Menimbang Gairah IHT di Sekolah

Oleh: Usman Roin *

MEMPERSIAPKAN Tahun Pelajaran Baru, secara internal bila lembaga pendidikan ramai-ramai melakukan In House Training (IHT) adalah sebuah langkah maju. Yakni, ada keinginan menumbuhkembangkan lembaga pendidikan agar cita-cita yang diinginkan bisa terlaksana lebih ringan, cepat, terarah berkat penyamaan persepsi.

Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah, konsistensi langkah pasca IHT terselenggara untuk kemudian secara kelembagaan atau personality berani berbenah atau tidak. Kemudian sebagai pemimpin objektif dalam melakukan penilai –baik personal atau kelembagaan– secara proporsional atau tidak.

Karena bila yang terjadi adalah tidak, itu artinya perubahan hanya sesaat –IHT–, lalu kembali lagi melakukan tingkah laku lama yang menjemukan dan usang dalam tataran paridagma berpikir modern. Hasilnya, apa yang diterima hanyalah sambil lalu dan tak menganggap penting modernisasi motivasi berpikir masa depan.

Perihal motivasi sendiri, bagaimanapun keberadaannya sangat diperlukan oleh siapa pun. Misal dalam rumah tangga bila satu pasangan turun motivasinya, pasangan satunya berkewajiban melakukan remotivation. Apalagi guru dikatakan sebagai ”pemroses” meminjam bahasa Munif Chatib dalam buku best sellernya, ”Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di Indonesia”.

Artinya, sekolah yang memiliki input baik untuk kemudian outputnya ikut jadi baik, seakan-akan tak terlihat bentuk perjuangan seorang guru. Melainkan sudah dari sono bibitnya secara mandiri berproses secara baik. Hingga bila penulis boleh mengandai-andaikan, ’gurunya tidur saja murid-muridnya sudah bisa pandai’.

Namun bagi Munif Chatib yang merupakan pendiri SMA SOH Cibubur dan CEO NEXT EDU serta Konsultan Pendidikan, hal itu bukan dikata sebagai sekolah hebat. Karena baginya, dikata sekolah hebat bila sekolah tersebut mampu menerima semua perbedaan kompetensi yang dimiliki oleh anak untuk kemudian diproses dalam pembelajaran hingga hasilnya menjadi bagus.

Bila demikian, ada proses yang perlu ditekankan oleh guru dalam pembelajaran salah satunya berkembangnya kreatifitas guru lewat sarana IHT. Fungsinya tidak lain dalam rangka mengecas kembali semangat yang usang hingga kemudian berubah semangatnya. Selain itu cepat dan sigap merespon tantangan meski kompetitor –lembaga pendidikan– banyak bermunculan.

Lalu yang urgen adalah memperkuat kebersamaan penerapan langkah yang sudah didapat pasca pelatihan hingga endingnya melakukan evaluasi baik internal maupun eksternal secara objektif diiringi dengan langkah bijak mempersiapkan langkah kelembagaan secara komprehensif ke depan.

Oleh karena itu, IHT hanya akan menjadi seremonial bagi penulis bila pasca IHT tidak ada perubahan signifikan segenap komponen yang ada. Artinya, tidak ada tanggung jawab secara individu untuk merubah diri. Alhasil, IHT yang dilakukanpun hanya akan ada dalam tataran normatif (teori) yang tak perlu dilakukan. Padahal eksistensinya perlu dibumikan agar implementasinya bisa dirasakan semua stakeholder lembaga pendidikan. Bila tidak, yang terjadi adalah aktivitasnya masih sama, perilakunya tak berubah hingga pergerakan kelembagaan tidak stabil.

Menimbang hal itu, bagi penulis ada beberapa langkah bijak yang perlu dilakukan lembaga pendidikan setelah melakukan IHT, antara lain: Pertama, pemetaan kompetensi SDM yang dimiliki. Ini memberi maksud, guru dan karyawan perlu dipetakan ulang kompetensi keilmuan serta soft skill lainnya yang dimiliki. Setelah selesai, maka rolling job adalah jalan terbaik guna memberikan ruang terbuka untuk mengembangkan lembaga melalui inovasi kreativitasnya.

Ke dua, menjaring masukan berbasis akomodasi. Maksudnya, saling bertukar pikiran terhadap langkah program pendidikan dalam satu tahun pembelajaran adalah cara arif agar upaya keterlibatan dan partisipasi sosial bisa tumbuh. Tidak lain ini dalam rangka menjaring aspirasi secara personal untuk di rekam yang kemudian didiskusikan secara seksama positif negatifnya selain sebagai upaya bersama-sama meringankan cita-cita besar yang ingin dicapai oleh sebuah lembaga pendidikan.

Dan ketiga, lengkapi dengan rencana tindak lanjut (RTL). Yakni, demi menumbuhkan semangat mengembangkan kelembagaan yang utuh, maka pembinaan dan pemberian semangat tidak hanya sekali dilaksanakan, namun hal itu bisa dilakukan berkala sesuai dengan kemampuan lembaga. Tidak lain agar stamina membangun progresivitas kelembagaan bisa stabil.
Akhirnya, selamat membersiapkan Tahun Pelajaran baru dengan jiwa dan semangat yang baru.

* Penulis: Alumni PC IPNU Bojonegoro yang menempuh Magister PAI di UIN Walisongo Semarang.