Perempuan Dalam Ingatan/Keping Ingatan II Bagian 2

Penulis: Yoru Akira

Kyoto, Juni 2017

Sudah dua hari aku tinggal di Kyoto. Cukup melelahkan setelah perjalanan panjang dan mabuk udara. Tujuh jam penerbangan dari Jakarta ke Tokyo, dan harus berganti pesawat di Bandara Haneda sebelum melanjutkan perjalanan. Waktu dua jam kugunakan untuk menghubungi ibu dan ayah. Mas Aditya juga sempat bertanya apakah aku sudah sampai atau belum. Setelah mengirim pesan singkat via chatting, lelaki itu meneleponku. Katanya Naoki-san akan menunggu di bandara sebelum pesawatku sampai.

Benar, perempuan cantik yang sempat menjadi pacar Mas Aditya itu, sudah menunggu saat pesawat Japan Airlines yang membawaku lepas landas di Bandara Internasional Osaka. Tepat pukul 12.30 waktu setempat.

Baca juga [Perempuan Dalam Ingatan/Keping Ingatan II]

Setelah perjalanan panjang dan mabuk udara, aku memutuskan beristirahat sejak kemarin. Apalagi setelah seharian memuntahkan seluruh isi perutku. Jadilah aku terkapar setelah memberi kabar pada ibu jika semua baik-baik saja. Untung Naoki-san mau merawatku. Perempuan itu terlihat khawatir melihat keadaanku yang benar-benar parah. Bahkan dia berencana membawaku ke apatou miliknya jika aku tak bersikeras menolak. Akhirnya dia mengalah dan menemaniku tidur di hotel.

Setengah terpejam aku mencari sosok Naoki-san. Rupanya perempuan itu sudah tidak terlihat. Sepertinya dia memutuskan pergi saat aku masih sibuk bergelut dengan mimpi. Rasanya perutku masih sedikit mual saat beranjak bangun. Aku tersenyum saat menyadari Naoki-san meninggalkan sup rumput laut dan memo kecil di samping tempat tidur.

"Sugu ni kaifuku suru tame ni tabemasu. Kyō wa, Kyōto o chūshin ni itte imasu. Gionmatsuri wa ashita kaishi sa remasu,"*

Tulis Naoki-san dalam huruf Hiragana. Tulisan perempuan itu memiliki garis tegas di setiap goresannya. Dan terlihat begitu rapi. Sangat mencerminkan kepribadiannya.

Tanganku bergerak membuka tirai kamar hotel. Pemandangan sibuk Kota Kyoto menyapa retina. Naoki-san memang memilihkan penginapan yang memiliki akses mudah. Selain dekat stasiun juga mudah menemukan caffe maupun rumah makan yang menawarkan berbagai macam menu khas Kyoto. Aku belum sempat memperhatikan secara detail memang. Rencananya aku akan mulai beradaptasi setelah...

Aku menepuk kening saat menyadari ada sesuatu yang terlewatkan. Mataku membulat saat mendapati nama Mbak Bunga di layar handphone. 36 panggilan tak terjawab dari kepala editorku itu. Mampuslah sudah. Dia pasti berencana menagih rencana liputan yang belum juga kukirim sejak kemarin. Aku dibayar untuk menulis rubrik budaya di majalah yang akan terbit bulan depan. Bukan untuk bersenang-senang. Dan Mbak Bunga tahu caranya menebar teror.

Aku menekan tombol dial. Tidak peduli pukul berapa sekarang di Indonesia. Aku justru berharap ini masih jam 4 pagi di Indonesia biar Mbak Bunga tahu rasanya diteror. Memangnya hanya editor yang punya hak meneror anak buahnya. Nope. Mbak Bunga harus merasakannya juga.

"Halo Kanya? Kamu gila ya, ini baru jam 4 pagi dan sudah membuat tidurku tak tenang. Jadi ada kabar apa?"

Aku cekikikan saat menyadari dugaanku tak sepenuhnya keliru. Sebelum melanjutkan pembicaraan, aku mengatur nafas. Jangan sampai Mbak Bunga tahu jika aku menertawakannya.

"Mohon maaf Mbak, aku kemarin mabuk udara. Jadi hari ini baru bisa mengirim rencana liputannya."

Kujauhkan handphone dari telinga. Sudah kuduga, wanita hampir setengah abad itu akan berteriak mengomeliku. Bahkan tanpa mendengarnya, aku sudah hafal apa yang dia katakan. Baru setelah amarahnya reda, aku kembali menempelkan handphone di daun telingaku.

"Maaf Mbak. Aku juga nggak nyangka bisa mabuk udara kayak gini."

"Ya sudahlah. Minum obat. Aku menunggu gagasan cerdasmu," kata Mbak Bunga sebelum mengakhiri panggilan internasional itu. Selanjutnya aku memilih merebahkan kembali tubuhku di kasur empuk hotel. Biarlah beberapa menit lagi kumanjakan tubuhku. Toh ini masih terlalu pagi.

