Meski Usia Senja, Mandiri Adalah Pilihan

Reporter: Dwi Rahayu

blokTuban.com - Gerimis tipis siang ini turun dengan telaten. Tepat pukul 13.00 WIB, dimana waktu yang tepat untuk merebahkan diri dari aktivitas apapun. Akan tetapi, tidak bagi wanita kelahiran 1941 ini.

Adalah Wiji, Warga Dusun Rekul, Desa Bangunrejo, Kecamatan Soko tengah asyik berkutat dengan helaian daun pandan. Mendung bergelayut yang kerap menimbulkan kantuk tidak mempan membius wanita satu ini.

Beginilah keseharian Wiji, menyulap pandan dari semak berduri hingga menjadi tikar atau kloso kebanyakan warga sekitar menyebutnya. Saat ditemui di kediamannya, ia tengah menyulam tikar setengah jadi. Sekian puluh tahun sudah tangannya menyulam helaian pandan satu demi satu.

"Ora nyambut apa-apa ya pegel. Wis kulino uwik-uwik (Tidak berbuat apa-apa ya pegal. Sudah terbiasa gerak)," ujarnya dengan logat jawa kepada blokTuban.com.

Membuat tikar sudah sejak kecil ia lakoni. Dulu, Wiji berkisah, warga sekitar tempat tinggalnya, banyak yang bekerja membuat tikar. Seiring berjalannya waktu, pekerjaan ini mulai ditinggalkan. Hingga, tersisa ia sendiri yang masih setia bergulat dengan tajamnya duri pandan. Sementara, di luar gerimis turun dengan telaten hingga berubah menjadi deras.

Untuk menghasilkan satu tikar utuh, paling cepat dibutuhkan waktu dua hingga tiga hari. Butuh beberapa proses, sehingga pandan dapat disulam dan dikatakan sebagai tikar.

Demi memperoleh bahan tikar, yakni daun pandan liar berduri, perempuan kelahiran 1941 itu, harus menempuh jarak puluhan kilo meter dari lokasi tumbuhnya pandan tersebut. Dengan berjalan kaki dan berbekal gendong (kain untuk membawa barang) serta galah, ia mengambil pandan yang berada di sekitar sawah.

Bukan tidak ada resiko yang dihadapi ibu tiga anak ini. Perihnya duri yang terdapat di sepanjang tepian helai daun pandan, sudah akrab menggores tangannya. "Bahkan saat dibuat mandi perihnya semakin menjadi," kata Wiji lantas tersenyum.

Tidak berhenti disitu. Ia harus kembali menempuh jarak yang sama seperti ia berangkat sebelumnya. Daun pandan ia dereh atau bersihkan dari duri dengan benang senar. Itu untuk memudahkan ia membawa pulang daun tersebut.

Setelah pandan dibawa sampai rumah, dijemurnya pandan tersebut hingga layu. Setelahnya ia sisik atau haluskan permukaan daun dengan batang bambu. Tujuannya agar daun lebih pipih dan lebar.

Proses pembuatan memasuki tahap mengayam. Jari tangan yang dipenuhi cuatan otot tersebut, seolah memiliki mata. Tanpa melihat, sekadar merasakan, ia sudah bergerak dengan sendirinya mengikuti alur. Puluhan tahun rupanya tangan itu sudah hafal betul setiap langkah, begitu cekatan menyelipkan lembaran demi lembaran daun pandan.

Pada waktu dulu, dalam satu hari, ia mampu menyelesaikan dua tikar berkuran sekitar satu kali dua meter. Waktu telah lama berganti, tenaga pun kian berkurang seiring bertambahnya usia. Kini, dalam satu minggu, sekitar empat tikar mampu ia selesaikan. "Tenaganya sudah tidak sama dengan dulu," kata wanita paruhbaya ini, sambil sesekali tersenyum menunjukkan gigi penuh bekas nginang.

Jika dulu menganyam tikar untuk tambahan memenuhi ekonomi keluarga, kini tidak lagi. Wiji tekun menjalani kegiatan sejak kecil ini, demi menunjukkan kemandirian meski memasuki usia senja. Demi memenuhi kebutuhan kecilnya, ia tidak mau berpangku tangan.

"Luwung iso tuku suroh (nginang) ora njaluk anak. Siji regane limolasewu (lumayan bisa membeli suroh, tidak minta anak. Satu harganya lima belas ribu)," pungkas Wiji sambil memasukkan gulungan tembakau ke dalam mulut. Di luar hujan pun mulai reda. [dwi/rom]