Melestarikan Olahraga Tradisional, Cukupkah Dengan Kompetisi?

Oleh: Zein at Tubany el Jawy*)

pong pong bolong

pong pong bolong

dumerang ducabe

pecaho ngisor dewe

ri uri ri uri

jang anjang widadar

cleret gombel tiba umplung

kembangmu kembang opo ?

. . . . . . . . .

blokTuban.com - Teks diatas adalah lirik lagu dolanan atau permainan tradisional Pong Pong Bolong yang dulu biasa dimainkan anak-anak untuk mengisi waktu luang (mtbfm.co.id). Permainan ini melatih kesabaran dan kebersamaan pada anak-anak, serta melatih bersosialisasi sekaligus berkomunikasi dengan dialek jawa untuk memahami maknanya.

Permainan ini memerlukan banyak referensi tentang nama-nama bunga di lingkungan sekitar, dan dituntut mencari padanan kata supaya sesuai dengan kata-kata jawaban. Bagusnya permainan ini adalah tidak adanya pemain yang dinyatakan sebagai pemenang ataupun kalah, juga tidak ada pemain yang harus menerima hukuman apabila melakukan kesalahan. Bagi yang terlambat menjawab resikonya hanya akan ditertawakan sesama pemain lain saja. Jadi permainan ini hanya bersifat hiburan belaka.

Walaupun begitu permainan ini mampu memberikan edukasi yang sangat kuat kepada anak-anak tentang jiwa kebersamaan, kerjasama, tanggungjawab, saling menghargai serta menuntut pengetahuan, kecepatan dan ketepatan (responsif) dalam menjawab setiap pertanyaan yang muncul. Sarana edukasi tentang pembentukan budi pekerti luhur sesuai masa pertumbuhan dan perkembangan fisik serta psikologis anak.

Pong Pong Bolong hanyalah salah satu dari sekian banyak permainan tradisional yang ada dan berkembang di Indonesia. Hampir setiap daerah memiliki keragaman dan kekayaan permainan tradisional sehingga tidak dapat dipastikan berapa banyak jumlah, jenis dan dari daerah mana permainan itu berasal. Mungkin ada kesamaan dalam praktiknya, tapi bisa berbeda nama dan tata aturan mainnya. Hal ini menunjukkan betapa kayanya khazanah permainan tradisional Indonesia. 

Bagi generasi yang lahir pada era tahun 60 atau 70-an permainan tradisional masih cukup familiar. Kalaupun tidak pernah mempraktikkan tapi setidaknya pernah mendengar atau melihatnya. Pada era tersebut permainan tradisional menjadi pilihan utama bagi anak-anak bermain, berinteraksi dengan teman sebayanya karena belum banyak permainan modern. Banyak kisah menarik dari mereka tentang permainan tradisional yang menjadi bagian kenangan hidup yang tidak bisa dilupakan.

Dalam perkembangannya beberapa permainan tradisional tersebut kemudian bertransformasi menjadi olahraga tradisional, atau sekarang dikenal dengan istilah olahraga masyarakat. Tujuan dari olahraga masyarakat adalah membudayakan aktivitas fisik, menumbuhkan kegembiraan, mempertahankan, memulihkan dan meningkatkan kesehatan serta kebugaran tubuh, membangun hubungan sosial, melestarikan dan meningkatkan kekayaan budaya daerah dan nasional, mempererat interaksi sosial yang kondusif dan memperkokoh ketahanan nasional, dan meningkatkan produktivitas ekonomi nasional (Pasal 19, UU Nomor 11 tahun 2022 tentang Keolahragaan).

Olahraga tradisional dagongan, sumpitan, gobak sodor, terompah panjang, egrang dan sebagainya kemudian mulai hadir dan dikenalkan kembali di tengah khalayak. Sebagai olahraga kehadirannya memerlukan seperangkat aturan permainan agar bisa menjadi dasar untuk dapat diterima dan dimainkan kalangan masyarakat yang lebih luas. Tidak hanya terpusat pada suatu daerah tertentu, tetapi diharapkan mampu berkembang secara global.

Selanjutnya setelah kondisi yang demikian berlangsung maka akan memantik lahirnya kompetisi yang diikuti peserta dari berbagai daerah. Kompetisi yang dapat menumbuhkan eksistensi dan mengukur keberhasilan pembinaan olahraga tradisional. Saat ini olahraga masyarakat tidak hanya berasal dari akar olahraga tradisional saja melainkan sudah meluas dan bercampur dengan olahraga rekreatif.

Pada era ketika perkembangan teknologi dan informasi yang berlangsung sangat pesat sehingga berpengaruh terhadap gaya hidup dan pola perilaku masyarakat, maka berdampak pula terhadap keberlangsungan olahraga tradisional. Perkembangan olahraga tradisional menjadi terhambat dan tidak sehat, dan jika dibiarkan maka pelan-pelan akan mengalami kematian.

Era digitalisasi yang tengah melanda dunia saat ini telah menggerus kebiasaan lama dan merubah tata kehidupan manusia. Arus deras teknologi memasuki semua sisi kehidupan dengan begitu cepat sehingga merubah pola pikir menjadi serba pragmatis. Situasi seperti ini tidak bisa dihindari dan menjadi penyebab utama ambruknya pondasi bangunan olahraga tradisional. Mengakibatan olahraga tradisional terpuruk dan hampir punah karena sepi peminat.

Anak-anak era milenial lebih menyukai olahraga rekreatif kekinian yang lebih modern. Apalagi dengan munculnya game-game online yang menyerbu pasar dunia serta munculnya Electronic Sport (E-Sport), mengakibatkan olahraga tradisional semakin termarginalkan karena dianggap kalah bersaing, tidak menarik perhatian lagi serta tidak mampu menjawab apa yang menjadi keinginan generasi zaman sekarang. Olahraga tradisional dianggap kuno dengan aturan yang konvensional. Inilah sebenarnya tantangan atau musuh terbesar dalam upaya melestarikan olahraga tradisional.

