GENERASI TRAUMA

Penulis: Edy Purnomo

blokTuban.com - Seorang perempuan menatap resah ke halaman rumah kayu miliknya. Hari sudah malam, tapi sang suami belum kunjung ada kabar. Hatinya semakin tidak menentu ketika tapak kaki adik iparnya terdengar tergesa masuk ke halaman rumahnya.

“Yu…” sapa lelaki itu. Matanya sembap.

Kalimat selanjutnya membuat mata perempuan berusia 26 tahun itu gelap. Dia sudah lupa, bahkan pada anak lelaki kelas 4 SD yang tidur di pangkuannya.
Semenjak itu, bahkan 60 tahun kemudian, perempuan itu selalu menutup mulut atas apa yang dia rasakan saat itu. Dia dikucilkan, bahkan tidak ada tetangga atau keluarga yang berani mendekat.

Eks-Tapol.

Begitu kata orang-orang. Julukan yang dia sendiri tidak mengerti maksud dan artinya. Yang jelas, putra semata wayangnya tidak akan pernah bisa menjadi pegawai negeri seperti bapaknya yang hilang. Termasuk menjadi anggota militer, bahkan untuk sekadar menjadi kepala desa ataupun pengurus RT/RW.

Ini bukan kisah fiksi, tapi tokoh dan kejadian benar-benar ada. Saya masih ingat betul, perempuan itu saya wawancarai di atas lincak teras rumah sederhananya, di salah satu desa yang ada di bagian selatan Kabupaten Tuban.

Perempuan itu sudah meninggalkan dunia di pertengahan tahun 2024 kemarin. Bahkan anak lelaki semata wayangnya sudah meninggal dulu sekitar tahun 2018 lalu.

Saya membayangkan situasi yang sulit, terutama saat hari-hari peringatan G 30 S PKI itu tiba. Bagi banyak orang, itu cuma cerita sejarah yang dipenuhi debat dan perbedaan pendapat. Tapi bagi perempuan yang saya kenal itu, dan keluarganya, itu luka yang tak pernah hilang.

Dia pernah bilang, “Saya nggak tahu apa itu PKI. Saya cuma tahu, setelah itu, kami jadi orang asing di kampung sendiri. Anak saya nggak boleh punya harapan seperti anak-anak lain.”

Mereka bukan pelaku, bukan pengkhianat. Mereka cuma korban yang harus menanggung beban hidup karena sesuatu yang sebenarnya tak pernah mereka mengerti.

Luka itu bukan cuma masa lalu. Luka itu melekat, membayangi hari-hari mereka, dalam diam dan kesendirian.

Hari peringatan seperti ini mestinya bukan cuma untuk mengingat sejarah. Tapi juga untuk membuka hati, memberi ruang bagi mereka yang selama ini terpinggirkan. Karena mereka juga manusia biasa, yang ingin hidup tenang dan dihargai.

Sepanjang sejarah nasional yang dipaparkan ke kita, saat itu PKI merupakan partai besar. Punya pengaruh besar membuat kelompok ini terlalu percaya diri. Mungkin merasa bisa menjawab semua persoalan bangsa saat itu dengan caranya sendiri. Di sisi lain, ada juga kelompok yang menaruh minat pada kekuasaan di republik ini.

Tapi apa yang terjadi? Di balik semua itu banyak orang biasa seperti perempuan dalam cerita di atas menjadi korban. Bukan karena mereka ikut terlibat dalam pertarungan politik, tapi karena imbas dari intrik-intrik perebutan kekuasaan yang didalangi oleh tokoh yang saat ini masih tidak tertangkap kamera.

Di setiap peristiwa berdarah, biasanya akan ada satu pihak yang pandai memanfaatkan tangan orang-orang lain. Sebenarnya cukup banyak orang dan kelompok yang menduga ini. Bahkan sengaja memanfaatkan beberapa organisasi, termasuk ANSOR NU, yan bertentangan secara ideologi untuk “terlibat” kekacauan yang terjadi saat itu.

Akibatnya, banyak yang jadi korban sesama sipil. Banyak bentrok yang terjadi antara orang NU dengan PKI. Orang-orang yang tidak tahu apa-apa, cuma ikut terseret arus besar itu. Mereka yang diam, yang hanya ingin hidup biasa, malah dicap berbahaya, dijauhkan, disingkirkan.

Kini, setelah 60 tahun, saat satu sisi orang menyalahkan kelompok PKI, juga ada kelompok lain menuding ANSOR NU sebagai pelaku genosida. Tapi kita tidak pernah benar-benar bisa menyentuh kelompok yang pandai mencuci tangan setelah menganggap “permainan” ini berakhir. Mereka mungkin tertawa sambil menikmati kue sampai bertahun-tahun lamanya.

Saat kita ingat masa lalu, jangan hanya melihat dari satu sisi. Kita harus adil, mengakui bahwa ada korban yang benar-benar tak bersalah dan terus menanggung akibatnya sampai sekarang.

Kejadian seperti ini, harusnya tidak pernah terulang lagi. Luka yang dalam itu sudah terlalu lama membekas. Kita semua, generasi sekarang dan yang akan datang, harus belajar dari sejarah ini.

Kini, setelah puluhan tahun berlalu, luka lama belum benar-benar sembuh. Perpecahan di antara kita sebagai anak bangsa masih saja terjadi, kadang datang tanpa kita sadari. Bukan hanya dari sejarah masa lalu, tapi juga dari cara-cara baru yang lebih halus tapi sama berbahayanya.

Media sosial, yang seharusnya jadi ruang untuk bersatu, malah sering jadi alat memecah belah. Dengan mudahnya hasutan dan fitnah tersebar, membuat saudara sebangsa bisa saling curiga dan bertikai. Kata-kata yang tidak dipikir panjang, berita yang belum jelas kebenarannya, semua bisa jadi pemicu konflik yang sebenarnya bisa dihindari.

Kita harus ingat, kita ini satu bangsa. Walau berbeda, kita punya tujuan yang sama: hidup damai dan sejahtera. Jangan biarkan masa lalu atau kepentingan sesaat memecah belah kita. Mari belajar dari cerita-cerita kelam itu untuk tidak mengulang kesalahan yang sama.

Jika kita bisa saling mengerti, menjaga hati, dan menolak segala bentuk provokasi, mungkin luka itu bisa sembuh perlahan. Mungkin anak cucu kita bisa tumbuh tanpa bayang-bayang trauma dan perpecahan. Karena pada akhirnya, bangsa ini hanya akan kuat kalau kita berdiri bersama, bukan terpecah karena perbedaan.(Edy Purnomo)