Gadis dan Isi Kepalanya yang Selalu Hidup

Oleh: Nanang Fahrudin

Sosoknya misterius. Namanya saja tidak disebutkan. Ya, dialah gadis usia 18 tahunan yang mengaku kadang-kadang saja percaya Tuhan, rakus membaca buku, menyukai musik blues, dan sedang sendirian. Hidup serumah dengan ibunya yang dokter bedah, namun hampir tak pernah diajak bicara. Mereka saling diam, berada di dunianya masing-masing. Ayahnya? Sejak lahir dia tak pernah melihat ayahnya.

Sosok itu kukenal dari novel karya Andina Dwifatma. Judulnya: Semusim, dan Semusim Lagi. Andina adalah pemenang sayembara menulis DKJ 2012. Sampul bukunya muda banget, unyu-unyu. Jadi jangan bandingkan dengan buku-buku terbitan Pustaka Jaya yang jadul-jadul itu. Soal mana yang bagus, itu soal selera sih. Jadi ndak penting-penting amat.

Nah, saya bukan hendak membincang Andina. Anggap saja ini soal kata-kata Barthes bahwa pengarang telah mati ketika karya sudah terlahir. Sebuah karya akan hidup di dunia yang lepas dari siapa penulisnya. Tapi ada alasan lain sih, saya tak membincang Andina karena memang saya belum mengenalnya.

Mari kita membincang...(nama).. Duh, ini susahnya kalau tokoh dalam novel tidak diberi identitas nama. Iwan Simatupang memang tidak memberi nama pada tokoh-tokoh novelnya, namun biasanya dia memberi identitas “tokoh kita”. Kalau Ahmad Tohari misalnya jelas memberi nama Srintil pada tokoh di novel Ronggeng Dukuh Paruh. Nah ini? Duh.

Tapi tak mengapa. Suka-suka penulisnya kan? Tapi sebagai pembaca suka-suka juga saya memberi nama pada tokoh yang dihadirkan dalam novel Semusim, dan Semusim Lagi. Setidaknya dalam catatan ini saja. Sebut saja namanya Laura. Kenapa nama itu? Jangan diperdebatkan. Saya asal saja menyebut nama.

Laura punya pribadi yang unik. Setidaknya bukan seperti remaja pada umumnya. Ia mengenal semua lebih banyak dari internet dan buku. Anda bisa membayangkannya kan?

Kisah dimulai dari Laura yang mendapat surat dari ayahnya yang sejak lahir tak pernah dikenalnya. Surat itu ditunjukkan pada ibunya, yang dijawab tanpa ekspersi. Lalu, ibunya sakit dan tidak akan pulang selama beberapa bulan ke depan. Laura sendirian di rumah. Ia pun, sepengatuan ibunya, pergi hendak menemui ayahnya. Sesuai petunjuk dalam surat ayahnya, ia akan dijemput JJ. Henry dan dituntun bertemu Joe, ayahnya.

Di sebuah rumah besar yang asri dengan taman-taman, Laura tinggal sendirian. Semua kebutuhannya dicukupi oleh JJ. Henry. Laura belum bisa bertemu Joe, lantaran si ayah masih terbaring sakit. Namun, Laura menikmati kesendiriannya. Karena memang ia sudah terbiasa sendirian.

Singkat kisah, datanglah Muara, pemuda yang doyan baca buku juga, anak JJ. Henry. Selama 18 tahun, Laura tak pernah kenal dekat dengan laki-laki. Dan Muara adalah lelaki pertama yang memperhatikannya. Sehari-hari mereka ngobrol tentang caphucino, tentang cengkeh, tentang musik pembebasan, dan obrolan-obrolan nyambung lainnya. Mereka lalu dekat, dekat, dan beberapa kali menyatu. Muara sudah punya pacar, namun Laura tak peduli soal itu. Karena Laura tak pernah mempunyai getaran rasa itu. Ia hanya tahu bahwa ia tenang di samping Muara.

