Gurat Canting Perempuan Mandiri di Tasikharjo

 

Reporter: Edy Purnomo

blokTuban.com – Aspal jalan terlihat basah di Desa Tasikharjo, Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban. Hujan baru saja mengguyur desa itu pada Selasa, 9 November 2021. 

Seorang perempuan dengan anaknya, menyambut di salah satu bangunan sederhana berukuran sekitar 5x15 meter. Ruang ini disekat menjadi 3 bagian. Bagian belakang beratap dengan dinding terbuka dipergunakan mewarnai batik, sekat bagian tengah bangunan lebih tertutup dimanfaatkan membatik, dan bagian depan dipergunakan untuk menjahit dan meletakan display kain batik jadi untuk dijual.

Saat melihat bangunan ini. Yang paling mencolok adalah papan yang terpasang di bagian depan bangunan yang menghadap langsung ke jalan raya. “Batik Sekar Tanjung” tulisan di papan itu. Dari papan ini juga bisa diketahui kalau batik ini merupakan salah satu program Coorporate Social Responsibility (CSR) Pertamina melalui Fuel Terminal Tuban.

“Sebelumnya tidak ada pembatik di sini (Desa Tasikharjo),” kata Susiani (33), kepada blokTuban.com.

Selama ini sejarah Desa Tasikharjo memang tidak pernah dikenal sebagai desa pembatik. Desa ini adalah desa petani dan petambak, juga berada dekat di pantai kawasan Tanjung Awar-awar Kecamatan Jenu. Desa ini adalah salah satu desa ring 1 dari keberadaan Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) milik Pertamina yang sekarang menjadi Fuel Terminal Tuban.

Sekarang bisa dikatakan desa ini mencetak sejarah baru sebagai pembatik. Tepatnya pada tahun 2016 lalu. Hasil Focus Group Discussion (FGD) yang digelar oleh perusahaan, pemerintah dan warga menyepakati mereka akan bersama-sama mengembangkan batik Tasikharjo. Selain batik, warga di desa ini juga memilih pembuatan pupuk organik.

“Saya dan teman-teman kemudian diundang, untuk diberi bekal pendidikan mengenai batik,” kata Susiani yang juga menjadi ketua kelompok Sekar Tanjung ini.

Tahun 2016 adalah titik tolak bagi sebagian perempuan Desa Tasikharjo. Mereka mulai merajut mimpi untuk menjadi pegiat batik dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di tanah kelahiran sendiri. Sebagai perempuan yang awalnya lebih banyak waktu kosong di rumah, mereka saat itu mulai belajar membatik dengan bantuan trainer yang disediakan Pertamina.

Awal program batik baru sekitar 20 perempuan yang terlibat. Tapi berjalannya waktu, sekarang anggota mereka di UMKM Batik Sekar Tanjung Tasikharjo sudah mencapai 32 orang. 

Awalnya Banyak Waktu Terbuang

Perajin batik tengah memproses hasil karya mereka. (foto: istimewa)

Pursari (25), masih terlihat sibuk di lokasi batik Sekar Tanjung Tasikharjo. Dia berada di bangunan bagian belakang. Melunturkan sisa-sisa malam menggunakan air yang dipanaskan dari tungku.

“Batik ini sudah jadi, tinggal melarutkan lilin dan dijemur,” kata Pursari.

Dengan telaten, Pursari menjelaskan proses membatik yang ternyata tidak mudah. Dimulai dari menyiapkan kain putih, membuat pola dengan cap dan canting, mewarnai, kemudian proses terakhir adalah melarutkan lilin dan menjemur.

Proses yang diperlukan tidak cukup hanya satu atau dua hari. Tapi bisa membutuhkan waktu sampai satu minggu. Untuk batik dengan pola dan warna tertentu, proses canting dan pewarnaan bisa lebih rumit.

“Seperti mewarnai, kalau batik warna coklat akan lebih sulit,” kata Pursari.

Proses yang sulit sempat membuat semangat mereka kembang kempis di awal belajar. Awal program di 2016, hanya ada 20 peserta. Beberapa perempuan sempat berpikir untuk berhenti karena berbagai alasan.

“Kami berusaha saling memberikan semangat, agar batik Tasikharjo ini terus berproduksi dan dijual,” kata Susiani yang menjadi ketua kelompok.

Kemudian di tahun 2017, mereka kembali mendapatkan pelatihan untuk kedua kali. Selain berlatih untuk meningkatkan kualitas produk batik, mereka juga diajarkan untuk berorganisasi dan mendirikan kelompok batik bernama Batik Sekar Tanjung. 

Kelompok ini semakin berkembang. Sekarang sudah ada 32 perempuan yang bergabung. Mereka tidak hanya membatik di tempat yang disediakan, tetapi juga ada yang dikerjakan di rumah sehingga tidak mengganggu aktivitas utama di rumah.

“Kebanyakan dibawa pulang, karena kalau dibawa pulang waktunya bisa dikerjakan kapan saja setelah pekerjaan rumah selesai,” jelas Susiani.

Selain produksi, pemasaran mereka terus berkembang. Melayani penjualan offline dan online. Mereka sudah melayani pesanan seragam untuk pemerintah, himpunan guru, Pertamina, dan bahkan melayani pesanan dari Madura.

Harga batik yang dijual cukup terjangkau. Mulai dari Rp100 ribu sampai Rp200 ribu. Sekarang mereka sudah mulai kreatif, sisa potongan kain batik mereka daur ulang menjadi aneka souvenir tas dan dompet. Harganya juga terjangkau mulai dari 15 ribuan sampai ratusan ribu.

