Ketika Sepakbola ‘Beragama’

Oleh : Sri Wiyono 

(Pimred blokTuban) 

Di laman facebook seorang kawan mengunggah foto tangkapan layare atau screenshot status media sosial salah seorang pemain nasional sepakbola Indonesia. Dalam status tersebut, sang pemain bermimpi mempersembahkan gol di ajang piala dunia U-20 di hadapan orang tuanya.

Lalu ditambahi kata-kata ; ‘’sungguh menyakitkan mencintai sepakbola di negeri ini’’. Pemilik status facebook tersebut pasti senyum-senyum jika kebetulan membaca tulisan ini. Sungguh sebuah cita-cita yang mulia. 

Melakukan sesuatu yang terbaik untuk orangtua adalah tindakan yang mulia dalam dimensi apapun. Seluruh agama dan ajaran-jaran luhur lainnya sepakat kedudukan orang tua, terutama ibu sangat mulia. Maka tidak heran jika seorang ibu adalah seolah pengejawantahan Tuhan di dunia ini. 

Dalam islam, ibu memegang sebagian wewenang Tuhan atas anak-anaknya. Bahwa ridha atau kerelaan ibu adalah ridha Tuhan. Pun begitu pula sebaliknya, murka ibu adalah murka Tuhan atas anak-anaknya. Maka birrul walidain, atau memperlakukan kedua orang tua dengan baik adalah sebuah keharusan. Apalagi ibu yang kedudukannya tiga tingkat dibanding ayah.

Bagi seorang anak laki-laki, kewajiban pada ibunya tak pernah terputus, sampai maut sang anak menjemput. Artinya, sepanjang masa ibu punya hak atas anak laki-lakinya. Berbeda dengan anak perempuan yang kewajibannya pada ibunya gugur sejak dia menikah. Lhoo..kok ngelantur ke mana-mana? 

Kembali ke laptop….Awalnya saya tidak begitu tertarik dengan rencana drawing Piala Dunia U-20 yang bakal digelar di Bali. Untuk memelihara asupan informasi, saya sekadar membaca berita-berita terkait perhelatan olahraga sejagat tersebut.

Namun, mendadak terjadi kegaduhan. Pro kontra dan saling baku argumen mengemuka. Muncul di permukaan dan menjadi konsumsi tambahan selain kurma ketika berbuka puasa hehehe. Luar biasa gaduh dan haqqul yakin itu menaikkan viewer atau rating media yang memberitakannya. Setidaknya grafik berita terkait hal ini akan naik.

Berita soal Timnas sepak bola Israel yang akan berlaga di Indonesia menyedot perhatian sebagian publik. Ya setidaknya mereka yang faham dan yang berkepentinganlah yang tersita perhatiannya. Sebab, masyarakat kebanyakan malah tidak peduli. Mikir mencari cuan saja susahnya minta ampun di kondisi yang sekarang, boro-boro mikirin nasib Timnas Isrel, nasib sendiri saja masih tak menentu.

Maka, bisa dipetakan sebenarnya, siapa mereka yang mempersoalkan, kemudian siapa yang menolak dengan beragam argumen yang disampaikan. Sejatinya patut diyakini ada kepentingan di sana. Kepentingan politik? Sangat mungkin, wong saat ini sudah mulai masuk fase tahun politik, menjelang gawe besar politik nasional awal 2024 mendatang.

Tentu bahan atau modal dan potensi sekecil apapun yang bisa digoreng dalam urusan politik dimanfaatkan. Arahnya jelas bisa mendongkrak popularitas, mengerek bendera lebih tinggi, atau setidaknya mengenalkan pada publik bahwa mereka ada. Tujuannya? Saya kira kurang lebih ya pada urusan politik, kekuasaan wa ahlihi washahbihi ajma’in hehehe….

Ada juga yang menarik ke sudut agama. Bahwa sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia tak layak menerima Israel yang dikenal sebagai zionis, pencaplok tanah Palestina dan sebagainya dan sebagainya. Bagi yang pernah membaca sejarah tentu faham kisah ini. 

Dan sampai sekarang pun masih belum kelar urusan Israel dan Palestina. Dua negara yang sama-sama punya dukungan luar negeri tak sedikit. Ada kepentingan, tentu saja ada. Sikap Indonesia juga tegas. Dengan politik bebas aktifnya, Indonesia tegas mendukung kemerdekaan Palestina sebagai pemilik sah tanah yang sebagian duduki Israel itu. 

Namun, negara pendukung Israel tentu saja membela Israel yang ingin terus menghegemoni tanah yang sudah didudukinya. Bahkan dalam berita yang berkembang, Israel terus berupaya memperluas tanah yang diduduki dengan berbagai usaha dan cara.

Ikut memelihara perdamaian dunia, kehidupan yang bebas tanpa penjajahan serta kemerdekaan adalah hak semua bangsa adalah urat nadi sikap politik luar negeri Indonesia.  Politik luar negeri yang bebas aktif. Sikap itu tegas dan jelas termaktub dalam UUD 1945.

Dan, sampai Indonesia dipimpin Presiden Joko Widodo (Jokowi) sikap itu masih tegas dilaksanakan. Termasuk soal Palestina – Israel tersebut. Pernyataan Jokowi sebagai presiden juga sudah tegas dan jelas soal ini. 

Lalu kenapa masih bersedia menerima Timas Israel ke Indonesia? Begitu teriak sebagian pihak yang menolak. Golongan ini menarasikan bahwa Israel yang zionis itu tak layak dan tak boleh masuk ke Indonesia karena berbagai alasan politik seperti tergambar di atas.

