Catatan Pileg 2019: Maaf, Visi Misi Anda (Belum) Laku

Oleh Sri Wiyono

blokTuban.com – ‘’Uang mengalahkan seduluran, ngalahno kekancan. Senajan seteng, seduluran sing wis suwe ambyar,’’ kata kawanku, seorang caleg yang gagal meraih kursi DPRD.

Dalam pertemuan yang tidak direncanakan. Di sebuah warung Padang menjelang senja. Saat itu, saya baru pulang dari sebuah acara. Saya buru-buru harus menulis beritanya. Namun perut sudah keroncongan.

Saya membelok ke warung Padang. Niat saya akan membungkus makanan untuk saya makan di kantor sambil ngetik berita. Teryata di warung itu ada kawan saya yang juga sedang menunggu pesanan.

Maka dia memaksa saya untuk makan di tempat. Menemaninya makan. Meski saya sudah memaksa untuk bungkus saja, dengan pertimbangan saya diburu waktu. Karena dia terus memaksa, akhirnya saya mengalah.

Maka meluncurlah kata-kata itu sebagai pembuka diskusi soal pileg. Dengan kawan saya ini, saya memang sering diskusi tentang banyak hal. 

Dan, saya banyak menemui keluh kesah sama seperti yang disampaikan kawan saya ini. Baik secara langsung maupun melalui pesan singkat. Bahkan ada yang ngunggah status di media sosial (medsos).

Betapa kecewanya mereka pada kenyataan. Bahwa uang bisa memorakporandakan segalanya. Meski tidak semuanya seperti itu. Namun kebanyakan itulah yang terjadi. 

Eiit…jangan terlalu jauh dulu. Saya hanya membahas soal pileg. Jadi, segalanya itu masih ada gandeng cenengnya dengan perpilegan hehehe…

Segalanya yang saya maksud adalah, segala sesuatu yang sudah disiapkan pada caleg, tim sukses, sabet, broker dan lain sebagainya yang berkiprah dalam pesta lima tahunan ini. Karena, ada yang sudah menyusun strategi ndakik-ndakik menjadi ambruk karena diserang uang.

‘’Jangankan tidak membagi uang, membagi uang kalah jumlah saja kalah kok. Pileg ini sangat mahal. Biaya demokrasi tinggi,’’ tambah kawan saya ini.

Dia bukan hanya berteori, namun dia adalah pelaku sehingga mengalami sendiri dan tahu persis bagaimana kondisi lapangan. Hanya, saya agak khawatir ketika dia kemudian menarik kesimpulan; bahwa demokrasi adalah uang. Tidak usah berprogram yang melangit, alias programnya tinggi, karena dengan uang semua beres.

‘’Sekarang bekerja saja yang giat. Mengumpulkan modal, pemilu depan ikut lagi. Nembak sejumlah uang pasti jadi, jika sistem masih seperti ini,’’ katanya yakin.

Ketika saya bantah, sistem bisa berubah. Dia membalas lebih tegas.

‘’Saya kita pemilu depan sistem masih seperti ini. Bahkan bisa lebih parah. Artinya modal yang dikeluarkan lebih besar,’’ sergahnya.

Dan, saya tak mampu menjawab lagi, karena faktanya seperti itu. Uang caleg itu kayak kentut yang terdengar nyaring di telinga, namun bentuknya tak bisa dirasa. Tak bisa dilihat, tapi bisa dicium baunya. Bisa didengar suaranya. Seperti itukah? Entahlah… 

Pemahaman dan keyakinan kawan saya ini berbahaya bagi demokrasi. Bayangkan jika semua beranggapan seperti itu. Menilai bahwa uang bisa memuluskan langkah seseorang untuk duduk di kursi wakil rakyat. Bagaimana nasib demokrasi negeri ini kelak?

Tapi, kondisi seperti itulah yang saat ini sedang terjadi. Dan entah sampai kapan. Perlu ada dobrakan, perlu ada perubahan sistem dan perlu ada yang memulai. Tapi sampai kapan? Siapa yang harus memulai?