Perbedaan waktu Jepang dan Indonesia bagian barat hanya terpaut dua jam. Sama halnya perbedaan waktu Indonesia barat dan waktu Indonesia Timur. Cukup dekat bukan. Yah, memang sedekat itulah jaraknya. Tapi tetap saja butuh waktu tujuh jam lebih untuk sampai di Negeri Matahari terbit ini. Cukup mengurus tenaga bagi orang yang tak pernah pergi jauh sepertiku. Mataku benar-benar melek sepenuhnya, saat handphoneku kembali berdering. Naoki-san mengabarkan bahwa dia tak bisa mengantarku keliling Kyoto. Katanya ada rapat penting yang tak bisa ditinggalkan siang nanti.

Aku menarik nafas berat. Oke, kuputuskan untuk berkeliling sekitar hotel hari ini. Sepertinya aku tak akan kesasar dengan bantuan maps. Zaman sekarang sudah canggih bukan!

* * *

Sebenarnya, aku hanya iseng saat bertanya jam kepada seorang lelaki di taman kota. Entah mengapa aku penasaran dengan wajah sayunya. Memang bukan urusanku untuk mencampuri urusannya, tapi melihat wajahnya mengingatkan aku saat mengetahui kehidupan eyang paling kelam belasan tahun lalu. Apalagi frame wajahnya tak pantas mengeram mendung. Itulah sebabnya aku menghampirinya dan bertanya jam berapa sekarang. Meski tidak memakai jam, bisa saja ‘kan melihat handphone jika memang ingin tahu jam berapa sekarang. Namun kenyataannya, jawaban lelaki itu membuatku terkejut.

"Pukul 02.00, Nuna."

Astaga! Aku bergegas meninggalkannya setelah mengucapkan terima kasih.
Berapa lama aku terlarut memperhatikan sosoknya. Jika diperhatikan lelaki itu memiliki sorot mata yang teduh meski tatapannya terlihat tajam. Garis tulang pipinya pun kokoh dan tegas. Hidungnya mancung standart Asia Timur. Sedang kulit wajahnya putih pucat. Sangat kontras dengan bibir merah dan rambut hitam yang dibiarkan berantakan. Aku mengingatnya serupa L dalam serial Death Note versi live action yang diperankan Yamaken.

Memang wajahnya terlihat muda. Meski aku menaksir kita sepantaran. Tapi tetap saja, wajahnya lebih muda dibanding dengan umurnya.

Ish, aku segera menepis pikiran itu. Tujuanku bukan untuk menyensus lelaki tampan di jantung Kota Kyoto. Fokusku kemari adalah meliput perayaan tahunan saat musim panas. Tapi, bolehkah aku berharap akan berjumpa dengannya lagi? Firasatku berkata boleh.

* * *

Tatapan kami bertemu. Tanpa nada. Tanpa suara. Tapi kami tahu, masing-masing saling mencari untuk menemukan.

Naoki-san memberi kabar jika akan seorang kawan yang akan menemaniku. Mulanya aku memang kesal. Seenaknya saja Naoki-san membatalkan janji. Tapi aku tak bisa menuntut. Aku tahu sibuknya bekerja di bidang jurnalistik. Apalagi dengan posisi Naoki-san sebagai editor.

"Anata wa Kanya desuka?**  Naoki-san yang memintaku untuk menemuimu."

"Hai', Kanya desu. Yoroshiku onegaishimasu."***

Lelaki itu tersenyum. Lantas merendahkan punggungnya 90 derajat, seperti posisi orang rukuk. Aku bangkit dari tempat dudukku dan membalas salamnya.

"Boku wa Himura Kenzo. Douzo yoroshiku," **** lanjut Himura-san dengan fasih menggunakan Bahasa Indonesia.

"Ah, Anda berbahasa Indonesia rupanya," ucapku tanpa bisa menutupi rasa terkejut. Lelaki di depanku tersenyum.

"Belajar sedikit dari Kakek. Dia dulu prajurit saat Perang Dunia II."

"Ah, senang berjumpa denganmu, Himura-san."

Dan entah mengapa, pada detik berikutnya menjadikan pertemuan ini tak begitu kuinginkan. Terlebih, saat dia menyebut kakeknya bekas prajurit saat PD II. Ada dalam separuh diriku yang masih menolak jika Jepang pernah menjajah tanah airku. Bukan tanpa sebab. Tapi karena traumanya masih kulihat sampai saat ini. Terlebih begitu lekat dengan setiap hela nafas eyang. Nenekku.

Bersambung...

Catatan kaki:

*Makanlah agar cepat sembuh. Hari ini kita akan keliling Kyoto. Gion matsuri/festival Gion baru dimulai besok.

**Apakah Anda Kanya?

***Ya, saya Kanya. Mohon bantuannya.

****Saya, Kenzo Himura (orang Jepang menyebutkan nama keluarganya terlebih dahulu). Senang berkenalan dengan Anda.

* Cerita bersambung ini ditulis Yoru Akira, nama pena dari Sumartik. Aktif menulis cerpen dan puisi. Penulis tinggal di Tuban,