Pasal Multitafsir dalam Revisi UU Penyiaran Dikritik IJTI

Reporter : Dwi Rahayu 

blokTuban.com - Pemerintah dan DPR sedang merevisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Proses ini sudah sampai pada tahap penyelesaian draf revisi yang telah dibahas di Baleg pada 27 Maret 2024.

Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) memberikan perhatian khusus terhadap draf ini, baik dari proses penyusunan maupun isi substansinya. IJTI mengkritik proses penyusunan yang dianggap kurang teliti dan mengancam kebebasan pers, terutama karena tidak melibatkan berbagai pihak seperti organisasi jurnalis.

IJTI mencatat beberapa pasal dalam draf yang menjadi perhatian khusus. Pasal 50 B ayat 2 huruf c, yang melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi, dianggap menimbulkan banyak tafsir dan membingungkan. 

Menurut Ketua Umum IJTI, Herik Kurniawan, selama karya jurnalistik tersebut mematuhi kode etik dan dibuat untuk kepentingan publik, tidak seharusnya ada larangan untuk penayangan.

"Pasal ini dianggap sebagai upaya intervensi dan pembungkaman kebebasan pers, yang mengancam kehidupan pers di Indonesia. Selain itu, IJTI khawatir revisi UU Penyiaran dapat menjadi alat kekuasaan untuk mengontrol jurnalis," ujarnya dikutip dalam siaran resmi, Kamis (16/5/2024). 

Pasal lain yang menjadi perhatian adalah Pasal 50 B ayat 2 huruf k, yang melarang isi siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik. Pasal ini dianggap terlalu multitafsir dan berpotensi digunakan untuk membungkam jurnalis.

IJTI menekankan bahwa pers adalah pilar keempat demokrasi dan memiliki tanggung jawab sebagai pengawas sosial agar proses pemerintahan berjalan transparan dan akuntabel.

Pasal 8A huruf q dan Pasal 42 ayat 2 tentang penyelesaian sengketa jurnalistik oleh KPI juga menjadi perhatian. IJTI berpendapat penyelesaian sengketa harus dilakukan oleh Dewan Pers sesuai dengan UU Pers, untuk memastikan independensi kerja jurnalistik.

IJTI mengajukan tiga tuntutan: mencabut pasal yang mengancam kebebasan pers, meminta DPR mengkaji ulang draf dengan melibatkan semua pihak, dan mengajak semua pihak mengawasi revisi UU Penyiaran agar tidak membungkam kebebasan pers dan kreativitas. [Dwi/Ali]