Ini olahraga Bung !!. Begitu pihak yang menerima kehadiran Timnas Israel berkelakar. Sejak kapan olahraga, khususnya sepak bola ini punya agama. Toh sebelum ini bahkan sudah sering atlet dari Israel juga bertanding di Indonesia. Juga ada delegasi parlemen yang datang ke Indonesia, tentu jelas kepentingan politiknya, karena parlemen memang urusan politik.

Lalu kenapa yang lalu-lalu itu tak digugat, ditolak dan dibuat gaduh. Luput dari pantauan, tidak tahu atau saat itu belum ketemu alasan kepentingannya? 

Sepak bola memang olahraga rakyat, olahraga paling populer di muka bumi, sehingga barangkali layak ketika mendapat begitu banyak sorotan dan tanggapan. Apapun terkait sepak bola memang menarik dibincangkan.

Sehingga tak heran kemudian rencana Piala Dunia U-20 itu menjadi begitu populer lengkap dengan bumbu-bumbu yang menyertainya.

‘’FIFA itu punya aturan yang harus ditaati seluruh anggotanya,’’ ujar Presiden Jokowi dalam salah satu pernyataannya.  Tentu saja Indonesia yang menjadi anggota FIFA harus tunduk atas aturan induk organisasi sepak bola se jagad tersebut. Jika FIFA punya gawe dan sudah menunjuk anggotanya, tentu anggota harus melaksanakan.

Bagaimana kalau tidak dilaksanakan? Tentu ada tanggungjawab dan konsekuensi yang harus diterima sebagai anggota yang ‘mbalela’ atas keputusan organisasi. Sanksi atau hukuman yang diberikan akan ditentukan kemudian hari oleh organisasi induk. Namun, sikap menolak tugas organisasi induk itu tentu mencoreng nama Indonesia, nama PSSI sebagai organisasi sepak bola di Indonesia yang gagal mengondisikan tugas penting dari organisasi.

Sikap sinis, cemoohan, cibiran dan pandangan jelek lainnya langsung mengarah ke wajah Indonesia. Tentu saja ada sanksi yang menanti Indonesia, khususnya PSSI jika perhelatan Piala Dunia U-20 itu benar-benar gagal digelar di Indonesia. 

Karena ini adalah gawenya organisasi olahraga paling digandrungi se jagad itu, tentu imbasnya juga tak kecil bagi dunia persepakbolaan di Indonesia. Dan ini akan diikuti oleh dampak-dampak negatif lainnya, yang bisa datang dari berbagai sektor dan bidang.

Lalu harus bagaimana? Kita harus bisa memilah; mana urusan agama, mana urusan politik, mana urusan pemerintahan dan mana urusan olahraga. Olahraga mestinya tak dicampuradukkan dengan urusan politik, terlebih pada urusan agama. Meski ada kalanya urusan olahraga bahkan agama pun bisa menjadi alat dan komoditas politik. 

Namun untuk kali ini tentu bisa dikesampingkan urusan tetek bengek politik tersebut, karena ini adalah urusan olahraga; sepakbola se jagad yang akan dihelat di Indonesia. Membanggakan tentunya, di tengah prestasi sepak bola Indonesia yang masih sangat biasa di tataran dunia.

Tentu kepercayaan menjadi salah satu venue penyelenggaraan pertandingan di Piala Dunia U-20 ini juga bisa menaikkan moral para pemain, pelatih atau pihak-pihak yang berkecimpung dalam sepakbola. Dampak positifnya tentu banyak, dan masyarakat bisa mengkalkulasi sendiri kira-kira dampak baik apa saja yang mungkin didapat.

lalu, FIFA resmi mencoret Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20, alasannya adalah penolakan Indonesia atas keikutsertaan Timnas Israel dalam ajang ini. Tentu saja kegaduhan dalam negeri penyebabnya. 

Dan, mengutip pernyataan FIFA dalam situes resminya, sebagaimana banyak dibertikan media, FIFA bakal memberikan sanksi untuk Indonesia. Sanksinya masih akan dibicarakan antara FIFA dengan PSSI. Mengenaskan !!

Pembatalan itu tentu saja kerugian besar bagi Indonesia. Kerugian bagi sepak bola dan kerugian untuk PSSI. Untuk persiapan menjadi tuan rumah tentu sudah banyak pembenahan infrastruktur yang sudah dilakukan dan itu tentu membutuhkan biaya tak sedikit. 

Juga bagaimana Timnas Indonesia sudah dipersiapkan sedemikian rupa, dan tentu juga sudah menelan banyak biaya. Yang lebih penting adalah investasi skill dan pengalaman untuk pemain Timnas Indonesia juga gagal dicapai karena batal berlaga. Luka batin itu lebih pedih dari apapun.

Lalu banyak tokoh yang lalu tampil dengan muka melas dengan menyatakan kekecewaan, penyesalan dan keprihatiannya atas dibatalkannya Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20. Bahkan ada yang sebelumnya juga menyuarakan penolakan itu. Sebuah plot yang membosankan !!!.

Bagaimanapun juga PSSI bakal menerima sanksi FIFA atas gagalnya melaksanakan tugas organisasi. Bahkan ada desas-desus FIFA bakal membekukan PSSI. Berapa tahun? Belum jelas. Namun jika dibekukan tentu sudah jelas dampak buruknya. Kita tunggu bagaimana akhir dari drama ini. Wallahu a’lam.(*)