Kue Pleret Khas Desa Bangunrejo Soko Tuban yang Fenomenal

Penulis : Leonita Ferdyana Harris

blokTuban.comDesa Bangunrejo merupakan salah satu desa yang termasuk ke dalam Kecamatan Soko, Kabupaten Tuban dengan jumlah penduduk terdata kurang lebih sebanyak 4000-an jiwa. Diperlukan durasi waktu perjalanan kurang lebih 1jam dari pusat kota Tuban untuk dapat berkunjung ke desa ini.

Desa dengan mayoritas pekerjaan penduduknya ialah bertani ini dibagi menjadi dua dusun, Senin (27/11/2023). Secara geografis, Desa Bangunrejo Kecamatan Soko berbatasan langsung dengan Desa Prambongertanyang di sebelah barat, Desa Sokosari di sebelah timur, Desa Mentoro di sebelah selatan, dan Desa Sumurcinde di sebelah utara.

Dilansir dari data RPJM desa, luas kewilayahan yang dimiliki oleh desa sebesar 416 KM persegi yang sebagian besar didominasi oleh area persawahan penduduk. Dengan presentase di atas maka bukan hal yang aneh jika produk yang diunggulkan desa ini merupakan bahan olahan dari beras padi.

Produk tersebut dinamai Kue Pleret. Produk jadi ini sering di produksi oleh penduduk terutama ibu-ibu rumah tangga untuk disajikan kepada tamu, pendatang, keluarga, atau dijual secara luas. Bahan utamanya yaitu menggunakan tepung beras.

“Sebenarnya di Tuban dan Bojonegoro juga banyak yang memproduksi Kue Pleret tapi saya bisa klaim kalau awalnya itu berasal dari desa kita ini Bangunrejo. Sayangnya desa kita minus sekali di pemasaran sehingga kalah saing dan terkenal dibandingkan produsen-produsen lain, ” ujar Kasman (57) perangkat desa setempat kepada blokTuban.com. 

Kue yang sempat viral di era 60-an ini biasanya dibuat oleh penduduk ketika menjelang acara sedekah bumi pada sekitar bulan Juli setiap tahunnya saat panen raya selesai. 

Sedekah bumi sendiri masih merupakan salah satu adat yang dilestarikan oleh penduduk dengan mengadakan kegiatan manganan di 3 titik keramat yaitu makam dan sumur.

Saat budaya manganan atau sedekah bumi, jajanan ini akan banyak dijumpai karena seolah ciri khas yang dimiliki oleh desa. Namun, sayangnya sampai saat ini pihak pemerintah desa belum memiliki gagasan untuk mengembangkan pemasaran produk ini baik secara digital maupun langsung.

“Kita belum ada arah untuk membuat wisata atau desa budaya dan sebagainya untuk bisa mendongkrak penjualan produk ini karena potensi alam kita sendiri belum ada yang cukup untuk dapat menarik perhatian pengunjung datang kesini. Lahan kita ini kan terbilang kecil. Memang ada sedikit batuan prasasti peninggalan Hindu Budha tapi belum cukup, anggarannya lebih baik kita relokasikan ke kegiatan pembangunan yang lebih memiliki urgensi,” tambah Sunarto (58) perangkat desa lain. [Leo/Ali]