Imbas dari situasi seperti ini juga dirasakan di Kabupaten Tuban. Olahraga tradisional khas Tuban tergerus perubahan zaman dan lambat lambat laun hilang dari permukaan. Tidak dijumpai lagi masyarakat yang mengisi waktu luangnya dengan melakukan olahraga tradisional. Olahraga Gelut Pathol yang sangat melegenda di Tuban pun kini nyaris punah (Seputar Mbulu : 2014 dan Sport Tourism.id : 2017). Demikian pula pencak dor, benthik, kekean, gejig dan permainan lainnya tak terdengar lagi aktivitasnya di masyarakat. Kalaupun muncul paling hanya sekedar pelengkap penghias di antara kegiatan Agustusan.

Menyikapi situasi dan kondisi yang demikian tentu diperlukan sebuah upaya mempertahankan agar olahraga tradisional tetap lestari di Indonesia secara komprehensif dan terukur.  Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah dengan menggelar kompetisi secara ajeg, berjenjang dan berkelanjutan. Karenanya pada rentang waktu tahun 2017 sampai 2020 Pemerintah Kabupaten Tuban melalui organisasi perangkat daerah terkait secara rutin setiap tahun mengagendakan kompetisi olahraga tradisional (Times Indonesia, 8 Oktober 2019).

Segmen yang dibidik adalah atlet-atlet usia pelajar. Sasaran ini dipilih karena atlet usia pelajar notabene adalah kelompok masyarakat yang belum mengenal olahraga tradisional, juga sebagai upaya mengenalkan dan menanamkan sejak usia dini rasa bangga terhadap olahraga tradisional warisan budaya bangsa sendiri. Selain itu dengan kompetisi secara periodik akan menjadi ajang sosialisasi kepada masyarakat.

Pertanyaannya, apakah cukup hanya dengan berkompetisi ? Apakah kompetisi mampu menjadi jawaban atas semua problematika ? 

Tentu saja tidak. Masih diperlukan lagi berbagai ikhtiar agar keberadaan olahraga tradisional tetap lestari di bumi nusantara. Supaya olahraga tradisional menjadi kebanggaan anak bangsa, bahkan bisa mendunia. 

Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh dalam upaya pelestarian olahraga tradisional,

  1. Memasukkan materi olahraga tradisional pada kurikulum sekolah. Terintegrasi ke dalam materi mata pelajaran Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan (PJOK), atau mata pelajaran lain yang relevan seperti Seni Budaya dan Bahasa Daerah misalnya. Bisa juga masuk pada materi Muatan Lokal. Apabila terbentur karena alasan regulasi sehingga hal tersebut tidak bisa dilakukan maka alternatifnya adalah memasukkan pada kegiatan ekstra kurikuler sekolah.
  2. Membentuk Sentra Pembinaan olahraga tradisional di seluruh kecamatan atau zona wilayah tertentu. Misalkan di kecamatan A melaksanakan sentra pembinaan olahraga Gulat Pathol. Kemudian kecamatan B melaksanakan pembinaan Pencak Dor. Pada kecamatan C dan seterusnya juga demikian. Penentuan cabang olahraga tradisional yang akan dikembangkan berdasarkan pertimbangan atas kondisi dan potensi yang dimiliki masing-masing daerah.
  3. Pengembangan penyelenggaraan kompetisi. Selain pentingnya kalender kompetisi yang ajeg, berjenjang dan berkelanjutan sebagaimana yang sudah berjalan selama ini, maka perlu pengembangan dengan menambah jumlah nomor lomba, atau jumlah event sehingga dalam satu tahun ada 2-3 event resmi di tingkat Kabupaten. Kemudian venue pelaksanaan lomba bisa di tempat wisata, hotel, saat car free day, atau moment lain yang dihadiri masyarakat. Selanjutnya juara dari masing-masing nomor lomba dan tingkat kompetisi diikutkan pada jenjang kompetisi regional dan nasional.
  4. Memperbarui pengetahuan dan informasi tentang olahraga tradisional dan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia. Baik pelatih, atlet, pembina serta petugas lomba harus selalu mengikuti setiap perkembangan yang terjadi dengan mengikuti atau mengadakan pelatihan, penataran, seminar dan diskusi-diskusi kekinian terkait olahraga tradisional. Semakin banyak sumber daya manusia berkualitas yang terlibat maka akan semakin bagus bagi pengembangan olahraga tradisional.
  5. Mengadakan sosialisasi dan koordinasi secara terus menerus kepada masyarakat dan stakeholder terkait, termasuk dengan dunia industri dan dunia usaha akan keberlangsungan pembinaan dan pengembangan olahraga tradisional. Hal ini penting dilakukan agar ada keterlibatan, sinergitas, rasa memiliki dan pemahaman yang sama dari semua pihak. Bahwa upaya pelestarian olahraga tradisional perlu kesungguhan dan menjadi tanggungjawab bersama.

Memang sulit mempertahankan nilai-nilai tradisi warisan budaya bangsa di tengah perubahan tata dunia baru yang mengglobal. Berkemajuan tanpa meninggalkan nilai-nilai tradisi yang baik dan relevan  Akan tetapi seberat dan sesulit apapun ikhtiar harus terus dilakukan dengan cara-cara baru sesuai tuntutan keadaan. Apapun hasilnya yang terpenting setidaknya pernah mencoba. Kalau bangsa-bangsa lain bisa, kenapa kita tidak ?

 

*) penulis merupakan pegiat dan penyayang olahraga, tinggal di zeinattubany@gmail.com