“Ibaratnya kalau dulu (sebelum adanya batik) terlalu banyak waktu longgar, sekarang malah waktunya padat. Alhamdulillah lebih bermanfaat waktunya,” terang Susiani.

Dengan adanya batik mereka mulai bisa menambah pemasukan keluarga. Sekarang mereka mulai semangat, karena meski masih baru, sudah bisa mendapatkan omset puluhan juta dalam setahun.

Bergerak Bersama Untuk Kemandirian

Kepala Desa Tasikharjo, Damuri, terus mendukung segala upaya demi kemajuan desa yang dia pimpin. Pertamina Fuel Terminal Tuban diakuinya memberikan program CSR batik yang menyasar para perempuan.

“Saya mendukung karena program CSR ini dilakukan secara berkelanjutan,” kata Damuri.

Batik Tasikharjo sudah mulai dilirik pasar. Prospek kedepan juga sangat menjanjikan. Dia menyebut Pemerintah Kecamatan Jenu sudah memesan untuk semua pegawai. Bahkan penjualan sudah tembus ke Madura. Selain itu ada Pertamina yang terus mempromosikan batik ini.

Setelah adanya batik, Tasikharjo berharap pupuk organik yang mulai diproduksi dengan CSR dari perusahaan bisa ikut berkembang. Pupuk organik juga mempunyai pasar yang menjanjikan.

Kerajinan batik adalah sejarah baru yang ada di Desa Tasikharjo. Hal ini juga diungkapkan Camat Jenu, Moch. Maftuchin Reza. Dulu warga Desa Tasikharjo tidak ada yang membatik, mereka adalah petani, buruh tani, berkebun, dan sebagian adalah petambak.  Untuk perempuan terbanyak berada di rumah melakukan pekerjaan rumah tangga.

“(Sebelum 2016) Bahkan tidak disebut sama sekali sebagai desa pembatik,” kata Riza.

Batik Sekar tanjung baru ada di tahun 2016. Saat Fuel Termina Tuban milik Pertamina menyalurkan CSR. Meski baru, tetapi batik ini mempunyai corak yang khas tanjung awar-awar (sesuai nama lokasi) dan mempunyai perpaduan yang unik. Pembatik di desa ini juga kreatif karena selalu mempunyai motif terbaru.

Proses berkembangnya batik Tasikharjo tidak lepas dari kolaborasi semua kalangan. Riza menjelaskan selain kerja keras dari perempuan yang sekarang membatik, ada peran dari pemerintah, pemerintah desa, tokoh masyarakat, dan PT Pertamina Fuel Terminal Tuban sebagai penyalur program CSR. 

Pemerintah terus memberikan dukungan agar program batik ini berkembang. Diantaranya dengan gencar melakukan promosi dengan memakai batik Tasikharjo seperti yang dicontohkan pegawai kecamatan,  Pemdes menjembatani untuk mendapatkan CSR, memberikan bantuan dalam pemasaran, dan memotivasi serta memberikan tempat dan mencarikan modal termasuk keberlanjutan pogram CSR.

Camat Jenu berharap batik Tasikharjo bisa menjadi salah satu produk unggulan dan tembus tingkat nasional untuk pemasaran, memberikan penghasilan tambahan baik bagi para pembatik ataupun orang lain, dan berpesan agar ibu-ibu penerima CSR bisa terus mengembangkan minat dan bakatnya.

Camat berharap potensi batik terus dikembangkan. Salah satunya dengan lebih menata sistem pemasaran offline dan online, juga diberi kesempatan untuk mengikuti even batik disemua tingkatan.

Tasikharjo bisa disebut sebagai desa dengan potensi yang lengkap. Dikelilingi industri, mempunyai potensi wisata berupa wisata religi dan pantai, dan mempunyai pertanian dan tambak.

Sebagai perusahaan yang menyalurkan CSR, Pertamina mempunyai prioritas di bidang pemberdayaan masyarakat dan lingkungan. Semua program yang digulirkan terlebih dulu melalui pemetaan sosial agar program bisa tepat sasara.

“Dalam melaksanakan program CSR, Pertamina menggandeng mitra yang kompeten dan berpengalaman sehingga program ini bisa bermanfaat untuk masyarakat,,” jelas Unit Manager Communication & CSR Pemasaran Regional Jatimbalinus, Deden Mochamad Idhani.

Selama penyusunan program Pertamina Marketing Operation Region V (MOR V) selalu melibatkan 3 komponen yaitu masyarakat penerima program, pemerintah, dan swasta atau perusahaan.

Program yang diberikan mempunyai tujuan. Yang utamanya berharap masyarakat di sekitar wilayah operasi bisa mandiri dan tidak bergantung 100 persen pada perusahaan. Proses ini memang tidak mudah dan dibutuhkan waktu yang berkesinambungan. Karena kebanyakan orang menginginkan program itu berhasil secara instan.

Deden menjelaskan, sepanjang tahun 2021 di wilayah Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Pertamina sudah merealisasikan 40 program CSR. Sebagian besar program tersebut terdiri dari bidang Pemberdayaan Masyarakat, Lingkungan dan Kesehatan.

Meski awalnya Tasikharjo tidak ada dalam catatan sebagai desa penghasil batik. Tapi kini, beberapa perempuan mandiri di sana terus berusaha untuk menciptakan sejarah baru. Sebagai penerus warisan budaya bangsa yang diakui dunia. [lis]