Rumah Milik Kasbani yang Pertama Kebanjiran
 
Reporter: Dwi Rahayu
 
blokTuban.com - Dindingnya terbuat dari papan kayu, beralaskan tanah dan jauh dari kata mewah. Begitu menampakan rumah Kasbani (57). Hingga kini, terhitung sudah ketiga kalinya bangunan rumah yang ia tempati digeser lantaran terkikis air Bengawan Solo.
 
Tinggal di bantaran sungai terpanjang di Pulau Jawa harus dibayar lebih oleh keluarga tersebut. Tepat di belakang rumah tersebut, aliran deras dari hulu sungai mengalir menghanyutkan apa saja yang terbawa arus.
 
Rumah yang ia tempati bersama lima anggota keluarga lainnya itu kian memprihatinkan. Ia pindah dari Desa Maibit, Kecamatan Rengel pindah ke Desa Kanorejo, Kecamatan Rengel sejak tahun 1986. Kemudian menetap hingga kini.
 
"Dulu luas tanah saya sekitar 100 meter persegi, sekarang hanya tinggal sekitar 30 meter," kata bapak tiga anak tersebut kepada blokTuban.com.
 
Pada samping dan belakang rumah Kasbani terdapat kandang kambing dan toilet yang sama-sama berdinding  anyaman bambu. Tiap daerah air Bengawan Solo naik, pastilah tidak dapat menolak genangan air.
 
Tepat beberapa centimeter dari rumahnya, terdapat jalanan aspal yang terputus. Jalanan tersebut putus lantaran air bengawan melahap badan jalan. Terpaksa jalan poros desa tersebut dialihkan dengan menggunakan lahan milik warga setempat.
 
"Tahun 1986 masih ada jalan, kemudian sekarang jalan sudah pindah empat kali," kenang Kasbani sambil menunjuk arah tengah Bengawan yang dulunya sebagai akses lalu lintas desa.
 
Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit, kurang lebih gambaran yang terjadi di Desa Kanorejo. Akibat banjir yang melanda tiap tahunnya, tanah milik warga yang tinggal di bantaran sungai terkikis air. Bahkan puluhan rumah sudah pindah dari lokasi semula. Kecuali mereka ingin tinggal di atas aliran Bengawan Solo.
 
"Sekarang rumah saya yang pertama kemasukkan air kalau debit air naik," ungkapnya.
 
Bagi warga yang senasib dengan Kasbini tidak ada hal yang lebih urgen dibanding kebutuhan tanggul. Menurutnya, dengan dibangun tanggul, tidak hanya rumah warga yang terselamatkan tapi lahan persawahan dapat terbebas dari ancaman banjir. Sebab, ketimbang bantuan mie instan yang didapat ketika banjir, mereka lebih memilih hasil panen yang melimpah untuk menghidupi keluarga.
 
"Harapannya penbangunan tanggul harus dipercepat. Pemerintah harus memperhatikan masyarakat kecil tepi Bengawan Solo," katanya menambahkan.
 
Tanah hak milik yang dapat ia tinggali saat ini hanya tinggal sepertiga dari total semua. Ia berharap, kelak ketika tanggul dibangun, ia mendapatkan ganti rugi yang sesuai.
 
"Kalau nanti tanggul dibangun katanya dapat ganti rugi. Tapi diberi janji sejak 2010 hingga 2017, sampai habis tanahnya belum dapat," ungkapnya.
 
Beberapa kali banjir besar sempat melanda wilayah Tuban dan sekitarnya kian menyisakan pedih bagi warga yang tinggal di bantaran Bengawan Solo. Antara tahun 2007-2008 banjir sempat merendam rumah hingga ketinggian 1 meter. Kemudian tahun lalu, 2016, banjir kembali merendam rumah warga dan terpaksa mengevakuasi diri demi keamanan.[dwi/ito]