LBH KP Ronggolawe Desak Polisi Tangkap Terduga Pelaku Pencabulan Terhadap Santriwati di Tuban

Reporter  : Savira Wahda Sofyana

blokTuban.com – Kasus dugaan persetubuhan terhadap seorang anak di bawah umur M (14) yang diduga dilakukan oleh anak dari seorang kiai AH (21) di salah satu lembaga keagaaman di Kecamatan Plumpang, Kabupaten Tuban, menambah daftar panjang kekerasan seksual terhadap anak di Jawa Timur.

 Diketahui, pada tahun 2020 lalu tercatat ada 162 jumlah kasus dan pada tahun 2021 jumlah tersebut meningkat hingga duakali lipat yaitu 363 kasus. Sedangkan sampai pertengahan tahun 2022 saat ini terdapat sekitar 126 kasus.

Terkait: Santriwati di Tuban Diduga Jadi Korban Pencabulan Putra Kiai Hingga Melahirkan, Orang Tua Takut Melapor

 Melihat situasi tersebut, maka Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Koalisi Perempuan KP) Ronggolawe mendesak pihak kepolisian segera menangkap terduga pelaku kasus pencabulan di Kecamatan Plumpang  tersebut.

“Disamping itu, juga meminta kepada Pemerintah Kabupaten Tuban untuk melakukan tindakan dan penanganan dengan cepat dan tanggap untuk memberikan perlindungan bagi korban dengan mengerahkan semua perangkatnya,” Ujar Ketua KP Ronggolawe, Suwarti dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (23/7/2022).

Menurut keteranganya, setelah mendapatkan adanya laporan tersebut, pihaknya sempat melakukan tindakan advokasi serta pendekatan kepada keluarga korban. Akan tetapi, respon pertama kali dari ibu korban sangat tegang dan begitu terlihat mengalami tekanan psikologis.

Terkait: https://bloktuban.com/2022/07/23/pondok-pesantren-tempat-santriwati-tuban-korban-pencabulan-tak-miliki-izin-kemenag/

 “Ibu korban dengan terpatah-patah selalu mengatakan ‘sudah diselesaikan secara kekeluargaan, kami sudah diberi uang sama keluarga Pondok Pesantren. Tidak apa-apa mbak, bayi yang ada dalam kandungan anak saya keturunan kiai, setelah melahirkan anak saya akan dinikahi dan semua biaya akan ditanggung,” jelasnya.

Dalam hal ini, KP Ronggolawe masih mencoba untuk mendorong ibu kandung korban agar kasus tersebut diselesaikan secara hukum, dengan memberikan pendampingan hukum yang melibatkan pengacara beserta paralegal, konseling hingga pendampingan berkelanjutan. Namun, ibu korban lagi-lagi menolak dengan alasan telah diselesaikan secara kekeluargaan.  

“Menurut analisis temuan fakta di lapangan, kami sangat menghawatirkan jangan-jangan korbannya bukan hanya satu anak melainkan masih ada beberapa anak yang menjadi korban kebiadapan terduga pelaku,” paparnya.

Terkait: Sidang Perdana Guru Spiritual Tuban Didakwa Setubuhi dan Cabuli Tiga Anak

Dalam situasi apapun, KP Ronggolawe menilai jika menikahkan korban dengan terduga pelaku bukanlah solusi dan pilihan yang baik. Kendati hal tersebut dilakukan agar permasalahan  cepat selesai dan menutup aib. Oleh karena itu, pihaknya menilai jika perspektif tersebut harus segera diluruskan.

Bahkan yang lebih membahayakan adalah perspektif dari masyarakat secara umum yang bisa saja menganggap jika kasus kekerasan seksual dan menghamili seorang anak tidak mendapatkan sanksi hukum yang berat. Sebab, kasus kekerasan seksual bisa diselesaikan secara kekeluargaan dan pelaku terbebas dari jerat hukum.

“Dalam situasi seperti itum pastinya kita sudah bisa membayangkan hidup dalam satu rumah  dengan terduga pelaku kekerasan seksual. Pastinya korban mengalami tekanan psikologis yang sangat berat dalam relasi kuasa yang timpang antara korban dan pelaku,” katanya.

Oleh karena itu, KP Ronggolawe sangat berharap agar negara hadir dalam mengimplementasikan mandat UU No. 22 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan menggerakkan sistem koordinasi yang baik atas keberadaan lembaga negara di setiap Kabupaten ataupun Kota. [Sav/Dwi]

 

 

Temukan konten Berita Tuban menarik lainnya di GOOGLE NEWS