Khawatir Kebebasan Pers Dibungkam karena UU Penyiaran Direvisi, Jurnalis di Tuban Aksi Turun Jalan

Reporter : Sri Wiyono

blokTuban.com – Rencana revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran meresahkan kalangan jurnalis. Sebab, ada sejumlah pasal dalam draf revisi UU tersebut yang berpotensi membungkam kebebasan pers. Karena itu, sejumlah junalis berbagai media massa yang bertugas di Kabupaten Tuban, Jawa Timur melakukan aksi turun.

Para jurnalis ini membentangkan sejumlah poster yang berisi protes dan curahan hati mereka atas rencana pemerintahan mervisi UU Penyiaran. Aksi digelar di depan Balai Wartawan Tuban, di Jalan Pramuka, Jumat (17/5/2024) pagi.

Sekadar diketahui, pemerintah bersama DPR saat ini berencana merevisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Recana ini telah memasuki tahap penyelesaian draf revisi UU Penyiaran. Draf revisi UU Penyiaran yang merupakan inisiasi dari DPR telah dibahas di Baleg pada 27 Maret 2024.

Organisasi jurnalis, seperti Ikatan Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sudah menyatakan sikapnya dan menaruh perhatian terhadap draf revisi UU Penyiaran baik dari sisi proses penyusunan maupun subtansi.

Jurnalis menyayangkan draf revisi UU Penyiaran itu terkesan disusun secara tidak cermat dan berpotensi mengancam kemerdekaan pers. Terlebih penyusunan tidak melibatkan berbagai pihak seperti organisasi profesi jurnalis atau komunitas pers.

Mahfud Muntaha Koordinator dalam aksi menyebut, dalam darf revisi UU Penyiaran terdapat sejumlah pasal yang menjadi perhatian khusus. Pertama, Pasal 50 B ayat 2 huruf c yang melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi. Pasal tersebut telah menimbulkan banyak tafsir dan membingungkan.

‘’Mengapa RUU ini melarang televisi menayangkan secara eksklusif karya jurnalsitik investigasi,’’ ujar Mahfud..

Selama ini, lanjut dia, sepanjang karya tersebut memegang teguh kaidah dan kode etik jurnalistik, serta  berdasarkan fakta dan data yang benar, dibuat secara profesional dan semata-mata untuk kepentingan publik maka karya jurnalistik investigas tersebut bisa di televisi.

Secara subtansi pasal pelarangan tayangan eksklusif jurnalistik investigasi di televisi bisa diartikan sebagai upaya intervensi dan pembungkaman terhadap kemerdekaan pers di tanah air. Upaya ini tentu sebagai suatu ancaman serius bagi kehidupan pers yang tengah dibangun bersama dengan penuh rasa tanggung jawab.

‘’Tidak hanya itu, dikhawatirkan revisi RUU Penyiaran akan menjadi alat kekuasan serta politik oleh pihak tertentu untuk mengkebiri kerja-kerja jurnalistik yang profesional dan berkualitas,’’ kata jurnalis media cetak ini.

Kedua, beber Mahfud, pada pasal 50 B ayat 2 huruf k, menyaol penayangan Isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik. Pasal ini sangat multi tafsir terlebih yang menyangkut penghinaan dan pencemaran nama baik.

‘’Pasal yang multi tafsir ini berpotensi menjadi alat kekuasan untuk membungkam dan mengkriminalisasikan jurnalis atau pers,’’ urainya.

Padahal dalam sistem demokrasi, pers merupakan pilar keempat dari demokrasi. Pers memiliki tanggung jawab sebagai control sosial agar proses bernegara berjalan transparan, akuntable dan sepenuhnya memenuhi hak-hak publik.

Ada juga pasal 8A huruf q dan pasal 42 ayat 2 yang menyebutkan penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

‘’Pasal ini harus dikaji ulang karena bersinggungan dengan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengamanatkan penyeleseaian sengketa jurnalistik dilakukan di Dewan Pers. Menurut kami penyelesaian sengketa jurnalistik penyiaran di KPI berpotensi mengintervensi kerja-kerja jurnalistik yang profesional, mengingat KPI merupakan lembaga yang dibentuk melalui keputusan politik di DPR,’’ tandasnya.

Menurut Mahfud, sesuai dengan UU Pers telah jelas bahwa komunitas pers mendapat mandat untuk membuat regulasi sendiri dalam rangka mengatur kehidupan pers yang sehat, profesional dan berkualitas.

Oleh karena itu setiap sengketa yang berkaitan dengan karya jurnalistik baik penyiaran, cetak, digital (online) hanya bisa diselesaikan di Dewan Pers. Langkah ini guna memastikan bahwa kerja-kerja jurnalistik yang profesional, berkualitas dan bertanggungjawab bisa berlangsung independent serta tidak ada intervensi dari pihak manapun.

‘’Menyikapi hal tersebut kami menolak dan meminta agar sejumlah pasal dalam draf revisi RUU Penyiaran yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers dicabut. Meminta DPR mengkaji kembali draf revisi RUU Penyiaran dengan melibatkan semua pihak termasuk organisasi jurnalis dan piblik serta meminta kepada semua pihak untuk mengawal revisi RUU Penyiaran agar tidak menjadi alat untuk membungkam kemerdekaan pers serta kreativitas individu di berbagai platform,’’ tegasnya.[ono]