Hari-hari Menjelang Pertempuran Letda Soetjipto

Moh Jokomulyono, seorang anggota TGP dan pernah berada di bawah komando Letda Soetjipto menceritakan hari-hari menjelang pertempuran maut di medan juang Tapen, Senori.

Reporter: Edy Purnomo

blokTuban.com – Setelah menyelesaikan misi penghadangan Belanda di Mondokan, sisi barat kota Tuban, 9 Januari 1949, Letda Soetjipto langsung mengungsikan dua pasukannya yang terluka ke tempat perawatan kesehatan milik pejuang di Desa Tlogonongko, Kecamatan Semanding. Sementara dia sendiri, setelah memperkuat pasukan gerilya di wilayah Merakurak dan Montong kembali lagi ke pos pertahanan di Desa Saringembat, Kecamatan Singgahan.

Letda Soetjipto kembali menempati Desa Saringembat sebagai pos pertahanan dibawah komando Kompi Teko. Tidak lama tiba di desa ini, dia sudah meminta ijin kepada komandan kompi agar diperbolehkan melakukan gangguan pasukan Belanda yang mendiami sekitar Desa Wonosari dan Desa Banyuurip, Senori, yang menjadi wilayah keberadaan sumur minyak mentah.

Baca juga [Medan Pertempuran di Tuban Selatan]

Sudah menjadi rutinitas pasukan Belanda di era Agresi Militer ke II, melakukan patroli dan pengintaian keamanan di desa-desa Senori yang dekat dengan pos yang mereka dirikan di Desa Banyuurip.

Senin Kliwon, 21 Februari 1949, terdengar lagi kabar kalau pasukan Belanda kembali melakukan patroli dan pembersihan. Pasukan Letda Soetjipto dan mereka bergerak menyongsongnya.

“Setelah beberapa hari dan malam istirahat, bertempur, dan tidur, sampailah kami di Desa Saringembat lagi,” kesaksian Moh Jokomulyono, anggota TGP, yang bergabung dengan regu Sidiq dan ikut seksi pasukan yang dikomandoi Letda Soetjipto, di buku Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan Bersama Brigade Ronggolawe:1985.

Jokomulyono melanjutkan kesaksiannya:

“Keadaan sudah gelap, sekitar pukul 7 malam tanpa disuruh semua anak buah mencari tempat untuk tidur. Untung saya punya jala ikan dan saya gunakan untuk ransel. Di dalam baju yang hanya satu saya bungkus dengan sarung kumal lagi sobek, kemudian saya masukan ke dalam jala,” lanjutnya.

Jala berisi sarung dan baju itu multifungsi bagi Jokomulyono, salah satu pasukan Letda Soetjipto dan saksi hidup pertempuran di Tapen. Jala itu bisa dipergunakan sebagai bantal dan kasur sederhana buat istirahat, dan juga mudah dibawa di punggung untuk ransel.

Senggang istirahat malam itu, sebagian pasukan tiduran melepas lelah, sebagian lagi mengisi waktu dengan permainan remi beberapa prajurit. Kodirun, seorang prajurit berbadan kekar, dari pasukan Peta itu selalu membawa kartu domino di sakunya. Kartu remi dan domino adalah hiburan satu-satunya milik pasukan.

Ketika pasukan beristirahat, Soetjipto dan Sidiq, ketua regu pasukan berbincang serius. Di bawah lampu senter Soetjipto memberi arahan:

“Kita lusa sudah harus sampai Wonosari dan menyergap pos Belanda yang bertempat di pengeboran minyak. Malam ini juga, setelah anak-anak sudah istirahat secukupnya kita langsung bergerak ke Tapen (sisi barat Desa Saringembat),” sayup-sayup perintah itu juga terdengar pasukan yang sedang istirahat.

Para pasukan terjaga malam itu juga, ketika ada yang membangunkan untuk mengisi perut dengan makanan yang dibuat penduduk. Suplay makanan dari penduduk untuk tentara Republik merupakan hal biasa selama masa perjuangan kemerdekaan.

