Mari Merawat Seni Tertawa

Oleh: Nanang Fahrudin

Hidup ini kelewat serius. Jadi perlu selingan untuk tertawa agar hari-hari berjalan tidak dalam ketegangan yang terus menerus. Kecemasan melihat masa depan yang tak menentu, bisa menambah ketegangan hidup makin memuncak. Lagi-lagi untuk mengendorkannya, perlu usaha untuk merawat rasa humor.

Humor adalah segala sesuatu yang bisa mengundang seseorang untuk tertawa. Humor berhubungan dengan perasaan yang sifatnya universal. Semua orang membutuhkan humor dalam hidupnya. Hidup tanpa humor akan berasa tawar dan penuh kemarahan. Lihat saja orang-orang dengan selera humor rendah, pasti akan mudah tersinggung. Ada masalah sedikit saja, ia akan marah-marah atau cemberut. Sedang orang yang penuh rasa humor akan tetap cengengesan dan menganggap semuanya dengan enteng.

Sudjoko, sebagaimana dikutip oleh M. Agus Suhadi dalam buku Humor Itu Serius (1989) menyebut humor memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat. Humor bisa menyadarkan orang bahwa dirinya tidak selalu benar. Humor juga dapat mengajarkan orang melihat persoalan dari sudut pandang lain. Humor juga dapat menghibur, melancarkan pikiran, mencerdaskan otak, mentolelir sesuatu, dan memahami persoalan pelik dengan sederhana. (hal:36).

Mari melihat jauh ke belakang, tentang sejarah humor. Humor sudah dikenal masyarakat dunia sudah sejak 400 tahun sebelum masehi. Namun, baru mulai berkembang pesat pada abad ke-17 di Inggris dengan banyaknya pagelaran teater modern. Dan pada abad ke-18 humor mewabah di Eropa dengan kisah Don Quixote. Di Indonesia sendiri humor sudah menjadi bagian masyarakat sejak berabad-abad lamanya. Yakni tampak pada kesenian rakyat seperti ludruk, wayang kulit, ketoprak dan lain-lain.

Humor lantas tak hanya berhenti di panggung-panggung saja. Melainkan menjadi cara berpikir dan cara hidup. Sosok-sosok penuh humor banyak kita temui di berbagai ranah kehidupan di sekitar kita. Mereka memaknai hidup ini begitu enteng. Tak usahlah dihadapi dengan urat saraf yang tegang, sangat serius, apalagi saling membunuh.

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah contoh sosok yang paling lucu. Di dunia politik ia membuat joke-joke yang menertawakan politik. Seperti menyebut lembaga DPR seperti taman kanak-kanak yang membuat penghuni senayan pada waktu panas kupingnya. Ketika ditekan oleh lawan-lawan politiknya, Gus Dur selalu mengatakan gitu aja kok repot. Bahkan ketika diancam akan dilengserkan, Gus Dur tak ambil pusing dan masih saja berkelakar.

Jadi, humor bukan sekadar tertawa. Tapi lebih dari itu, humor adalah cara memandang dunia ini dengan “kedewasaan”. Di ranah agama Islam misalnya, cerita sufi selalu disertai humor. Dari hal lucu-lucu itulah tersimpan hikmah yang mendalam. Salah satu contoh adalah kisah keledai dan pemiliknya seperti dalam buku Tiada Sufi Tanpa Humor karya Imam Jamal Rahman (Serambi, 2015).

Suatu hari, si fulan kehilangan keledai. Ia pun membuat pengumuman barang siapa berhasil menemukan keledainya, maka ia akan mendapatkan hadiah keledai itu. Istri si fulan memprotes pengumuman itu, tapi si fulan tak menghiraukan. Ia hanya menjawab, perasaan senang saat menemukan sesuatu yang hilang itu lebih berharga daripada sesuatu yang hilang itu sendiri.

Kisah ini pada satu sisi hendak menertawakan diri kita yang seringkali mengikuti kesenangan memuaskan keinginan semata. Kita sering terlena untuk memakan makanan yang mahal, padahal kebutuhan kita adalah makan secukupnya untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Keinginan seringkali mengalahkan kebutuhan. Sedang dari kaca mata berbeda, kisah ini juga hendak menertawakan diri kita yang seringkali abai pada apa yang kita miliki. Namun, ketika apa yang kita miliki itu hilang, barulah kita kebingungan setengah mati. Kita telah kehilangan rasa syukur. Cara Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam melihat setiap persoalan juga penuh humor. Rasa humor adalah manusiawi. Artinya semua orang dari golongan apapun memiliki rasa humor. Dan pada setiap moment acara maiyahan ataupun kenduri cinta, apa yang disampaikan Cak Nun selalu penuh humor. Bahkan, bagaimana dia melihat Tuhan pun sering didasarkan pada rasa humor. Sehingga, kesan yang hendak disampaikan adalah Tuhan tak pernah membenci humor.

Namun, dari humor-humor yang membuat siapapun ngakak itu, Cak Nun selalu menyelipkan sikap bijak dalam menghadapi kehidupan yang serba sulit ini. “Penderitaanmu kamu olah menjadi rasa syukur. Menjadi kekuatan baru. Menjadi ketangguhan. Bahkan menjadi kegembiraan,” begitu kata Cak Nun pada salah satu penanya. Ya, siapapun harus mampu mengolah penderitaan menjadi kegembiraan. Kuncinya adalah rasa syukur.

Begitulah. Hidup harus diisi dengan keseimbangan antara yang serius dan yang humor. Kemampuan mengelola sikap tersebut adalah wujud kematangan psikologis untuk “tahan banting” menghadapi setiap persoalan hidup. Humor bukan hendak lari dari masalah, melainkan mencoba melihat dengan kaca mata berbeda dan mencari jalan alternatif untuk bisa keluar dari “kemacetan”.

Menertawakan hidup adalah salah satu seni cara hidup di tengah perubahan yang begitu cepat. Sangat pas untuk hidup di tengah negara yang tingkat korupsinya masih tinggi, pengangguran masih tinggi, harga barang kebutuhan pokok terus melambung, biaya pendidikan tak pernah turun, dan biaya kesehatan yang melambung.

Menghadapi itu semua, merawat seni tertawa adalah jalan keluar yang patut dicoba. Setuju kah?. [fah]