Perajin Gerabah Banyubang Tetap Bertahan dengan Cara Tradisional

Reporter: M. Anang Febri‎

blokTuban.com -‎ Kerajinan tangan jenis gerabah di kawasan Kabupaten memiliki banyak ciri khas dan jenisnya masing-masing. Para perajin yang tersebar luas di wilayah pelosok desa-desa kecamatan di Bumi Wali, sebutan lain Kabupaten Tuban, selain sudah menggunakan alat teknologi canggih, juga masih ada yang bertahan dengan proses tradisional.

Seperti aktivitas salah satu warga di Desa Banyubang, Kecamatan Grabagan. Kerajinan gerabah, jenis tungku masak tradisional atau dalam Bahasa Jawa-nya Pawon, diolah secara manual tanpa alat canggih yang digunakan perajin Gerabah di lain daerah.

Adalah Bu Narti. Wanita kelahiran empat puluh delapan tahun silam itu mengaku, proses pengolahan gerabah tungku masak ‎ dibuat olehnya secara manual. Mulai dari mencari tanah liat di lahan persawahan dekat rumahnya, lalu membawanya‎ naik ke rumah sekaligus tempat pengolahan gerabah. Setelah bahan utama didapatkan, tanah liat tersebut kemudian dicampur dengan kulit gilingan padi dan diaduk bersamaan air.

"Sesudah itu tinggal dibentuk sesuai jenis dan ukuran yang telah memesan Pawon ini Mas. Mudah, hanya saja proses selanjutnya yang memakan waktu lama," terang Narti ketika ditemui blokTuban.com di halaman rumahnya, Jumat (11/5/2018).

‎Dalam seharinya, dia dapat membuat‎ empat hingga lima buah gerabah jenis tungku dapur tradisional itu tanpa kesulitan yang berarti. Bahan utama gerabah, tanah liat dicarinya sembari memperbaiki letak pematang sawahnya. Sedangkan kulit hasil gilingan padi yang disebutnya Dedek, didapatkan dari tempat penggilingan padi dekat rumahnya.‎

‎Proses pengeringan serta pembentukan gerabah, sambung ibu empat anak itu, agar lebih halus dan kuat diperlukan waktu lebih dari satu bulan‎ untuk menyelesaikannya.

"Proses panjangnya itu ketika menghaluskan bagian-bagian gerabah ini. ‎Harus telaten dan cermat supaya gerabah memiliki bentuk halus dan tekanan yang kuat tanpa perlu dibakar. Kalau dibakar kurang kuat, gampang pecah," jelasnya lagi.

Sedangkan untuk harga, setiap gerabah pawon yang dibuat‎ Bu Narti jika mendapat pesanan dari wilayah Kecamatan Grabagan dan Rengel, dipatok mulai dari Rp 40.000 untuk untuk ukuran kecil satu lubang tungku, hingga Rp60.000 untuk ukuran besar dengan model dua lubang tungku.

Kendati penghasilan yang didapatkan tak cukup sebanding dengan prosesnya, Bu Narti tetap optimis bekerja demi membantu suaminya untuk menyumbang perekonomian keluarganya. ‎Tercatat lebih dari sepuluh tahun dia menggeluti bidang tersebut.

"Dulu, harganya hanya lima ribu rupiah sudah dapat ukuran yang besar. Sepuluh tahun lebih, sampai hari ini masih buat gerabah. Sedangkan tetangga lainnya sudah gak lagi. Di Grabagan sana juga ada yang buat, tapi sudah pakai alat giling," imbuhnya sembari menepuk-nepuk gerabah yang baru bebrapa hari dibuatnya supaya halus.

Keberadaannya sebagai perajin gerabah tradisonal‎ tetap disyukuri apapun adanya. Meski perajin di desa lain telah menggunakan alat giling yang bisa memudahkan dan mempercepat proses pembuatan gerabah Pawon, dia jugatak menolak andai kata dapat perhatian lebih dari pemerintah berkaitan.

"Adanya begini disyukuri saja. Selama ini belum ada bantuan dari pemerintah. Tapi, kalau ada bantuan seperti pemberian alat atau yang lain, itu lebih bagus dan bisa meringankan pekerjaan," tutupnya kepada blokTuban.com. [feb/col]