Reporter: Dina Zahrotul Aisyi
blokTuban.com - Pekerjaan tukang besi, atau yang lebih dikenal dengan pandai besi saat ini sudah mulai jarang ditemui karena tergerus oleh jaman. Sebelumnya, profesi tersebut banyak ditekuni oleh orang-orang jaman dahulu, akan tetapi karena jaman sudah semakin modern, hanya tinggal segelintir orang yang masih bertahan dan menekuni profesi tersebut.
Kelurahan Sendangharjo, Kecamatan Tuban, Kabupaten Tuban khususnya di daerah Sendangharjo Gang 1 dahulu disebut sebagai “gang pandaian” karena hampir seluruh warganya berprofesi sebagai tukang pandai besi. Namun saat ini hanya tinggal satu orang yang masih bertahan menjadi tukang pandai besi, yakni Dwi (51). Ia mengatakan usaha pandai besi miliknya sudah berdiri lebih dari 30 tahun dan merupakan usaha turun menurun dari keluarganya.
“Tinggal saya saja yang meneruskan di sini, lainnya nggak ada. Mungkin saya generasi terakhir yang melanjutkan usaha ini,” ungkapnya saat ditemui blokTuban.com pada Kamis (11/11/21).
Dwi biasa membuat alat-alat pertanian seperti arit, pisau, golok, dan berbagai macam alat-alat pertanian lainnya. Pelanggan yang memasan pada Dwipun dari berbagai macam daerah, seperti Kerek, Montong, Bancar, dan dari seluruh Kabupaten Tuban. Ia mengatakan bahwa sebenarnya tukang pandai besi masih bisa ditemukan di daerah-daerah pedesaan, hanya saja di daerah Tuban Kota sudah jarang.
Bahan yang digunakan untuk membuat alat-alat tersebut adalah campuran antara besi dan baja. Dwi biasanya membeli bahan besi-besi tersebut dari rongsokan karena jika membeli besi baru akan sangat mahal. “Harga perkilonya kalau besi rongsokan itu Rp 12.000, bahan yang lebih mahal itu bahan bakarnya buat melebur, areng ini per karung bisa Rp 125.000,” jelasnya.
Bapak tiga anak tersebut menjelaskan bahwa bahan awalnya adalah bentuk besi batangan, kemudian dipotong bagian tengahnya dan diberi baja. Selanjutnya dilebur di dalam api panas.
“Proses paling sulit itu peleburan, kalau terlalu panas besinya bisa habis, kalau kurang panas nggak bisa menyatu. Jadi ada obatnya biar tahu besi dan bajanya sudah menyatu atau belum, seperti pasir ini bentuknya. Kalau pasir ini dimasukkan ke besinya dan keluar percikan kaya kembang api berarti udah nyatu,” terangnya.
Dalam proses peleburan besi dan baja tersebut terdapat alat untuk memompa api sehingga tingkat kepanasan peleburan bisa diatur. Proses peleburan juga membutuhkan waktu lama karena harus dilakukan berkali-kali. Setelah dipanaskan, besi yang masih membara tersebut dipukul-pukul menggunakan palu agar semakin menyatu, kemudian dilebur lagi di dalam api panas, dan dilakukan proses yang sama berulang kali.
“Prosesnya lama sekali dan untuk bisa menjadi pandai besi harus memiliki keterampilan dan keahlian, saya belajarnya 15 tahun baru bisa bikin sendiri,” ungkapnya.
Karena proses pembuatan yang rumit dan alat-alat yang digunakan Dwi semuanya masih tradisional, tak heran jika dalam sehari Dwi hanya mampu membuat dua buah arit. Waktu pembuatan di setiap alatnya juga berbeda, tergantung jenisnya. Menurut Pria 51 tahun tersebut, yang paling memakan waktu adalah pembuatan calo karena membutuhkan waktu sampai satu hari untuk satu buah calo.
Selama Pandemi Covid-19, Dwi juga terkena dampak dari PPKM dikarenakan pembelinya yang banyak berasal dari luar daerah tidak bisa memesan sehingga seringkali libur saat pandemi. “Pandai besi ini sudah ada dari dulu, jadi sudah dikenal dimana-mana. Usaha ini kalau nggak terkenal juga nggak bisa jalan mungkin,” paparnya.
Selain besi, baja, dan arang, bahan lain yang paling sulit dan mahal adalah kayu untuk membuat gagang dari alat-alat yang telah dibuat Dwi. “Cari bahan kayunya sulit, pakai kayu pong. Satu wit itu Rp 400.000 belum dipotong-potong. Sensonya sendiri bisa Rp 400.000 juga perhari, belum ngirimnya. Bisa satu juta sendiri untuk bahan kayunya,” jelasnya.
Harga alat-alat dari besi yang dijual Dwi mulai dari harga Rp 100.000-Rp 200.000 tergantung ukuran dan bentuknya. Pria 51 tahun tersebut mengatakan bahwa kualitas alat-alat yang dibuat oleh pandai besi biasanya akan lebih tajam dan tahan lama. “Bahan bakunya sendiri sudah mahal, belum ditambah tenaga, dan waktunya,” pungkasnya. [din/sas]
Cerita Generasi Terakhir Pandai Besi di Kelurahan Sendangharjo Tuban
5 Comments
1.230x view