Laura lalu bertemu Oma Jaya, tetangganya. Oma Jaya punya ikan koi. Katanya, ikan itu adalah reinkarnasi dari suaminya yang sudah lama meninggal. Oma Jaya sangat sayang dengan ikan itu. Dia bilang bisa mendengar obrolan ikan itu. Oma menamai ikan itu: Sobron.

Hari-hari Laura sendirian. Ia sering merasa pusing. Isi kepalanya selalu melompat-lompat. Lalu, ia minum beberapa obat untuk bisa tenang. Muara beberapa hari tak datang menjenguknya. Dan pada sebuah senja, ia melihat kucing dengan sorot mata aneh. Kucing itu berjalan dan Laura menguntit dari belakang. Kucing itu menoleh, Laura sembunyi. Ia tiba-tiba takut ketahuan kucing itu. Padahal, ia hanya kucing. Bukan manusia.

Tapi Laura benar-benar takut. Ia merasa bersalah menguntit kucing itu. Lalu ia berlari pulang masuk rumah. Ia minum beberapa obat pusing karena kepalanya serasa hendak pecah. Lalu ia bangun dan mendapati Sobron, si ikan milik Oma Jaya di rumahnya. Sebagaimana manusia, Sobron berukuran besar, duduk dan bertanya keadaan Laura. Mereka terlibat bercakapan. Sobron mengatakan bahwa Laura sedang hamil, buah dari Muara. Ekspresi Laura datar saja.

Dan tak lama kemudian Muara datang mengetuk pintu. Ia masuk dan mencium Laura sebagaimana biasa. Sobron sudah menghilang. Laura menuturkan bahwa ia hamil. Muara bingung, karena itu tidak mungkin. Ia punya pacar yang sangat ia cintai. Muara merajuk agar Laura bisa menggugurkan kandungannya, dan Laura diam saja. Ia menyambar pisau, dan ketika posisi Laura berhadap-hadapan dengan Muara seperti orang yang hendak berciuman, pisau itu ditusukkan empat kali ke leher belakang kekasihnya itu. Muara ambruk bersimbah darah.

Kisah selanjutnya bisa ditebak. Laura dibawa ke kantor polisi, Muara ke rumah sakit. Di hadapan polisi Laura bilang ada ikan besar dan pisau itu mungkin disiapkan ikan itu. Dia menusuk Muara, tapi tak pernah bermaksud membunuhnya. “Kok sampai empat kali menusuk?” “Entahlah” jawabnya enteng.

Cerita-cerita Laura di depan polisi membuatnya harus dibawa ke rumah putih. Itulah rumah sakit jiwa. Di sana dia menjalani hari-harinya. Sesekali Sobron, si ikan besar itu datang dan menenangkannya. “Kau akan baik-baik saja,” begitu kata-kata adem Sobron.

Laura sering merasakan tubuhnya mengembang, atau kepalanya tiba-tiba terasa hendak pecah. Tak ada yang mempercayai keberadaan Sobron. Bahkan ibunya juga tak pernah mempercayainya. Soal kehamilannya, semua orang juga tak mempercayai. Karena sesuai tes kehamilan, ia memang tidak hamil. Tapi Laura lebih percaya Sobron daripada siapapun. Laura pun kurus kering, matanya cekung kehitaman, beberapa kali ia harus disuntik agar tenang. Ia kadang merasa Muara datang dan bercakap-cakap dengannya.

Terakhir Joe, ayahnya datang menjenguk. Laura senang sekali. Seumur hidupnya baru kali ini ia merasa punya ayah. Ya, benar-benar punya ayah. Hidupnya menjadi tenang, bahagia. Ia tak peduli berada di mana. Bersama ayahnya, ia merasakan kebahagiaan besar. “Segera sembuh ya, nanti kita pulang ke rumah,” begitu kata ayahnya.

Laura diam. Bahagia. Semusim sudah hidupnya dilalui, dan dia siap melalui semusim lagi, dan semusim lagi. Hidup ini masih panjang.

Identitas Buku:

Judul : Semusim, dan Semusim Lagi I Penulis : Andina Dwifatma I Penerbit : Gramedia I Cetakan : 1, April 2013 I Tebal : 230 halaman