Cinta Produk Batik Gedhog, Pemuda Ini Maksimalkan Promosi

Reporter: Ali Imron

blokTuban.com - Di tangan orang yang tepat, sosial media (Sosmed) menjadi sarana untuk mempromosikan semua hal bahkan menjunjung tinggi potensi sebuah daerah. Termasuk Batik dan Tenun Gedog Kerek, Kabupaten Tuban.

Sekarang untuk memperoleh Batik Kerek di sosial media, setiap pembeli terus diperkaya wawasannya. Si penjual tak segan berbagi ilmunya seputar batik tersebut.

Tranformasi pengetahuan ilmu perbatikan tersebut, dilakukan sebagai trik kekinian untuk meyakinkan pembeli sebelum memesan. Dengan semakin tahu prosesnya, maka akan timbul cinta dan lebih menghargai di hati pembeli.

Salah satu yang gencar mempromosikan produk Batik dan Tenun Gedok di sosial media adalah Nanang, pemuda asli Desa Gaji, Kecamatan Kerek.

Menurut pemuda yang telah menyelesaikan studinya di Undhiksa Bali itu, Batik Tuban sangat unik. Keunikan tersebut terletak pada batik pada tenun gedog. Tenun Gedhog merupakan penyebutan orang Kecamatan Kerek dari kata bunyi suara alat tenun dhog dhog dhog saat proses menenun.

"Perlu digaris bawahi bahwa kata Gedhog brasal dari fonem lidah orang Jawa Gedhog, tidak semata mata bisa diubah jadi Gedok, Gedok, atau Gedog," ujar Nanang kepada blokTuban.com, Minggu (18/7/2021).

Nanang tertarik dengan batik sejak umur 10 tahun, dan waktu itu kira-kira masih kelas 5 Madrasah Ibtidaiyah (MI). Berawal dari keluarganya mulai Nenek Buyut, serta Ibu, Kakak, serta Bibi yang merupakan penenun.

Di samping itu, lingkungannya juga mendukung dimana kebanyakan di Desa Gaji rata-rata mata pencarian selain bertani juga membatik dan menenun. Oleh karena itu, sedari kecil sudah banyak mengenal batik dan tenun.

Proseslah yang mematangkan ilmu dan wawasan Nanang soal batik. Dulu orang tuanya sempat melarang untuk membatik, alasannya karena faktor gender, menurut masyarakat Kerek, laki-laki tidak sepantasnya membatik, karena membatik itu dominan kaum perempuan dan kaum laki-laki sewajarnya di ladang.

"Awalnya saya suka mengambar, coret-coret tembok, coret-coret buku, koleksi buku komik, dan ngumpetin uang orang tua buat beli spidol dan crayon. Akhirnya, setelah saya cukup umur dari kesukaan saya menggambar timbulah rasa penasaran terhadap batik dan tenun," imbuhnya.

Ia mengakui dulu lebih suka belajar batik dari pada tenun. Sekarang dirinya mulai sadar bahwa ada kekayaan desa yaitu tenun Gedhog yang memacunya untuk belajar dari proses, mulai benang yg dipakai sampai jadi kain. Akan tetapi pekerjaan menenun sangatlah berat hanya orang orang yang tekun saja yang dapat menenun.

Secara umum batik yang diproduksi di Desa Gaji hampir seimbang antara batik katun dan tenun Gedhog. Permintaan pasar akan batik katun kebanyakan untuk seragam sekolah dan kantor. Namun untuk tenun Gedhog dipasarkan ke luar kota sampai keluar negeri, sebagai pakaian, syal, maupun jaket.

Sedangkan jenis corak motif batik masih kental akan pakem corak klasik yaitu ririnan dan panji-panjian, namun sekarang kebanyakan mulai bermunculan batik kontemporer perpaduan klasik dan modern.

Nanang tahu betul bagaimana perkembangan batik di desanya dari tahun ke tahun. Pembatik kebanyakan adalah gadis yang usianya 15 sampai 50 tahun. Mereka rata-rata perempuan yang baru lulus SD bekerja sampingan untuk membuat batik.

Sistem upah lebih dominan bukan gaji untuk anak yang masih kecil yang direkrut untuk diajari menembok batik setelah itu keterampilan membuat pola. Sedangkan untuk usia penenun kebanyakan 50- 60-an.

Sudah tidak bisa dipungkiri bahwa kenyataanya jumlah penenun tersebut mulai berkurang dari pada pembatik. Karena faktor proses dan keribetan menenun dari pada membatik.

Soal harga nilainya bervariasi. Untuk batik tenun Gedhog dijual mulai harga Rp800 ribu sampai Rp3 juta tergantung juga tingkatan kerumitan motif, warna hingga kualitas tenunnya. Sedangkan untuk batik katun mulai harga Rp150 ribu sampai Rp1,5 juta dan tergantung tingkatannya juga.

"Kebanyakan saya meminta bantuan penenun untuk membuatkan tenun baru saya batik. Jika permintaan pasar sangat banyak maka meminta tolong ke temen untuk ikut membatikan," jelasnya.

Dari sekian banyak penjual, Nanang adalah salah satu yang mempunyai trik khusus di sosmed. Menurutnya banyak penjual batik dan tenun di luar sana yang tidak memberikan arahan proses dan lika likunya menenun dan membatik. Hal itulah yang memantiknya untuk mencoba mempromosikan dengan berbagi ilmu seputar batik dan tenun yang ada di Kerek.

Sebagai pemuda yang berpendidikan tinggi, Nanang paham bahwa seiring perkembangan zaman tentu media sosial sangat berpengaruh besar terhadap hidup seseorang. Oleh karena itu, media sosial menjadi kunci untuk mengenalkan produk dalam negeri ke dunia yang lebih luas. Diupayakan pula supaya batik dan tenun di Kerek dapat dicintai dan dimiliki oleh konsumen baik dalam maupun luar negeri.

Sebagai pemuda yang peduli dengan batik, ada banyak tantangan yang menghadang. Mulai dari proses menenun yang menghasilkan kualitas tenun yang bagus, diperlukan kesabaran dan keuletan. Hal itu menjadi tantangan untuk dirinya sebagai pemuda untuk memacu perajin supaya menciptakan karya tidak sekedar kejar target.

Begitupun dengan batik, membuat batik semestinya juga mengikuti pola dan ketelatenan yang luar biasa, supaya menghasilkan produk yang bernilai jual tinggi. Inilah yang menjadi PR nya untuk memotivasi para perajin di Desa Gaji.

"Saya berharap bagi para perajin, berkaryalah sesuai dengan hati kalian. Gaji/uang adalah bonus, yang penting ciptakan karya yg dapat membuat semua kalangan terpesona akan karyamu. Jika tidak kita yang melestarikan dan mengenalkan produk kita lalu siapa lagi," pesannya. [ali/col]