah berubah karakter hanya disebabkan himpitan logika “kapitalisasi proses” dan logika “merebut pencitraan” di hadapan publik.  

Kedua,  spririt kebangsaan juga telah diwariskan praktiknya oleh para santri-santri dulu. Walau sebagai pemanggu pesantren, yang setiap harinya selalu bersarung menemani santri dalam sholat dan mengisi pengajian kitab kuning, bila negara sudah memanggil maka yang dilakukan adalah segera melakukan proses-proses menuju kebaikan bangsa dengan jihad. Untuk kepentingan jihad fi sabilillah, mereka semua pertaruhkan pikiran, harta dan nyawa untuk bangsa, lantas bagaimana santri-santri hari ini?. 

Tantangan berbangsa hari ini, memang bukan perang fisik, tapi perang nalar dan mental. Era medsos ini salah satunya menjadi sebab perang kekinian terus berlanjut dan belum tuntas. Santri-santri hari ini tidak lepas dari smart-phone selama 24 jam, dan ketika itu peperangan nalar dan mental sedang berproses. Mereka yang kalah perang adalah mereka yang tidak menggunakannya sebagai sarana untuk kebaikan negeri, termasuk sarana berdakwah.

Tidak sedikit di antara kita dengan bermedsos ikut-ikutan menyebarkan berita hoak, provokasi hingga ikut meng-share konten-konten yang berpotensi memecah belah sesama anak bangsa. Santri-santri terkini semestinya memberikan contoh bagaimana mengunakan medsos itu hanya sebagai wasilah mewujudkan kemaslahatan bangsa dan agama. Santri tetap bersarung dan akrab dengan fasilitas medsos, tapi pada saat yang bersamaan ia harus tetap komitmen pada nilai-nilai kebangsaan sebagaimana dicontoh oleh kaum santri bersarung tempo dulu, sekaligus keislaman yang rahmatan lil alamin.

Akhirnya, sarung yang kita pakai setiap hari sebagai simbol santri, mari kita jadikan sebagai pemantik keederhanaan dan keikhlasan berproses. Pada saatnya yang sama, pikiran dan tindakan kita harus tetap pada prinsip kebaikan untuk orang lain, terkhususnya bagi kemaslahan bangsa dan negara. Dari ini, makna Jihad Santri, Jayakan Negeri akan mendapat momentumnya untuk diamalkan dalam konteks kehidupan beragama dan berbangsa. Selamat Hari Santri 2023. (*)