Spirit Bekerja Pasca Hari Raya

Oleh: Usman Roin

Libur hari raya berupa cuti bersama sudah usai. Tentu ini menyiratkan langkah untuk kembali menjalani rutinitas bekerja, baik yang menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), pegawai swasta, pedagang hingga petani. Kembalinya bekerja pasca libur hari raya harus punya spirit (semangat, roh) yang kuat. Bukan dengan asal bekerja, melainkan bekerja yang menuntut perbaikan baik dari sisi kuantitas maupun kualitas.

Sisi kualitas menuntut bayaknya pekerjaan yang bisa diselesaikan, sedangkan pada taraf kualitas menyiratkan makna bahwa pekerjaan yang dikerjakan memberikan pelayanan yang terbaik, cepat dan tuntas.

Bila hal tersebut tidak ada, itu sama saja dengan menyia-nyiakan pekerjaan yang dipunyai hari ini. Yakni, tidak puas dengan pekerjaan yang ada hingga sulit untuk sekadar meningkat pada upaya optimalisasi kerja dengan sepenuh hati.

Oleh karena itu, bila di bulan Ramadan kita sudah di latih dengan puasa guna meningkatkan nilai ketakwaan yang terimplementasi pada spirit diri yang meningkat pada perubahan lebih baik, begitu juga seharusnya dalam hal bekerja.

Artinya, perlu peningkatan secara optimal dalam pelayanan, itu bagi yang bekerja sebagai ASN. Lalu penuh loyalitas bagi yang bekerja di swasta, dan perlunya bekerja dalam ketekunan serta kesabaran itu bagi pedagang dan para petani.

Terlebih Rasulullah pun sudah mengingatkan kepada kita, untuk senantiasa bekerja di dunia seakan-akan hidup selama-lamanya, dan beribadahlah untuk akhirat seakan-akan kita akan mati esok.

Seiring dengan itu, maka mengembalikan spirit bekerja pasca hari raya kiranya menjadi urgen. Jangan sampai semangatnya menjadi turun, sama dengan bulan atau tahun lalu, hingga yang lebih parah dalam bekerja semakin memburuk.

Untuk itu, demi menumbuhkan spirit bekerja pasca hari raya ada hal-hal yang perlu diperhatikan bagi penulis, antara lain:
Pertama, memperbarui niat. Mengutip KBBI (2012:142), memperbaiki supaya menjadi baru. Maka implementasinya dalam bekerja adalah kita punya keinginan memperbaiki kebiasaan bekerja masa lalu yang dirasa merugikan baik secara pribadi maupun orang lain. Selanjutnya dikuatkan keinginannya untuk merubah dengan dasar 'bekerja untuk menjadi semakin lebih baik'.

Kedua, berorientasi pada produktivitas. Yakni menjadikan diri ini pribadi yang produktif dalam bekerja. Meminjam bahasa Toto Tasmara (1995:56) bahwa produktifitas itu punya makna kita selalu berhitung efisien.

Yakni, coba membuat perbandingan antara apa yang kita keluarkan (performance) dengan energi waktu, tenaga yang dikeluarkan. Jadi dikatakan bekerja produktif itu bila apa yang kita kerjakan sebanding dengan waktu yang kita gunakan. Semakin banyak waktu, berarti kuantitas pekerjaan yang dihasilkan juga haruslah semakin banyak. Bila tidak maka itu bukan dalam kategori produktif.

Ketiga, ulet dan pantang menyerah. Yakni sikap kuat dalam berusaha guna mencapai tujuan. Ini berarti keuletan adalah modal dasar dalam menghadapi segala macam tantangan bahkan tekanan (pressure).
 
Terlebih Toto Tasmara dalam bukunya ’Etos Kerja Pribadi Muslim’ mengatakan, untuk menjadi orang ulet kita diminta seakan-akan menjadi kaum minoritas yang tidak sama dengan kebanyakan orang pada umumnya. Ia juga menyampaikan, agar kita bisa tetap istikomah, kerja keras, tangguh dan ulet kuncinya hanya satu yaitu, mampu dan gemar hidup dalam tantangan.

Terlebih, hidup dengan tantangan itu menjadikan hidup tidak monoton. Melainkan berupaya membuat target, arah secara akurat agar pekerjaan yang kita lakukan punya tujuan jelas yang selanjutnya dibarengi dengan keuletan untuk menggapainya.
Sebagai penutup, melalui ihtiar kecil ini semoga spirit bekerja pasca hari raya kita semakin baik dari sisi kuantitas dan kualitasnya. Amin ya rabbal alamin.

*Alumni PC IPNU Bojonegoro yang menempuh Magister PAI di UIN Walisongo Semarang.