Mitos Kesenian Reog Takut Pentas di Desa Pucangan Montong Tuban

Penulis : Ahmad Nawaf Timyati Fandawan

blokTuban.comPucangan merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Montong, Kabupaten Tuban. Desa yang memiliki luas yang terbilang lebar dengan sekitar 4.507,29 Hektare ini terbagi menjadi 3 dusun yakni Krajan, Grogolan dan Dusun Jurangan.

Dengan luas wilayah yang terbilang besar yang terletak di sebelah Timur Ibukota Kecamatan Montong, Desa Pucangan dihuni oleh penduduk kurang lebih sekitar 5.000 an jiwa yang mana profesi penduduknya mayoritas sebagai petani dikarenakan wilayahnya sendiri yang berupa perbukitan.

Desa Pucangan berbatasan langsung dengan Desa Padasan Kecamatan Kerek di sebelah Utara, Desa Pongpongan Kecamatan Merakurak di sebelah Timur, Desa Pakel dan Desa Jetak Kecamatan Montong di sebelah Selatan, dan Desa Montongsekar Kecamatan Montong di sebelah Barat. Desa Pucangan sekarang dipimpin oleh Santiko (51) selaku Kepala Desa, Senin (13/11/2023).

Dibahas mengenai sejarahnya, di setiap desa tentu saja memiliki sejarah serta cerita terbentuknya sebuah desa tersebut, seperti halnya dengan Desa Pucangan cerita yang diambil dari RPJM desa yang bersumber pada sesepuh Desa Pucangan. 

Diceritakan bahwa pada zaman dahulu ada seorang jejaka yang memiliki nama Jaka Supa, putra dari Tumenggung Supradiya seorang Wedana Empu dari Kerajaan Majapahit (Empu adalah seseorang yang mempunyai keahlian dalam membuat sebuah pusaka sakti untuk kepentingan seseorang menjaga keamanan diri dan sebagai penolak bala dari wabah atau penyakit pada zaman dahulu).

Datang Jaka Supa di Kabupaten Tuban adalah untuk menemui Sunan Kalijaga dengan tujuan untuk mengantarkan nawala (Surat undangan) dari Sultan Demak Bintoro yang isinya tentang musyawarah untuk pendirian masjid Demak. 

Setelah mengantarkan surat undangan tersebut dari Tuban Jaka Supa berkelana kearah barat daya melewati daerah hutan belantara. Daerah yang dilewati Empu Supa tersebut masih terbilang jarang dihuni oleh manusia yang mana hanya dihuni oleh orang – orang yang berladang saja.

Pada suatu hari Jaka Supa sampai di suatu tempat yang bernama Koro. Kata Koro sendiri konon menurut cerita yakni adanya dua (loro) pohon jati yang digunakan untuk tiang (Soko) masjid Demak yang mana menjadi nama Koro yang berasal dari kata Soko (Tiang) dan Loro (Dua). 

Di tempat tersebut Jaka Supa merasa haus lalu minta air untuk minum kepada orang yang ditemui di ladang tersebut, namun oleh orang tersebut tidak diberi padahal Jaka Supa sudah mengiba agar diberikan air dikarenakan sangat haus. 

Dengan kesalahannya orang yang tidak mau memberikan air tersebut karena kepelitannya Jaka Supa lalu mengucapkan seraya meminta kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar daerah tersebut kesulitan mandapatkan air, karena ucapannya Jaka Supa yang diijabahi oleh Sang Maha Kuasa maka hal tersebut benar – benar terjadi.

Selanjutnya Jaka Supa melanjutkan perjalanannya menuju ke arah Barat, dikarenakan sangat letih dan rasa haus yang sangat serta tenaganya menjadi sangat lemah membuat Jaka Supa tidak mampu lagi untuk berjalanan sehingga berhenti yang dalam bahasa Jawa Berarti Mopo di tengah suatu ladang yang ditanami oleh tanaman kacang (Mopo Ning Kacangan). 

Kebetulan pada saat itu ada penduduk yang berada di ladang tersebut lalu menolong dan memberi seteguk air kepada Jaka Supa yang sedang kehausan. Jaka Supa mengucapkan terimakasih kepada petani yang menolongnya tersebut lalu mengucapkan kata “Amargo aku sing mopo ning kacangan mbok tulong nganti biso kuat maneh, mulo panggonan iki tetengger Desa Pucangan”. Akhirnya lama kelamaan diucapkan oleh penduduk setempat pada waktu itu dengan sebutan “Pucangan”.

Setelah tenaganya kembali pulih, Jaka Supa melanjutkan perjalanannya ke arah Barat dan beristirahat di suatu tempat yang ada banyak pohon pinangnya atau pohon jambe yang mana dalam bahasa Jawa pohon pinang dinamakan Pucang. 

Di tempat tersebut Jaka Supa menancapkan/ menggali tanah dengan memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk dijadikan sebuah sumur untuk mendapatkan air maka keluarlah air yang sangat jernih, kemudian oleh warga setempat dibuatkan sebuah sumur dan hingga saat ini dirawat serta dimanfaatkan warga setempat untuk kebutuhan sehari – hari. Meilhat keadaan yang mana sumber mata airnya yang besar maka diberi nama Sumur Gedhe Pucangan.

Dibahas mengenai tradisinya sendiri Santiko (51) selaku Kepala Desa Pucangan menuturkan bahwa warga Desa Pucangan masih melakukan tradisi sedekah bumi di Makam sesepuh desa yang bernama Mbah Wisonegoro dan juga di Sumur Gedhe Pucangan yang dilaksanakan setiap bulan Suro dan di hari Jumat Legi yang dilaksanakan bersamaan untuk acaranya sendiri juga diiringi dengan pengajian dan Haul dimakam Mbah Wisonegoro.

“Sedekah bumi ada jadi di Makam Mbah Wiso itu terus di Sumur Gedhe itu setiap bulan Suro itu pasti ada sedekah bumi. Jadi harinya kalau di Sumur Gedhe dan Mbah Wiso itu setiap Jumat Legi, saya sekalian (pelaksanaanya) tidak jadi dua gitu enggak. Kita pengajian jadi saya adakan Haul Mbah Wisonegoro itu setiap tahun jadi setiap Jumat jam setelah Sholat Jumatan,” Ujar pria berusia 51 tahun tersebut.

Selain itu, juga di Desa Pucangan terdapat sebuah mitos atau pantangan yaitu kesenian Reog tidak ada di Desa Pucangan yang mana konon hal itu memiliki keterkaitan dengan Mbah Warsonegoro yang mana sehingga tidak ada yang berani untuk menampilkan kesenian tersebut di Desa Pucangan seperti yang dikatakan Santiko.

“Jadi reog enggak berani masuk sini orangnya juga ga berani masuk sini ya ga tau kenapa, alasannya katanya ya ada hubungannya sama Mbah Wiso itu tapi enggak tau kenapa. Turun temurun ya reognya sendiri enggak berani kesini. Tapi enggak pernah ada reog memang enggak berani kalau berani tampil ya di lapangan Montong kalau lapangan Pucangan dia enggak berani,” Ujar Santiko yang ditambahi oleh Aparat Desa lain.

Di Sumur Gedhe tersebut juga masih sering diambil untuk campuran makanan saat akan ada hajatan atau acara – acara.

“Lah itu juga orang kalau punya hajatan biasanya ambil air di situ mungkin satu liter dua liter gitu” Tutupnya. [Naw/Ali]