Usai makan, sesuai arahan Soetjipto mereka langsung bergerak ke arah barat menuju Tapen (Dusun Tapen, Desa Sidoharjo, Senori). Pasukan menerobos pekat malam dengan udara yang semakin dingin, terlebih ketika hujan turun menyertai langkah mereka.

Sesampai di jalan desa yang lebar menuju Tapen, pasukan itu membelok ke kanan (Dusun Punten, Singgahan). Menuju satu rumah besar dengan dinding kayu jati untuk beristirahat kembali, setelah menempuh jalan berkilo-kilometer di bawah guyuran hujan.

“Pakaian setengah basah karena kehujanan, tapi tak banyak yang mau membuka baju. Mereka lebih senang menuju tikar yang telah disediakan itu untuk dapat segera melepaskan lelah dengan tidur-tiduran,” kata Jokomulyono.

Semua prajurit melepaskan lelah, kecuali Sersan Sidiq, komandan  regu itu menuliskan sesuatu di bawah penerangan seadanya. Dimungkinkan itu adalah catatan jadwal jaga buat mereka.

Pagi terasa cepat menghampiri di 22 Februari 1949, pasukan terbangun begitu mendengar suara penduduk yang sudah mulai beraktivitas. Pasukan memanfaatkan pagi itu untuk sekadar menjemur pakaian, dengan catatan mereka harus tetap siaga dan bisa bergerak cepat apabila Belanda berusaha menyergap.

Tidak lama di hari yang sama, sekitar pukul 10.00, Letda Soetjipto menerima informasi dari pengintai dari luar desa yang melihat serombongan pasukan musuh bergerak ke utara. Karena jumlah pasukan yang masih sedikit, mereka diminta menarik diri keluar dari desa sambil menyusun pertahanan. Tapi serombongan pasukan Belanda itu hanya berlalu dan sekadar melintas untuk kembali ke markasnya yang ada di Desa Wonosari.

Setelah Belanda berlalu, pasukan gerilya kembali masuk ke desa dan menuju rumah seorang penduduk bernama Sadir, seorang dermawan yang rumahnya juga ditempati pasukan untuk menyusun kekuatan.

Letda Soetjipto sebenarnya mempunyai 4 regu pasukan. Hanya saja, menjelang pertempuran di Tapen pasukan yang menyertainya hanya satu regu, yakni dibawah pimpinan Sersan Sidiq, sementara sisanya ditugaskan ke daerah Soko dan Rengel untuk memperkuat pertahanan.

Selain satu regu pimpinan Sersan Sidiq, Soetjipto juga menerima bantuan beberapa orang dari kelompok TGP, sehingga jumlah total pasukan adalah 20 orang.

Letda Soetjipto tidak langsung menyerang pos Belanda sejak hari pertama tiba karena jumlah pasukan yang dibawa terbatas. Selain itu mereka juga diminta untuk menunggu satu regu dari TRIP pimpinan Rokhmad, yang akan bergabung bersama mereka dan menyerang tempat produksi minyak dibawah penguasaan Belanda.

Jadilah 22 Februari 1949 mereka kembali bermalam di rumah penduduk bernama Sadir. Sambil menunggu kedatangan pasukan TRIP, mereka juga memperbincangkan strategi penyerbuan. Pasukan TRIP kemudian datang menyusul siang harinya dengan kekuatan 16 orang.

Keesokan harinya, 23 Februari 1949, jam 05.00 pasukan Letda Soetjipto mendapat informasi pasukan Belanda sudah memasuki Senori dan mencari keberadaan para pejuang. Dari Dusun Punten, mereka bergegas menyongsong datangnya Belanda dari barat daya (Tapen).

Pertempuran sengit terjadi.

Bersambung...

Sumber: buku Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan Bersama Brigade Ronggolawe:1985
Keterangan foto: Tugu yang menjadi penanda lokasi pertempuran Letda Soetjipto dan pasukan Belanda di perbatasan Dusun Tapen, Desa Sidoharjo, Kecamatan Senori.