Tarik Ulur Relasi Agama dan Negara

Oleh: Ichwan Ar*

Himbauan Presiden Joko Widodo untuk tidak mencampurkan agama dan politik yang disampaikan dalam pidatonya pada saat meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, menuai kritik dari beberapa tokoh politik. Pernyataan presiden tersebut dikritik tidak punya pijakan sejarah. Namun kritik itu tak menyurutkan pikiran dan langkah politik, pada saat meresmikan Masjid Arifah Istiqomah Ponpes Khalifatullah Singo Ludiro, Sukoharjo Jawa Tengah, dalam pidatonya presiden kembali mengingatkan semua elemen bangsa untuk tidak mempolitisasi agama. Presiden Joko Widodo juga mengklarifikasi bahwa tidak ada pikiran politik atau kehendak untuk memisahkan agama dan politik atau negara, namun menegaskan bahwa hubungan antara keduanya harus dijalin dalam konteks yang tepat.

Perdebatan tentang relasi agama dan negara memang bukan hal baru, bahkan pergulatan tema besar itu sudah terjadi diantara para founding fathers sejak persiapan pembentukan negara Indonesia merdeka. Bahkan sebelumnya, telah terjadi perdebatan antara Soekarno dengan Muhammad Natsir tentang relasi agama dan negara. Sejalan dengan pembentukan Indonesia sebagai sebuah negara, perdebatan tentang dasar negara tersebut telah dianggap selesai dengan tercapainya kesepakatan menempatkan Pancasila sebagai ideologi negara. Hal lain yang meneguhkan penyelesaian itu adalah kesepakatan semua pendiri negara untuk tidak menanggalkan frase “menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam sila pertama sebagaimana dituangkan dalam Piagam Jakarta, dan menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila.

Tantangan Saat ini

Meski perdebatan ideologi negara dianggap selesai, namun tidak lantas menghentikan gerakan yang ingin mengubah Pancasila dan mengganti dengan ideologi lain sebagai dasar negara. Perdebatan panjang dalam konstituante yang berujung pada dekrit presiden 5 Juli 1959 merefleksikan fenomena tersebut, termasuk juga gerakan politik bersenjata seperti pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Gerakan teror bersenjata, yang terjadi akhir-akhir ini, termasuk yang terbaru di Tuban Jawa Timur, dapat dikategorisasikan ke dalam upaya makar melawan pemerintahan yang sah dan upaya mengganti ideologi negara. Saat ini, selain gerakan politik sektarian, muncul pula gerakan politik transnasional yang juga berlabelkan agama. Cita-cita politiknya adalah membangun satu pemerintahan berlandaskan agama dengan kekuasaan yang melintasi batas daulat negara saat ini. Tidak jarang upaya mewujudkan cita-cita itu dilakukan dengan kekerasan dan senjata.

Oleh karena itu, pernyataan Presiden Jokowi tersebut justru sangat relevan dengan kondisi saat ini serta tidak ahistoris, seperti yang dikritikan beberapa tokoh politik. Seyogyanya pesan presiden itu dimaknai sebagai peringatan dan ajakan peningkatan kewaspadaan terhadap beragam upaya melemahkan sendi-sendi kebangsaan melalui beragam jalur gerakan politik, termasuk yang berlabelkan agama.
    
Sejatinya, pola relasi antara agama dan negara dapat dikategorikan kedalam beberapa tipe. Pertama, menyatukan agama dan negara yang meyakini bahwa keduanya merupakan entitas yang dapat disatukan dan saling mengisi satu sama lain. Gagasan ini melahirkan konsep teokrasi, yaitu pemerintahan yang dijalankan oleh “wakil Tuhan” di muka bumi. Dalam konteks ini, penguasa negara sekaligus menjalankan kekuasaan illahi yang suci. Karena itu, tidak ada ruang untuk menyalahkan penguasa. Kebenaran ditafsirkan secara tunggal dan satu-satunya tafsir kebenaran tersebut sepenuhnya dimiliki penguasa. Disisi lainnya, pola relasi ini juga mendorong lahirnya gerakan fundamentalisme. Sebagaimana dikemukakan Goenawan Mohammad dalam Catatan Pinggir, ciri fundamentalisme adalah memusuhi hidup. Bagi kaum fundamentalis, kalimat suci dalam kitab agama diterima sebagai sesuatu yang stagnan dan tidak akan berubah dalam sisi makna dan tafsir. Waktu yang berubah adalah jalan kemerosotan.