Karena saat ini sekadar menjual visi misi saja tak laku. Visi misi hanya dianggap omong kosong. Kuno dan sangat tidak menarik. Maka ketika pemilih datang ke TPS tanpa ada ‘sangu’ yang dia dia bawa, maka caleg yang hanya modal visi misi itu tak akan dipilih.

Lihat saja para caleg yang berlaku (sedikit) idealis itu. Mereka mengajak masyarakat untuk berfikir cerdas. Bukan sekadar uang saku, namun program yang lebih jelas, tuntas dan terukur. Namun, saat sang caleg tanpa memberi sangu. Maka caleg itupun tak dipilih.

Ada beberapa kawan yang seperti itu. Mereka rata-rata caleg muda, aktivis dan peduli dengan masyarakat. Namun semua rontok oleh serangan fajar. Mengenaskan !!

Apakah kondisi itu membuat menyesal? Iya!. Menyesal karena masyarakat belum bisa diajak cerdas. Masih pragmatis dan moto duwiten. Padahal, masa depan demokrasi harus dirancang bagus sejak awal.

Lalu apakah harus putus asa? Jangan !!. Mayarakat harus diajak berfikir positif. Masyarakat harus diberikan rasa optimis. Masyarakat harus berani bermimpi dan punya keyakinan bahwa suatu saat demokrasi uang itu tidak laku.

Saya teringat, salah satu caleg yang rontok itu pernah diskusi dengan saya. Saya katakan pada dia, bahwa harus ada yang memulai. Meski berat, harus dijalani. Bahwa visi misi saja tanpa uang saat ini belum laku, namun yakinlah suatu saat masyarakat akan faham dan kembali ke jalur yang benar.

Saya belum ketemu muka lagi dengan kawan caleg saya yang gagal ini. Semoga jika dia membaca tulisan ini, dia ingat dengan diskusi kami, jauh sebelum pileg, bahkan jauh sebelum dia mendaftar caleg.

Saya berharap semangatnya, juga caleg-caleg idealis lainnya tetap berkobar. Tidak patah arang dan terus memelihara mimpi bahwa demokrasi ke depan akan cerah. Jika sekarang dia dan segelintir caleg idealis lain yang memulai, pemilu-pemilu ke depan yakin akan semakin banyak. Amin.

Saat nyaleg di pileg April lalu, kawan saya yang ketemu di warung nasi Padang itu mengaku tak mau keluar uang untuk membeli suara. Meski secara finansial saya yakin dia mampu. Sebagai pengusaha, saya yakin tabungannya banyak. Untuk bermain-main layaknya caleg lain, saya yakin dia bisa.

Hanya, saya angkat topi saat itu tidak dia lakukan. Sebab, di lapangan dia melihat betapa peredaran uang caleg sangat luar biasa jahat. Saling berebut, saling mengungguli dan saling menyalip.

Kawan saya ini bercerita, ketika ada caleg lain yang masuk ke kampungnya. Melalui orang-orangnya membagikan uang Rp 30 ribu untuk satu orang. 

Kawan saya ini ngetes kekuatan lawannya itu. Maka, dia melalui orangnya membuang Rp 1 juta. Uang itu dibagikan ke 20 orang. Sehingga tersebar berita, kawan saya ini membagikan Rp 50 ribu per orang.

Maka, ketika kabar ini sampai ke caleg lain,  tak lama kemudian, caleg yang semula membagi Rp 30 ribuan itu menambahi lagi, Rp 50 ribuan per orang. Maka jadilah caleg lawan kawan saya ini membagi Rp 80 ribuan per orang untuk mencari dukungan.

Tahu seperti itu, caleg kawan saya ini berhenti. Dia kehilangan Rp 1 juta untuk mencari banyak pengalaman.

‘’Uang saya itu keluar suara utuh, 20 suara. Artinya uang itu sangat pengaruh,’’ dia kembali menunjuk fakta. Dan, saya hanya bisa menghela nafas panjang.

Dengan kondisi sepert itu, bukan sebuah penghinaan ketika rumah sakit (RS) di hampir semua daerah menyediakan bangsal khusus untuk menangani pasien stress. Disediakan dokter kejiwaan untuk menangani.

