Perempuan Dalam Ingatan/Keping Ingatan II

Penulis: Yoru Akira

Semesta Kanya

Yogyakarta, Juni 2017

blokTuban.com - Ini pertama kalinya aku bertugas ke luar negeri untuk liputan. Setelah bergelut di bidang jurnalistik sejak tiga tahun lalu. Jujur aku merasa gugup. Bapak dan ibu tak pernah membiarkan aku pergi terlalu jauh. Bahkan ketika aku akan berkuliah ke ibu kota, sementara Bapak dan ibu menetap di Yogyakarta, mereka menangis. Ada saja alasan tak masuk akal untuk menahanku. Padahal perjalanan dengan kereta tak sampai satu malam. Kini mereka harus merelakan anak gadis semata wayangnya terbang jauh hingga ke daerah timur raya Asia. Untung saja mereka tidak memaksa ikut dan memantau pekerjaanku selama 24 jam.

Baca sebelumnya: [Perempuan Dalam Ingatan]

Setelah perdebatan panjang tentang bagaimana aku di sana nanti, dengan siapa, menginap dimana, dan berbagai hal lainnya, akhirnya mereka mengizinkan aku pergi. Kalau pun mereka tak memberi izin, aku akan tetap berangkat. Bagaimana pun ini tugas pertamaku ke luar negeri. Dari sinilah dedikasi untuk perusahaan bakal menjadi pertimbangan direksi. Tugasku kali ini yang menentukan layak atau tidak melangkah ke jenjang karir lebih tinggi.

"Nak, kabari Ibu begitu kamu sampai di sana. Tiket pesawat, paspor, visa dan surat-surat penting jangan sampai ketinggalan."

Pesan ibu sudah kudengar ke seribu kali. Oke, mungkin aku memang berlebihan, tapi aku tidak berbohong jika cara mereka memperlakukan akulah yang berlebihan.

"Benar kata Ibumu. Simpan nomor-nomor penting. Langsung hubungi polisi jika terjadi sesuatu."

Aku tersenyum menanggapi nasihat Bapak dan ibu. Dengan pelan, aku mendorong tubuh mereka duduk di ranjang. Sepertinya memberitahu mereka tentang kepergianku ke Jepang secara langsung bukanlah hal tepat. Sayangnya sebagai anak aku terlalu patuh pada mereka dan tak mau mendapat murka serta dianggap anak durhaka.

"Bapak, Ibu, Kanya sudah 25 tahun. Aku tahu niat kalian memang baik. Tapi, izinkan Kanya untuk lebih mandiri tanpa merepotkan Ibu dan Bapak. Kanya nggak mau Ibu sama Bapak repot mengurus ini itu, lantas Kanya cuma enak-enakan. Percayain semuanya sama Kanya ya," kataku sepelan mungkin tanpa bermaksud melukai hati mereka. “Oh ya, nanti di sana ada Naoki-san yang menemani Kanya kok. Ibu ingat ‘kan, teman Mas Aditya waktu kuliah di Jepang? Bahkan Naoki-san juga sudah menyiapkan semua keperluan Kanya selama satu bulan.”

Ibu tersenyum. "Baiklah. Anak Ibu sudah besar rupanya. Tanah rantau membuatmu semakin terlihat sebagai perempuan matang."

"Ya sudah. Bapak sama Ibu keluar. Kamu lanjut beres-beresnya. Jangan begadang! Besok kamu harus menempuh perjalanan jauh," ucap Bapak sebelum mengecup keningku dan mengacak-acak pucuk kepalaku dengan lembut.

Sungguh, aku bersyukur memiliki orang tua seperti mereka. Tapi, aku juga ingin bertanggung jawab pada diriku sendiri tanpa membebani mereka. Untunglah mereka selalu bisa memahami keinginanku.

Aku melanjutkan mengepak beberapa barang yang kurasa memang perlu. Kini aku harus mengandalkan kemampuanku untuk mengepak segala keperluan. Aku tersenyum. Nyatanya, ibu sudah menyiapkan segalanya di atas ranjang sejak kami sibuk berdebat dari tadi.

* * *

"Eyang, Kanya berangkat dulu ya."

Aku berpamitan pada seorang wanita tua yang duduk di kursi roda. Selain ibu dan bapak, eyang salah satu penghuni rumah joglo tempat aku dibesarkan ini. Kuperhatikan wajah kusut wanita itu. Keriput semakin lelap tidur di kulit wajahnya. Menjadikannya seperti sosok yang telah lelah menjalani hidup. Bagaimana pun, usianya menjelang 83 tahun bulan September nanti.

"Kau sudah mau balik ke Jakarta?"

Pertanyaan eyang membuatku tercekat. Bimbang antara mengangguk atau menggeleng. Akhir-akhir ini kesahatan eyang menurun. Sedikit pikiran yang menganggunya membuat wanita itu berteriak kesakitan. Ah, walau sebenarnya lebih tepat jika disebut ketakutan.

Eyang masih menyimpan luka masa remajanya. Wanita itu tumbuh menjadi sosok pendendam dan keras kepala. Bahkan di usianya yang hampir satu abad, wanita itu masih sensitif. Terlebih saat mendengar hal yang membangkitkan trauma masa lalunya. Mas Aditya, kakak sepupuku, anak dari kakak lelaki sulung ibu tak pernah dianggapnya cucu sampai saat ini. Akibat lelaki seumuranku itu berani melawan perintah eyang agar tidak melanjutkan studi di Negeri Sakura. Kini, aku dihadapkan situasi yang sama.

"Nggeh Buk. Ada pekerjaan yang harus diselesaikan Kanya," kata ibu berbohong demi menyelamatkanku. Perempuan itu yang lebih memahami kesehatan eyang dan bagaimana harus menghadapinya. "Sudah, lekas berangkat. Nanti ketinggalan pesawat."

Ibu mengecup pucuk kepalaku sebelum pergi. Kupandangi wajah mereka satu per satu. Rasanya begitu berat melangkah lebih jauh dari yang pernah kulakukan selama ini. Apalagi aku memiliki firasat buruk saat memandangi wajah eyang. Akankah aku bernasib seperti Mas Aditya jika eyang tahu kebenarannya?

Setelah menghembuskan nafas, aku memantapkan melangkah pergi. Bapak yang akan mengantarku sampai ke bandara.

Bagaimanapun tekadku sudah bulat. Aku tak bisa melangkah mundur. Terlebih aku harus terbang ke Jakarta sebelum melanjutkan perjalanan ke Kyoto. Pesawatku terbang pukul 23.35 dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Naoki-san menyarankan berangkat malam hari. Agar dia bisa menjemputku di Bandara Osaka keesokan harinya.

Gion Matsuri yang diselenggarakan selama musim panas di Kyoto menjadi tujuan utamaku. Tugas kali ini tak bisa kuanggap remeh, sebab dari sinilah aku akan terbang lebih tinggi. Menggapai mimpi yang kugantungkan di pohon imAdityanasi.
Maafkan Kanya, Eyang. Sebelum masanya, Kanya janji akan menghapus dendam di hati Eyang. Agar Eyang merasakan damai tanpa perlu ketakutan lagi menghadapi dunia.

Eyang, garis dendammu hanya akan berakhir pada masamu. Masa lalu Eyang, tak akan lagi menghalangi langkahku, ibu, Pakde Purnama, Bulik Lastri, juga seluruh keturunanmu. Kanya janji, akan mengembalikan perasaan damai itu.

Bersambung...

*Cerita bersambung ini ditulis Yoru Akira, nama pena dari Sumartik. Aktif menulis cerpen dan puisi. Penulis tinggal di Tuban.