Dalam kehidupan politik dan sosial, monopoli kebenaran pada akhirnya menjadi sumber konflik dengan pihak lain yang berbeda pendapat. Kekerasan atas nama kebenaran dan agama menjadi hal yang tidak terhindarkan. Karakter gerakan politik seperti itulah yang mewarnai perilaku organisasi seperti Al Qaeda dan the Islamic State of Syria and Iraq (ISIS). Pengaruh gerakan tersebut masuk pula ke Indonesia, gerakan teror bersenjata yang beberapakali telah melakukan aksi, menjadi bukti bahwa ancaman itu tidak berada jauh di luar sana, namun telah hadir dalam kehidupan kita.

Kedua, agama dan negara dipisahkan satu sama lain sebagai dua entitas berbeda. Agama masuk dalam ruang privat dan menjadi urusan individu, sedangkan negara mengurusi aspek-aspek kehidupan yang masuk dalam ranah publik. Gagasan pemisahan agama dan negara itu kemudian lebih dikenal sebagai sekularisme. Ide tersebut banyak diterapkan di sebagian besar negara di dunia, khususnya negara-negara maju. Hasilnya, negara-negara tersebut memiliki stabilitas politik yang terjaga dengan baik, konflik antar agama/keyakinan jarang terjadi. Politisasi agama untuk digunakan dalam kepentingan lain di luar agama juga tidak “laku” di masyarakat. Hal itu membuktikan bahwa sekularisme mampu mengelola hubungan agama dan negara dengan baik serta sekaligus membawa kemajuan peradaban. Gagasan kemerdekaan di negara-negara Arab, Timur Tengah dan Afrika Utara, banyak juga yang diilhami oleh ideologi yang dianggap profan seperti sosialisme Arab yang menjadi ideologi Partai Baath, partai yang berkuasa Suriah dan Irak pada masa rezim Saddam Husein.

Sekularisasi, mengutip Ismatillah A. Nu'ad, mengandung desacralization of power yakni membongkar mitos-mitos kekuasaan Allah dan deconsecreation of values atau pembangkangan terhadap nilai-nilai ajaran agama. Konsekuensinya, ajaran agama yang selama ini telah terkonstruksi secara dogmatis dan tidak tersentuh (untouchable), kemudian menjadi sesuatu yang dapat disentuh oleh pikiran-pikiran manusia (touchable). Dengan pembebasan alam semesta misalnya, pemahaman keberagaam seseorang akan bisa memisahkan diri dari "kekuasaan Allah" dan dapat membongkar nilai-nilai ajaran agama. Sehingga agama menjadi inklusif dan penganutnya dapat leluasa menciptakan perubahan serta membenamkan dirinya ke dalam proses evolusi sejarah umat manusia sepanjang zaman. Lebih lanjut Nu'ad mengemukakan, sekularisasi justru merupakan "ajaran kritis" untuk umat manusia ketika ajaran agama dianggap hanya sebagai hiasan penenang yang hanya membenakan kesadaran kritis manusia.

Indonesia tidak secara tegas menganut pemisahan agama dan negara maupun menyatukan keduanya. Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945 menegaskan, bahwa Indonesia didirikan sebagai jalan pembebasan bagi rakyat dari segenap bentuk penindasan. Cita-cita besarnya adalah terwujudnya tata kemasyarakatan yang berkeadilan yang didasarkan pada nilai moral sebagai landasan sistem sosial serta religiusitas yang dimiliki anggota masyarakat. Oleh karena itu, negara harus dijaga dari upaya memformalisasi agama dalam tata kelolanya. Negara sepatutnya juga tidak perlu mencampuri terlalu jauh urusan keberagamaan masyarakat. Namun, negara harus hadir untuk memberikan kepastian bahwa setiap agama dan keyakinan yang dianut berbagai elemen bangsa ini memperoleh perlakuan yang adil.

Hal lainnya, dalam hubungan antar umat agama, relasi dan dialog antar agama akan menjadi produktif apabila difokuskan pada aspek karya kemanusiaan sebagai aktualisasi keimanan, bukan pada basis teologi masing-masing agama. Hal pertama akan menumbuhkan sinergi dalam mewujudkan karya kemanusiaan sedangkan hal kedua justru berpotensi menumbuhkan konflik antar pemeluk agama.

*Aktifis Pergerakan Kebangsaan, Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) tinggal di Bojonegoro.