Manajemen rumah sakit mengantisipasi jika ada caleg yang stres karena gagal terpilih. Sedang dia sudah keluar uang banyak. Apalagi jika modalnya dari hutang. Sehingga potensi stress sangat besar.

Selanjutnya, masa depan demokrasi ada di tangan masyarakat. Apakah tindakan melupakan saudara, kerabat, kawan dan karib hanya untuk memburu sangu dari caleg yang nilainya recehan itu akan terus berjalan atau tidak.

Apakah akan ada angin perubahan. Sistem yang berubah. Tata cara yang berubah. Metode menggaet pendukung yang berbeda dengan saat ini, semua ada di tangan masyarakat. Dan, mari terus optimis bahwa ke depan tatanan demokrasi kita akan semakin maju dan baik.

Sebab, uang bukan segalanya. Meski dalam dunia bisnis terkadang tak bisa dicampur antara uang dan kekerabatan, bahkan keluarga sekalipun.

Saya jadi teringat pelajaran dari salah satu kawan saya dari etnis Tionghoa. Suatu saat, saya berkunjung ke rumah kawan saya ini. Kawan saya ini kaya, secara ekonomi sudah lebih-lebih. Dan, dia sering mengundang saya sekadar untuk diskusi, ngobrol dan mendengarkan ide-idenya.

Pada awal saya bertamu, saya kaget. Ketika dia harus membayar kue yang disuguhkan pada saya. Sebab, yang saya tahu, kue itu diambil dari toko miliknya sendiri. Dan, kawan saya ini tinggal memencet tombol bel untuk memanggil pelayan toko kue miliknya.

Dia pesan beberapa kue dan minuman kemasan untuk saya. Dia lalu menyodorkan sejumlah yang untuk membayar. Saya tunggu sampai pelayan toko keluar ruangan. Baru saya bertanya, kenapa dia harus membayar kue dari tokonya sendiri.

Begitulah, dia lalu bercerita, bahwa toko kue yang sangat laris itu dikelola salah satu anaknya. Tinggalnya, juga satu rumah dengan dia. Sedangkan kawan saya ini yang memasok kue dan roti-roti ke toko tersebut.

Ya, kalau saya mau ke tempat saya ini, saya harus melewati sejumlah ruangan untuk produksi roti dan kue, sebelum sampai ke ruangan kerjanya. Di ruangan itu, kami sering menghabiskan waktu untuk diskusi berjam-jam.

Maka, kawan saya ini selalu bertanya apakah saya repot atau tidak. Ada waktu atau tidak ketika mengundang saya. Karena kalau sudah diskusi, minimal dua jam.

Dari pertanyaan saya, dia menjawab, bahwa soal bisnis, jual beli dan keluarga harus dibedakan. Dagang ya dagang. Bisnis ya bisnis. Tidak ada hubungan bapak-anak, saudara atau kerabat dalam urusan bisnis. Semua berjalan sesuai lazimnya.

‘’Namun, ketika ada anak saya, atau keluarga saya yang membutuhkan pertolongan, sayalah yang pertama membantu,’’ tegasnya.

Seolah kawan saya ini mengerti jalan pikiran saya yang akan protes. Makjleb !! Kata-kata itu menghujam saya. ‘’Sayalah orang yang pertama membantu’’ sebuah deklarasi dan komitmen kuat yang dia buat.

Dan memang benar, kawan saya ini dikenal karena kederwanannya. Pada karyawannya, dia sangat perhatian. Dia menganggap sebagai bagian penting dari rantai bisnisnya. Sehingga, keberadaannya harus diperhatikan. Kepentingannya didahulukan, kebutuhannya dicukupi. Kesulitannya diringankan.

Tentu semua itu mengeluarkan biaya Mengeluarkan uang. Dan, kawan saya ini royal untuk urusan kemanusiaan seperti itu. 

Bagaimana masih berbicara soal uang, masih menganggap uang mengatasi semua masalah? Masih gara-gara uang mau merenggangkan kekerabatan dan persahabatan. Pilihan ada di tangan Anda. Wallahua’lam.(*)