Pandemi Covid-19 Terus Berlanjut, Perajin Gerabah Ngadirejo Berpindah Haluan

Reporter: Savira Wahda Sofyana

blokTuban.com – Pandemi Covid-19 memang membawa dampak perubahan besar bagi  masyarakat, termasuk para pelaku usaha. Bahkan tidak sedikit para pelaku usaha yang gulung tikar saat pandemi melanda Indonesia.

Namun hal tersebut tidak berlaku pada iismiyati, salah satu perajin gerabah yang ada di Desa Ngadirejo, Kecamatan Rengel, Kabupaten Tuban. Disaat satu persatu perajin gerabah berhenti, perempuan yang akrab dipanggil iis tersebut justru kebanjiran orderan di masa pandemi ini. Kamis (20/1/2022)

Kondisi  tersebut terjadi lantaran ia berpindah haluan. Dari yang semula ia membuat gerabah dalam bentuk celengan, kendil, cobek, dan lain-lain, saat ini ia beralih membuat pot bunga.

Hal itu dilakukannya bukan tanpa alasan, Iis mengatakan jika di masa pandemi masyarakat sering menghabiskan waktu di rumah dengan menanam bunga. Oleh karena itu ia memanfaatkan momen tersebut.

“Sekarang ini saya bikin pot bunga sejak pandemi, dulunya saya cat warna seperti keramik tapi sekarang mintanya bukan yang cat-cat-an sekarang adanya yang warna terra cotta, kalau yang warna-warna adik saya yang buat,” ucapnya saat ditemui blokTuban.com di rumah produksinya.  

Ada banyak motif dan model yang ditawarkan mulai dari motif strawberry, bulan, garis-garis, hingga bola-bola. Selain pot bunga, saat ini perempuan ramah itu juga membuat berbagai gerabah lainnya seperti tempat makan kucing dan kelinci yang dipasarkan hingga ke luar pulau.

Harga yang dibandrol dari gerabah-gerabah buatan Iis tersebut sangatlah murah, mulai dari Rp2.500 hingga Rp60 ribu tergantung model dan ukurannya. Hal itulah yang menjadi salah satu pemicu banyaknya masyarakat yang membeli barang padanya. Selain itu, kualitas dari gerabahnya juga sudah tidak perlu ditanyakan lagi.

“Kalau tempat makan ini sudah bertahun-tahun, ini ada yang sudah 3 tahun langganan,  tengkulak ambilnya Rp2.500 dari sini. Terus orangnya ngelemparnya jauh-jauh sampai Malang, Mojokerto pokok sampai luar pulau juga yang seperti gini,” jelasnya.

Ia melanjutkan jika kendala yang sering dialami pada usaha yang dirintisnya sejak tahun 2002 bersama keluarganya itu terjadi pada saat musim hujan tiba. Pasalnya, gerabah-gerabah buatannya akan susah untuk mengering.

Yang semula hanya membutuhkan waktu sekitar satu minggu, kini proses pengeringan bisa memakan waktu hingga dua minggu lamanya. “Kalau tidak benar-benar kering kalau dibakar bisa pecah, jadi harus benar-benar kering, tapi saya bersyukur karena tidak banjir” katanya.

Dengan demikian, perempuan berusia 40 tahun ini berharap jika usaha turun temurun dari keluarganya tersebut bisa terus diberikan kelancaran dan memiliki generasi penerus setelahnya. [sav/sas]